Kamis, 04 Desember 2008

Berebut Kepemilikan Rumah Sakit Umum Daerah


Jika terjadi perebutan kepemilikan suatu rumah sakit umum oleh pemerintah kota dan pemerintah provinsi, maka yang perlu dipertanyakan apa motivasi bagi pihak yang ingin memiliki dan apa motivasi dari pihak yang ingin mempertahankannya. Jika motivasi kedua belah pihak baik maka ini mungkin yang disebut ”creatif tension” (ketegangan kreatif). Ketegangan yang didasari oleh keinginan untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat pengguna jasa rumah sakit.
Mengelola rumah sakit memang tidak semudah yang dibayangkan.Sifat rumah sakit yang padat modal (capital intensif), padat tehnologi (technological intensif) dan pada karya (labour intensif) menuntut profesionalitas para pengelolaannya. Padat modal menjadikan manajemen rumah sakit mulai melakukan hitung-hitungan ekonomi. Padat tehnologi oleh karena dalam pengelolaannya rumah sakit sangat tergantung pada kebutuhan akan obat, bahan dan peralatan medis yang semakin canggih dan mahal serta mengikuti mekanisme pasar yang sangat kompetitif. Ditambah lagi dengan naiknya berbagai harga akibat merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar akibat krisis keuangan global.
Bagi rumah sakit swasta dampaknya adalah menaikkan tarif untuk mengejar cost recovery dan profit.
Lain halnya bagi rumah sakit umum daerah yang notabene adalah milik pemerintah.
Baik UU 45 maupun UU Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992 menyebutkan bahwa kesehatan merupakan hak dan kebutuhan dasar manusia, dengan demikian pemerintah mempunyai kewajiban untuk mengadakan dan mengatur upaya pelayanan kesehatan yang dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat dan memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.
Yang tersirat dari kedua UU tersebut adalah tidak bijaksananya keputusan untuk menaikkan tarif, sebab akan memberatkan masyarakat terutama mereka yang tergolong masyarakat tidak mampu. Walaupun pemerintah telah mengeluarkan kebijakan Jaminan bagi masyarakat miskin namun baru bisa menjangkau kurang lebih 30% masyarakat Indonesia. Sifat pelayanan kesehatan yang uncertainty (susah diprediksi kapan, seberapa berat serta berapa biaya jika sakit) serta masih rendahnya jangkauan kepesertaan terhadap asuransi kesehatan yang dilaksanakan oleh pihak swasta menyebabkan masyarakat tetap kesulitan dalam membiayai dirinya jika sakit.
Yang perlu dilakukan adalah menaikkan anggaran kesehatan terutama biaya operasional rumah sakit, dan bukan malah menaikkan tarif. Menjadikan rumah sakit menjadi sumber pendapatan asli daerah sangat tidak bijaksana. ”Masak orang sakit disuruh membangun” Lalu siapa yang berhak mengelola rumah sakir milik pemerintah ? Jawabannya sederhana, namun sebelum menjawabnya kita kategorikan dulu daerah atas 4 kategori berdasarkan kemampuan fiskalnya baik pemerintah maupun masyarakatnya, sebagai berikut :
Untuk memudahkan memahami kepemilikan rumah sakit umum daerah, ada baiknya kita kelompokkan kabupaten/kota atas 4 kelompok yaitu :
Daerah yang pemerintahnya kaya dan masyarakatnya kaya
Di daerah ini semua jenis kepemilikan rumah sakit dapat dibangun, apakah rumah sakit pemerintah karena mempunyai kemampuan besar, misalnya karena PAD-nya memang besar, atau rumah sakit swasta, silahkan oleh karena masyarakatnya mempunyai kemampuan membayar dan Untuk kategori daerah ini jenis rumah sakit umum daerahnyapun dapat saja BLU (yang semi bisnis)
Daerah yang pemerintahnya kaya tapi masyarakatnya miskin
Kepemilikan rumah sakit sebaiknya dalam bentuk rumah sakit umum daerah, dan masyarakatnya diikutkan dalam asuransi seperti yang ada saat ini, yang miskin disubsidi preminya melalui jamkesmas, dan yang mampu dapat mengikuti asuransi komersial. Rumah sakit swasta agak sulit berkembang oleh karena pangsa pasarnya kurang menguntungkan karena ketidakmampuan membayar masyarakatnya
Daerah yang pemerintahnya miskin tapi masyarakatnya kaya
Kepemilikan rumah sakit diserahkan saja ke swasta karena masyarakatnya memang mempunyai kemampuan membayar. Pemerintah dapat saja membangun rumah sakit umum daerah atau dalam bentuk BLU.
Daerah yang pemerintahnya miskin, rakyatnya juga miskin
Sebaiknya rumah sakit diserahkan saja jenjang pemerintahan yang lebih tinggi saja, misalnya pemerintah propinsi atau pemerintah pusat, yang anggarannya memang jauh lebih besar besar daripada kabupaten kota, tidak usah gensi-gensian mempertahankannya kalau memang tidak mampu. Tidak usah memaksakan jadi BLU misalnya, sebab persyaratan jadi BLU tidak mudah, cost recovery rate harus diatas 60%, harus sudah menyusun bisnis plan yang baik (semi bisnis). Untuk mencapai cost recovery yang baik tentu saja tarifnya harus dihitung berdasarkan total biaya meliputi investasi dan biaya operasional (total cost) yang dikeluarkan. Jika hal ini dilakukan maka yang korban adalah masyarakat kurang mampu. Nah . . pertanyaannya kita berada dimana ? Silahkan jawab sendiri saja.

Jumat, 07 November 2008

Good Governance di Rumah Sakit


Governance adalah proses pengambilan dan pelaksanaan keputusan sesuatu organisasi untuk mencapai tujuannya. Proses ini ada pada semua bidang manajemen: manajemen publik, manajemen bisnis, manajemen organisasi nirlaba. Sementara good governance adalah proses pengambilan dan pelaksanaan keputusan yang partisipatif. Tujuan good governance adalah terjadinya pencapaian tujuan pembangunan yang berkelanjutan, karena lapisan bawah organisasi dan masyarakat meningkat kemandiriannya untuk meningkatkan kesejahteraannya, sebagai subyek pembangunan yang bermartabat.
Pengembangan good governance di rumah sakit telah dikembangkan sejak decade tahun 90-an dengan istilah good clinical governance. Prinsip dasarnya adalah bagaimana mengembangkan system untuk meningkatkan mutu klinik. Hal ini dilakukan dengan cara memadukan pendekatan manajemen, organisasi dan klinik secara bersama.
Clinical governance bertugas untuk memastikan bahwa telah terdapat system untuk memantau kualitas praktis klinis yang berfungsi dengan baik. Praktik klinik selalu dievaluasi dan hasilnya digunakan untuk perbaikan, praktik sudah sesuai dengan standar.
Secara rinci system yang dikembangkan dalam clinical governance meliputi kegiatan audit klinis, manajemen efektif bagi klinisi yang berkinerja buruk, manajemen resiko, praktik klinik berbasis bukti (evidence based), pengembangan kepemimpinan bagi klinisi, pendidikan berkelanjutan sampai audit feedback dari konsumen.
Kerangka kerjanya tersusun atas empat hal yaitu :
1. Evidence based medicine,
2. Sistem informasi yang baik,
3. Penilaian kinerja klinik dan
4. Hubungan antara klinisi dengan manajemen.
Evidence Based Medicine (EBM)
EBM adalah sustu teknik yang digunakan untuk pengambilan keputusan dalam mengelola pasien dengan mengintegrasikan tiga faktor yaitu :
- keterampilan dan keahlian klinik dokter
- kepentingan pasien
- bukti-bukti ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan
Dengan tiga factor ini akan membantu dokter dalam merawat pasien sesuai dengan kondisi, kebutuhan dan berdasarkan teori paling mutakhir. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis yang tepat terhadap gejala penyakit dengan melakukan pemeriksaan penunjang sesuai indikasi/ kecurigaan, serta pemberian obat-obatan yang rasional. Tidak jarang pemeriksaan penunjang tanpa indikasi yang jelas, milsanya hanya sekedar mengejar BEP suatu alat canggih dan mahal. Pemberian obat polifarmasi dengan mencampurkan berbagai macam obat misalnya kedalam bentuk puyer dll.
Sistem Informasi Yang Baik
Harapan pasien dari sebuah pelayanan kesehatan adalah diberikannya service yang cepat dan nyaman. Tingkat mobilitas pasien yang tinggi menuntut adanya komunikasi dan pelayanan yang cepat antara pasien dan institusi kesehatan, yang kemudian antara pasien dengan klinisi. Dalam hal ini dibutuhkan system informasi manajemen rumah sakit (SIMRS). Penerapan system informasi di rumah sakit menjadikan pengambilan keputusan dan pelayanan menjadi cepat (decision support system, DSS). Dengan DSS, model analisis dirancang untuk membantu para pemengambil keputusan dan para profesional agar mendapatkan data yang akurat berdasarkan data yang ada.
Penilaian Kinerja Klinik
Kinerja klinik dinilai berdasar pada seberapa jauh para klinisi melaksanakan prosedur klinik standar (keterpaduan pengetahuan, nalar klinik, kompetensi ketrampilan dan perilaku positif)
Hubungan Klinisi dan Manajemen
Tidak jarang hubungan klinisi dan manajemen kurang baik. Hal ini karena perbedaan prinsip yang melatarbelakangi peran masing-masing. KLinisi ingin efektif, cepat dalam memberikan pelayanan. Kecepatan suatu tindakan ditentukan oleh tersedianya semua kebutuhan, mulai peralatan kesehatan, bahan habis pakai, obat-obatan dll. Disisi lain manajemen terikat aturan dalam proses pengadaan. Hal ini terutama di rumah sakit pemerintah. Tidak jarang terjadi aksi-aksi yang dipicu ketidak harmonisan hubungan klinisi dan manajemen rumah sakit dengan berbagai sebab. Mulai dari suasana kerja yang tidak mendukung, pergantian direktur oleh pemilik rumah sakit, hingga jasa pelayanan medik yang terlambat dibayarkan.

(intisari dari kuliah pak Laksono, web article, dan pengalaman )

Selasa, 04 November 2008

Wah .. ! "Orang Sakit Penyumbang PAD terbesar"


Judul di atas tertera dalam suatu website milik salah satu pemerintah kabupaten. Jika benar maka ini sangat memiriskan.
Sejak otonomi daerah digulirkan, maka daerah berlomba-lomba meningkatkan pendapatan asli daerahnya dari berbagai sektor. Tidak terkecuali dari sektor kesehatanpun menjadi obyek yang empuk untuk meraih pendapatan sebesar-sebesarnya. Banyak daerah menetapkan target yang cukup tinggi untuk sector kesehatan mulai dari rumah sakit, dan puskesmas. Tidak heran berbagai rumah sakit di daerah kemudian ramai-ramai melakukan upaya meningkatkan pendapatannya. Upaya yang paling mudah dilakukan adalah dengan menaikkan tariff pelayanan. Dengan berbagai alasan mulai dari kenaikan biaya operasional akibat naiknya berbagai kebutuhan operasional rumah sakit, hingga alasan karena takut dinilai tidak mampu memenuhi target pemerintah daerah dengan segala resikonya.
Prinsip-pronsip ekonomipun dilakukan dengan melakukan analisis biaya untuk menentukan tariff pelayanan. Dengan analisis biaya rumah sakit maka tarif ditentukan dengan menghitung berapa biaya (cost) rumah sakit untuk memproduk berbagai jenis pelayanan yang diberikan baik biaya total , biaya perunit pelayanan, atau biaya perpasien. Biaya ini kemudian didistribusikan ke unit-unit produksi. Setelah dibagi dengan besarnya output maka diperoleh biaya satuan (unit cost) perjenis pelayanan. Biaya ini yang kemudian dibayar oleh pasien. Metode ini dikenal dengan metode ”unit cost”. Dengan unit cost maka makin kurang kunjungan rumah sakit (output) maka makin tinggi tarif persatuan pelayanan, sebaliknya makin tinggi kunjungan perjenis pelayanan maka tarif makin rendah.
Jika kita kaji metode ini maka biaya yang dimaksud adalah : total cost dihitung dari total pengeluaran rumah sakit yang meliputi pengeluaran tetap (fixed cost). Fixed cost atau biaya tetap ini terdiri dari :- biaya Investasi gedung rumah sakit- biaya peralatan medis- - biaya kendaraan (ambulance, mobil dinas, motor, dll). Semi Variabel cost meliputi gaji pegawai- biaya pemeliharaan- insentif- perjalanan dinas - biaya pakaian dinas - dll, Variabel Cost : biaya obat-obatan dan BHP medis – BHP non medis – air – listrik - biaya makan minum pegawai dan pasien- biaya telepon- dll. Dari rumus ini maka dapat diprediksi bahwa tarif untuk satu jenis pelayanan pasti berbeda untuk satu rumah sakit dengan rumah sakit lainnya.
Jika dianalisis satu persatu sumber pembiayaan rumah sakit umum pemerintah sebenarnya sebagian besar biaya didropping oleh pemerintah pusat. Lihat saja untuk komponen fixed cost (belanja investasi), dalam bentuk dana tugas pembantuan (TP) dana alokasi khusus (DAK), dana Dekonsentrasi, bahkan dana alokasi umum (DAU) kesemuanya juga berasal dari pusat. Untuk semivariabel dan variabel cost : sumber dananya adalah dana DAU, mulai dari gaji, biaya perjalanan dinas, operasional, listrik, air dan telepon.
Pertanyaannya sekarang apakah pemerintah harus menagih pengembalian atas dana yang telah diberikan kepada rumah sakit ? Atau jika pertanyaannya dibalik ”apakah pasien harus mengembalikan semua biaya yang telah dikeluarkan oleh pemerintah tersebut?”. Analisis biaya sangat diperlukan tetapi untuk merencanakan pembiayaan rumah sakit atau untuk penentuan besaranya subsidi. Unit cost untuk penentuan tarif lebih cocok diberlakukan bukan di institusi pelayanan kesehatan.
Konstitusi Kesehatan Dunia (WHO), UUD 1945 Pasal 28 H, UU 23 tahun 1992 Tentang Kesehatan menetapkan bahwa kesehatan adalah hak fundamental setiap warga. Karena itu setiap individu keluarga dan masyarakat berhak memperoleh perlindungan atas kesehatannya, dan negara bertanggung jawab mengatur agar terpenuhi hak hidup sehat bagi penduduk termasuk keluarga miskin dan tidak mampu. Berdasarkan hal tersebut maka pelayanan kesehatan seharusnya menjadi kewajiban pemerintah untuk membiayainya. Makanya tidak manusiawi jika orang sakit dijadikan sumber PAD. ”Masak orang sakit disuruh membangun” ?
Perlu Standarisasi Tarif Rumah Sakit
Standarisasi perlu diupayakan agar terjadi keseragaman dtarif di rumah sakit di seluruh Indonesia sesuai dengan kelasnya. Sehingga pemerintah daerah tidak semena-mena menaikkan tarif untuk kepentingan peningkatan pendapatan asli daerah.
Upaya standarisasi sudah rumah sakit di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1997, dengan Kepmenkes Nomor 582/1997 yang menetapkan bahwa tarif untuk kelas II berdasarkan perhitungan unit cost (UC), sedang untuk kelas III tarif Kelas III (1/3 kali UC Kelas II), besarnya kisaran tarif Kelas I (2-9 Kali UC Kelas II) dan VIP/Super VIP (10-20 kali UC Kelas II). Tetapi seiring dengan otonomi daerah keputusan ini tidak banyak dijalankan oleh rumah sakit di daerah.
Dengan adanya program Jamkesmas, Departemen Kesehatan mengeluarkan kebijakan penerapan tarif berdasarkan INA-DRG yang mulai diujicobakan di 15 rumah sakit di Indonesia. Dengan tarif berdasarkan INA-DRG. INA-DRG atau yang biasa disebut “Case-Mix” merupakan sistem standar baku tarif pelayanan rumah sakit dalam bentuk paket yang disusun berdasarkan kelas perawatan dan kelas atau tipe rumah sakit. Biayanya dihitung perpaket. Misalnya saja, bila seseorang didiagnosis menderita penyakit tertentu dan harus mendapatkan tindakan medis tertentu juga, maka dia harus membayar sekian rupiah sesuai kelas perawatan dan tipe rumah sakit.
Dengan penerapan standar tarif baku rumah sakit tersebut secara otomatis akan mendorong terciptanya transparansi pembiayaan pelayanan rumah sakit, memacu rumah sakit melakukan efisiensi, meminimalkan kesalahan manusiawi, dan meningkatkan komitmen rumah sakit untuk meningkatkan mutu pelayanan. Pasienpun, juga akan diuntungkan karena bisa mengetahui kepastian biaya, kejelasan diagnosis penyakit dan perawatan yang diterima serta tidak harus mengeluarkan biaya yang seharusnya tidak perlu.
Diharapkan standarisasi tarif rumah sakit diberlakukan untuk semua pasien di semua rumah sakit , bukan hanya untuk kepentingan program Jamkesmas saja. Untuk itu diperlukan upaya sinkronisasi dengan peraturan daerah (Perda) yang mengatur tarif di rumah sakit umum milik daerah. Jika ini dapat dilakukan maka dimanapun masyarakat berobat kepastian akan biaya yang dikeluarkan sudah dapat diketahuinya.

(disarikan dari beberapa tulisan dan pengalaman)

Jumat, 31 Oktober 2008

Menjual Empati di Rumah Sakit


Ketika kita menaiki tangga pesawat udara, seorang pramugari telah berdiri menyambut kita di pintu pesawat sambil tersenyum menyalami kita, disampingnya berdiri sang pilot yang gagah dengan senyum seakan memberikan keyakinan kepada kita bahwa dia siap menerbangkan pesawat ini selamat sampai tujuan. Jika kita memasuki sebuah hotel seorang office boy akan membukakan pintu sambil berucap menyampaikan ucapan salam, dengan senyum penuh rasa gembira membukakan pintu mobil, menanyakan barang bawaan, membantu mengangkatnya ke dalam hotel, sementara resepsionist menunggu dan menyalami kita sambil menanyakan “ada yang bisa dibantu?”. Hal seperti ini dapat pula kita dengar apabila kita menelpon ke suatu kantor swasta terkemuka. Resepsionist akan menjawab telepon kita dengan kata ” Selamat pagi, dengan kantor PT. ...... ada bisa saya bantu ? ”
Jika diamati sebetulnya senyum, salam dan sapa adalah hal kecil tetapi terkadang sulit dilakukan namun berdampak besar terhadap kita yang mengalaminya. Kita pasti akan terkesan dan merasa terhibur dan tenang memanfaatkan fasilitas yang kita butuhkan.
Apa yang dilakukan oleh pramugari, pelayan hotel, penerima telepon diatas adalah contoh kecil dari empati yang ditunjukkan kepada pelanggan. Empati dalam kasus ini mungkin saja hanyalah bagian dari prosedur standar yang harus dilakukan kepada pelanggan tanpa adanya nilai rasa yang sesungguhnya, sekedar menjalankan tugas. Mereka melayani pelanggan yang sehat. Penumpang pesawat yang ingin bepergian, atau ke hotel karena membutuhkan suatu pelayanan yang bukan karena keterpaksaan. Pengunjung hotel kebanyakan adalah orang-orang yang ingin melengkapi kegembiraan dengan berbagai aneka fasilitas di hotel, atau mungkin orang yang bosan tidur dirumah dan ingin mencari suasana yang lain, atau seorang yang sedang berwisata dan mencari tempat untuk beristirahat dan tidur. Tetapi kepada merekapun empati merupakan suatu kewajiban karena jika tidak mereka pasti akan lari dan tidak akan kembali lagi. Ingat “pelanggan adalah raja, dia bukan tergantung kepada kita, tetapi kita yang bergantung kepada mereka”. Bagaimana empati di rumah sakit ?
Tidak bisa dipungkiri bahwa rumah sakit adalah institusi yang unik dan kompleks. Unik, karena mayoritas yang membutuhkannya adalah orang-orang yang terpaksa harus datang, tidak karena diundang, atau tertarik akan promosi tetapi karena sakit (berobat) atau agar tidak sakit (medical check up). Mereka datang dengan tingkat emosional yang bervariasi, mulai dari was-was sampai stres dan panik. Mereka membawa kebutuhan (need) mendesak untuk sembuh, keinginan (want) untuk ditolong oleh dokter ahli dengan peralatan yang memadai dan membawa harapan (ekspektasi) untuk dilayani cepat. Mereka adalah orang-orang yang karena menderita sesuatu penyakit atau bermasalah dengan tubuhnya dan dengan terpaksa membutuhkan pertolongan. Kedatangan mereka bukanlah suatu hal yang diinginkan, tetapi karena keterpaksan, karena menderita sakit yang berat, karena infeksi, nyeri kepala, nyeri batu ginjal, usus buntu, atau mungkin luka atau patah tulang terbuka karena kecelakaan lalu lintas. Dalam kondisi seperti ini mereka tidak hanya butuh pelayanan medis tetapi juga butuh kepedulian.
Terkadang kita menemui atau mengalami hal-hal yang tidak mengenakkan di rumah sakit, misalnya : keluarga pasien mencari sendiri kereta dorong atau kursi roda bahkan mengangkat sendiri pasiennya ke UGD, menunggu pemeriksaan terlalu lama karena dokter masih dihubungi (on call), anamnesis terlalu lama karena perawat atau dokter jaga lebih mementingkan status pasien dari pada memberikan tindakan sementara (emergency respon time I lama), sementara pasien kesakitan butuh pertolongan segera, atau ketika pasien di bangsal kesakitan, di ruang jaga petugas asyik menonton TV sambil ngobrol atau tertawa cekikikan, petugas ramah atau malah membentak atau memarahi pasien, Lalu apakah empati itu ? Menurut pengertian yang sudah lazim digunakan, empati adalah kemampuan kita dalam menyelami perasaan pasien tanpa harus tenggelam di dalamnya. Empati adalah kemampuan kita dalam mendengarkan perasaan pasien tanpa harus larut. Empati adalah kemampuan kita dalam merespon keinginan pasien bahkan yang tak terucap sekalipun. Kemampuan ini dipandang sebagai kunci menaikkan intensitas dan kedalaman hubungan kita dengan pasien (connecting with).
Diera persaingan sekarang ini, maka empati menjadi sangat penting. Pasien saat ini mempunyai banyak pilihan akan pelayanan kesehatan, baik rumah sakit swasta atau sesama rumah sakit pemerintah yang mulai memberikan pelayanan berkualitas (quality services). Disaat seperti ini maka empati menjadi satu hal yang mahal dan dicari. Tentu saja mereka akan memilih rumah sakit yang petugasnya peduli dengan penderitaan mereka. Walaupun empati hanya sekedar melaksanakan prosedur tetap pelayanan di rumah sakit.
Empati juga adalah cepat menangkap isi perasaan dan pikiran pasien (understanding others). Memberikan pelayanan yang dibutuhkan. Memberi, bukan mengambil (service orientation), apalagi memanipulasi. Memberikan masukan-masukan positif atau membangun pasien agar memiliki kembali semangat untuk kesembuhan (developing others), bahkan juga memahami aturan main yang tertulis (SOP) atau yang tidak tertulis (norma) dalam hubungan kita dengan pasien.
Belajar menaikkan kemampuan kita dalam ber-empati ini merupakan kunci hubungan. Menurut Peter Drucker, kunci kelancaran komunikasi adalah belajar menangkap apa yang tak terucap (unspoken). Dalam konteks bisnis (bussiness of selling), Alf Cattle malah mengatakan: “relationship is product”, ini berarti bahwa empati adalah produk. Sebagai suatu produk maka sepatutnya dikemas sebaik-baiknya agar dapat dijual. Patut diperhatikan bahwa secanggih apapun peralatan kedokteran yang dimiliki oleh rumah sakit, relationship pasien dan petugas sebagai kunci tetap diutamakan. Pasien tetap butuh informasi, perhatian dan kepedulian dari petugas untuk kesembuhan penyakitnya.
Hal ini tampak dalam pelayanan yang cepat, petugas yang ramah penuh senyum dan berusaha menenangkan pasien. Sehingga pasien merasa yakin bahwa ia akan sembuh. Persis sebagaimana sabda Rasulullah saw, "Jalinan kasih sayang antara kaum muslimin ibarat satu tubuh. Bila ada satu anggota tubuh sakit maka anggota tubuh lainnya akan merasakan hal yang sama." (HR. Bukhari dan Muslim).
(disarikan dari beberapa artikel dan pengalaman)

Kamis, 30 Oktober 2008

One Stop Service (OSS) di Rumah Sakit


Seorang ibu kebingungan ketika membawa anaknya di rumah sakit, setelah diperiksa oleh dokter dia harus ke laboratorium diluar rumah sakit karena ada pemeriksaan yang tidak bisa dilakukan di laboratorium milik rumah sakit. Dia terpaksa pergi dengan dibonceng sang suami yang seorang pekerja gaji harian, membawa anaknya menuju laboratorium swasta yang ditunjukkan petugas. Setelah menunggu selama dua jam, hasil laboratorium diperoleh, ibu tersebut buru-buru kembali ke rumah sakit. Apa terjadi, tenyata poliklinik anak rumah sakit sudah tutup, petugas menyarankan kembali lagi esok hari. Dengan perasaan kecewa sambil mengendong anaknya yang sudah seminggu batuk dan panas ibu tersebut pulang ke rumah. Hari itu sang anak belum mendapatkan obat, karena hasil pemeriksaan laboratorium belum didapatkan hasilnya. Sementara sang ayah tidak bisa bekerja karena harus mendampingi istri membawa anak ke rumah sakit.
Apa yang dilukiskan diatas adalah secuil kejadian yang sehari-hari ditemukan di rumah sakit umum. Kita bisa saja berhitung berapa kerugian yang dialami keluarga tersebut. Pertama sang ayah kehilangan kesempatan untuk mencari pada hari itu, kedua mereka harus membayar biaya pemeriksaan di laboratorium diluar rumah sakit yang pasti milik swasta, dengan biaya yang untuk ukuran mereka cukup mahal. Ketiga mereka masih harus datang lagi keesokan harinya untuk menunjukkan hasilnya ke dokter. Dan keempat penyakit anak mungkin bertambah parah oleh karena belum mendapatkan pengobatan pada hari itu.
Konsep One Stop Service (OSS) di rumah sakit adalah salah satu solusi untuk mengurangi hilangnya kesempatan pelanggan (opprotunity loss) yang mungkin saja menyebabkan kerugian ekonomi (economic loss) akibat pelayanan seperti diatas. Dengan konsep ini pasien yang datang tidak perlu harus kemana-mana lagi, dan dapat dilayani di satu tempat atau area yang mudah dijangkau. Konsep OSS kemudian berkembang dengan berbagai pelayanan eksesori lainnya semisal, kantin/restaurant, mini market, foto copy, salon kecantikan, ATM, Bank, disamping pelayanan utama/fungsional berupa poliklinik, UGD, laboratorium, apotik, radiologi dll, yang berada dalam satu area yang mudah dijangkau. Beberapa rumah sakit bahkan telah menyiapkan hotel mini di dalam rumah sakit untuk tempat beristirahat penjaga/keluarga yang berasal dari luar daerah.
Dengan konsep ini maka pasien tidak perlu ditransfer dari unit satu ke unit yang lainnya untuk mendapatkan pelayanan. Bahkan tidak perlu harus keluar rumah sakit, sebab semua kebutuhan pasien sudah disediakan di dalam rumah sakit.
Dalam konsep OSS maka misalnya, ruang poliklinik harus berdekatan dengan laboratorium, fasilitas radiologi, serta instalasi farmasi. Begitu pula dalam pelayanan rawat inap dan gawat darurat dan kamar operasi, didekatkan dengan laboratorium, ruang farmasi dll.
Beberapa hal yang perlu disiapkan dalam penerapan OSS di rumah sakit adalah :
- Desain ruang pemeriksaan, perawatan, tindakan yang saling berhubungan dan berdekatan satu sama lainnya sehingga mudah diakses oleh pasien
- Adanya alur proses (flow of process) antara unit satu dengan lainnya
- Tertatanya alur pasien (flow of patient) sesuai dengan alur proses yang ada
- Kesiapan petugas dan sistem yang mendukung kelancaran proses, terutama dalam peralihan dari satu proses ke proses lainnya).
- Dukungan Sistem Informasi Management RS (SIMRS) yang IT based yang mendukung proses pendaftaran, pemeriksaan, pembayaran (billing system) yang satu pintu. Jika memungkinkan dengan menggunakan fasilitas ATM, atau Credit Card.
- Dukungan fasilitas penunjang, misalnya apotik, laboratorium, radiologi dengan peralatan dan bahan yang lengkap dan tersedia setiap saat
- Tersedianya formularium rumah sakit dan ketaatan para dokter terhadap formularium yang sudah disediakan sehingga tidak ada pasien yang harus membeli obat atau melakukan pemeriksaan lab diluar rumah sakit
- Perlu melakukan kerjasama dengan pihak ketiga (out sourching) untuk pelayanan asesori misalnya, dengan bank, restaurant, mini market, foto copy dll dengan MOU yang jelas, agar tidak menjadi beban manajemen
- Tersedianya standart operating procedure (SOP) agar semua proses berjalan lancar.
- Komitment semua pihak dari puncak hingga lapis bawah, dari direktur hingga tukang parkir dalam melaksanakan SOP.
Dengan OSS waktu pelayanan menjadi lebih pendek, pasient menjadi nyaman oleh karena tidak perlu keluar rumah sakit, dan para pekerja harian terhindar dari opportunity dan economic loss, akibat hilangnya waktu produktif mereka. Ibarat orang berbelanja di mall sekali masuk seluruh kebutuhan dapat dipenuhi.

Sabtu, 25 Oktober 2008

Pasienpun Masuk Bursa Saham


Judul diatas tentu saja bukan berarti orang sakit masuk ke bursa saham. Tetapi melukiskan bahwa bisnis saham di bursa bukan lagi didominasi oleh saham-saham property. Sejak dibukanya kran bagi swasta untuk mendirikan rumah sakit melalui Permenkes 920/Menkes/Per/XII/1986 tentang Upaya Pelayanan Kesehatan Swasta di Bidang Medik, maka bermuncullanlah rumah sakit yang dikelola oleh swasta.
Sebagai badan usaha (apalagi dalam bentuk PT) yang saham-sahamnya diperjualbelikan di bursa saham, maka tujuan suatu badan usaha berlaku pula yaitu menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya (profit) dan berusaha untuk mempunyai kemampuan yang cukup untuk tumbuh dan berkembang (growth and survive). Profit merupakan indicator kinerja bagi lembaga usaha untuk berkembang.
Menurut Katz dan Rosen (1998) menyatakan bahwa minimal terdapat tiga komponen perusahaan yaitu ; (1) Pekerja atau orang yang dipekerjakan den gaji tetap dan mempunyai peraturan kerja, (2) Manajer yang bertanggung jawab untuk menetapkan keputusan dan memonitor para pekerja dan (3), Pemilik yang mempunyai modal dan menanggung resiko usaha.
Dirumah sakit, komponen pertama diwakili oleh para dokter, perawat, bidan, apoteker, laboran, dan tenaga administrasi, komponen kedua diwakili oleh pada manajer rumah sakit dan komponen ketiga adalah pemilik rumah sakit (PT atau badan hokum lainnya). Dalam model ini terdapat pemisahan antara pemilik dan para manajerpelaksana. Pemisahan ini merupakan ciri lembaga usaha yang modern. Dengan dibukanya perusahan dipasar saham maka diperoleh ribuan pemilik saham yang seharusnya tidak berhubungan dengan keputusan-keputusan usaha oleh para manajer pelaksana. Hal ini penting mengingat rumah sakit tidaklah sama dengan industri jasa lainnya. Rumah sakit merupakan industri jasa pelayanan kesehatan yang bertujuan untuk menyembuhkan orang sakit (kuratif), pemulihan (rehabilitatif) dan promotif.
Tetapi tahukah anda bahwa rumah sakit-rumah sakit swasta yang megah di berbagai kota besar, yang dikelola oleh perusahaan korporasi juga saham-sahamnya banyak yang diperjual belikan. Sejauh yang penulis ketahui ada beberapa rumah sakit milik swasta di Indonesia yang terdaftar di bursa SGX (Singapore Stock Exhange) melalui penerbitan real estate investment trust (REIT) untuk mencari sumber pendanaan baru untuk kepentikan expansi diberbagai kota baik dalam negeri maupun luar negeri.
Dengan REIT memungkinkan penjualan saham menembus batas-batas negara sehingga seorang di luar negeri dapat saja memiliki berbagai usaha bisnis di Indonesia termasuk rumah sakit. Dengan REIT maka pemilik saham dapat melakukan akuisis, merger, melakukan pinjaman dengan rasio debt yang tinggi bahkan dapat merangkap sebagai perusahaan pengembang. Bagi industri rumah sakit tentu saja hal ini perlu diatur agar tidak berdampat pada pelayanan dan aspek-aspek sosial yang seharusnya tetap diperhatikan.
Rumah sakit diharapkan tetap menjalankan praktek-praktek bisnis sehat. Hindari moral hazzart untuk kepentingan hitung-hitungan bisnis seperti break event point (BEP) atau pencapaian Cost Recovery Rate (CRR) dan Return of Investment (ROI)i. Sebab dalam posisi pasien yang consumer ignourance hal ini bisa saja terjadi.
Oleh karena itu masuknya industri rumah sakit ke bursa saham menuntut pemerintah untuk memperketat regulasi perumahsakitan. Sebab jika tidak masyarakat akan jadi obyek pemenuhan tujuan badan usaha yaitu untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. Kepemilikan modal sebaknya dibatasi secara proporsional misalnya pesaham lokal tetap diberikan.
Menurut Menteri Kesehatan DR. Dr. Sitti Fadillah Supari, berbagai kebijakan pemerintah telah dilaksanakan dengan membatasi kepemilikan saham bagi pemodal asing maksimal 65% setelah tahun 2009, meski demikian pemerintah tetap membatasi dalam kegiatan operasionalnya. Rumah sakit harus bermitra dengan rumah sakit lokal, lokasinya harus ditetapkan oleh pemerintah, direktur utamanya haruslah dokter Indonesia, dan bersedia diaudit secara berkala oleh Departemen Kesehatan, semua tenaga kerja warga negara Indonesia, dan tetap memperhatikan fungsi sosialnya dengan memberikan porsi untuk pelayanan bagi masyarakat miskin
Yang lebih penting adalah pemerintah seharusnya meningkatkan kualitas pelayanan dan manahemen rumah sakit dalam negeri, sehingga ketika era pasar bebas semakin terbuka maka rumah sakit dalam negeri telah siap bersaing. Disampimg itu perlu dilakukan regulasi bagi tenaga medis asing yang ingin bekerja di Indonesia dengan, misalnya dengan mempunyai SIP, Surat Tanda Registrasi (STR) yang dikeluarkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia, dan hanya bisa sebagai konsultan dan tidak memberikan pelayanan kesehatan secara langsung.

(disarikan dari berbagai artikel)

Jumat, 24 Oktober 2008

Memahami Pasien Sebagai Pelanggan


” If you always do what you always did ! You will always get what you always got “! Jika diterjemahkan, “Jika anda melakukan yang itu-itu saja maka anda akan mendapatkan yang itu-itu juga” . Sudah saatnya kita merubah paradigma pelayanan kesehatan kita jika kita ingin mendapatkan yang lebih.
Jika anda ingin pasien anda menjadi pelanggan setia, maka rubahlah mind set anda terhadap pasien. Pasien tidak lagi dianggap sebagai orang yang datang mencari pertolongan, atau orang yang membutuhkan kita, tetapi mereka adalah tamu penting yang datang kepada kita. Mereka bukan orang yang bergantung kepada kita tetapi kitalah yang bergantung kepada mereka. Mereka bukan gangguan bagi kita tetapi tujuan dari pekerjaan kita. Kita bukan berbaik hati menolong mereka tetapi mereka yang berbaik hati memberikan kesempatan kepada kita untuk melayaninya. Jika ini anda lakukan maka anda akan memperlakukan pasien anda dengan sebaik-baiknya.
Terkadang kita besikap semena-mena terhadap mereka, terlebih ketika mereka tidak memiliki pilihan lain. Namun di era persaingan terbuka perilaku ini sudah harus ditinggalkan oleh karena suatu saat akan memiliki berbagai pilihan. Terlebih sejak pemerintah membuka kran pihak swasta untuk bergerak disektor pelayanan kesehatan terutama rumah sakit. Banyak rumah swasta bermunculan dengan investasi modal yang besar dan menjanjikan kualitas pelayanan yang excelent. Walaupun untuk itu harus dibayar mahal. Tanpa merubah maind set kita akan tertinggal dengan kompetitor baru, karena mereka menerapkan kekuatan marketing yang handal.
Membuat pasien puas hanya dapat dilakukan kalau kita berusaha memenuhi apa kebutuhan pasien (custoner oriented). Disinilah pentingnya memahami pasien sebagai pelanggan kita agar kita mampu memberikan pelayanan yang memuaskan mereka
Memahami pasien adalah mengetahui apa yang dibutuhkan (need), apa yang diinginkan (demand) dan apa yang diharapkan (expextasi). Lakukanlah survey terhadap ketiga dimensi kebutuhan yang ada pada pasien anda.
Ibarat seorang yang lapar maka need-nya adalah makanan, demand-nya adalah mungkin coto, gado-gado, dll, sedangkan expectasi-nya adalah disajikan cepat, hangat dan pelayan yang ramah, murah senyum dan kalau bisa yang berpenampilan menarik.
Bagi seorang pasien maka need-nya tentu saja pemeriksaan dan pengobatan karena ingin sembuh, demand-nya adalah mungkin saja diperiksa oleh dokter, dokter ahli, dan ecpextasinya adalah dilayani cepat, oleh petugas yang ramah, dan nyaman, dan mungkin masih ditambah lagi dengan biaya murah dll. Dari sinilah kita bisa membagi pelayanan yang diberikan kepada pasien atas 2 jenis yaitu : - pelayanan fungsional untuk memenuhi kebutuhan (need) pasien misalnya : rawat jalan, rawat inap, operasi, laboratorium, radiologi, dll,. – pelayanan aksesoris, misalnya ruangan kelas yang berbeda, VIP dengan berbagai layanan tambahan, one stop service dll.
Kebanyakan kita hanya memenuhi need pasien. Hal ini dapat kita lihat sehari-hari di institusi pelayanan (biasanya milik pemerintah). Pasien datang diperiksa dan diberi obat,setelah itu selesai. Tidak peduli pasien menunggu terlalu lama, oleh karena dokter datang terlambat. Biasanya keterlambatan sudah dimulai dibagian pendaftaran, seterusnya pemeriksaan dokter, laboratorium dan mengantri di apotik. Ini harus dirubah, Walaupun pemenuhan untuk kebutuhan (need) secara fungsional sehaurusnya tidak berbeda oleh karena menyangkut standar pelayanan medik. Misalnya operasi apendisitis disemua rumah sakit pasti sama. Tetapi pasien terkadang lebih senang ke satu rumah sakit (consumer loyality) dibanding rumah sakit kita. Demikian halnya di puskesmas, dokter pasti akan memberikan pelayanan medis sesuai standar tetapi pasien mungkin lebih senang ke klinik-klinik swasta yang ada. Jika diamati klinik atau rumah sakit tersebut pasti memberikan pelayanan tambahan untuk memenuhi keinginan (demand) dan harapan (expectasi) pasien.
Kepuasan pasien adalah terpenuhinya pelayanan sesuai yang diinginkan bahkan melebihi dari apa yang diinginkan (service excellent). Jika pasien mengharapkan akan diperiksa oleh dokter pada jam 9, tetapi baru jam 8.30 dokter telah melakukan pemeriksaan maka dia tentu saja menerima lebih dari apa yang dia harapkan. Inilah pelayanan prima dan pasien akan surprise. Expresi yang ditampakkan adalah ” woww ... ”
Untuk memahami semua keinginan pasien maka lakukanlah survey pelanggan (market survey) adalah upaya untuk mencari tahu apa harapan pelanggan untuk menentukan jenis dan kualitas layanan yang dikehendaki. Memahami pasien orang perorang tidaklah mudah, karena setiap orang memiliki karakter dan kepribadian sendiri.
Beberapa faktor yang membentuk harapan pasien adalah :
- Komukasi dari mulut ke mulut (word of mouth communication) : informasi diperoleh dari pelanggan sebelumnya, menyebar dari mulut ke mulut yang mengkonsumsi jasa sebelumnya
- Kebutuhan pribadi (personal need), harapan pelanggan bervariasi tergantung pada karakteristik dan keadaan individu yang mempengaruhi kebutuhan pribadinya
- Pengalaman masa lalu ( past experience) , pengalaman dimasa lalu mempengaruhi harapannya dimasa kini dan akan datang
- Komunikasi eksternal (external communication), misalnya upaya promosi, biasanya dalam bentuk iklan
Lalu bagaimana upaya yang harus dilakukan untuk memenuhi ketiga aspek kebutuhan pasien ? Menurut Parasuraman dkk, setidaknya ada 5 dimensi kualitas yang bisa memberikan kepuasan kepada pasien berdasarkan ketiga aspek kebutuhan pasien (baik need, demand dan ecpectasi), yaitu :

1. Responsiveness, atau kecepatan yaitu suatu kemampuan untuk pelayanan yang cepat (responsif ). Respon time pelayanan sangat menentukan kepuasan pasien. Berapa lama pasien harus menunggu di loket pendaftaran hingga dia mendapatkan kartu, demikian hal ketika menunggu untuk diperiksa dokter, di apotik, di laboratorium, dll. Berapa lamakah pasien menghubungi perawat sampai perawat tersebut datang di ruangannya? Atau berapa lamakah pasien menghubungi dokter sampai dokter datang ? Beranikah kita mematok standar waktu tunggu ?

2. Assurance, atau jaminan dan kepastian. Assurance terdiri dari beberapa komponen antara lain kredibilitas (credibility), keamanan (security), kompetensi (competence). Jaminan ini dibuktikan dengan tersedianya tenaga dokter, perawat, bidan, dan tenaga lainnya yang mempunyai keahlian dan pengalaman. Mempekerjakan tenaga yang mempunyai kompetensi dan berpengalaman akan memberikan rasa aman (security) kepada pasien, jika ia berada di rumah sakit tersebut. Pasien yakin apabila dia ke rumah sakit tersebut akan sembuh.

3. Tangibles. Penampilan fisik, baik bangunan, desain interior dan eksterior, penampilan petugas, dokter, perawat, dan petugas lainnya, termasuk alat-alat kesehatan (tehnologi) yang ada. Penampilan dan kemampuan sarana dan prasarana fisik perusahaan dan keadaan lingkungan sekitarnya adalah bukti nyata dari pelayanan yang diberikan oleh pemberi jasa. Banyak rumah sakit yang mulai memperbaiki penampilan gedungnya. Desain layaknya sebuah rumah sakit mulai ditinggalkan. Petugas di front office berpakaian layaknya customer service di sebuah bank, dengan senyum ramah menyapa setiap pasien yang datang.

4. Empathy, yaitu ungkapan tulus dengan turut merasakan apa yang dialami oleh pasien. Ungkapan empati dapat diwujudkan dari perhatian, keramahtamahan, senyum, sabar, dalam memberikan pelayanan. Yang penting dalam empati adalah kemampuan komunikasi petugas dalam memahami penderitaan pasien. Tidak jarang kita menemukan pasien yang dibentak oleh petugas, petugas menjawab pertanyaan pasien dengan ketus tampak mimik yang tulus. Tidak jarang kita melihat pemandangan yang memprihatinkan, dimana di ruang perawatan pasien mengeluh sakit tetapi di ruang perawat terpasanng TV dengan tayangan hiburan dan petugas sementara menontonnya.

5. Reliability, atau keandalan yaitu kemampuan rumah sakit untuk memberikan pelayanan sesuai dengan yang dijanjikan secara akurat dan terpercaya.

Minggu, 19 Oktober 2008

Awas ! Kapitalisme di Rumah Sakit !!!


Menteri Kesehatan pernah berkata: “Status rumah sakit dan manajemen obat harus pro-rakyat. Saya ingin rumah sakit yang tidak kapitalis lagi. Saya sekarang mengeluarkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perumahsakitan yang belum pernah ada. Obat murah, yang selama 60 tahun tidak terjamah dan malah selalu makin mahal, kini bisa diturunkan"
Kapitalisme adalah suatu paham yang meyakini bahwa pemilik modal bisa melakukan usahanya untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Sebagaimana kecenderunagn diberbagai negara, Indonesiapun rumah sakit mulai bergerak ke arah sistem manajemen berdasarkan konsep usaha yang mengarah pada mekanisme pasar dengan prinsip efisiensi. Jika perilaku berbau kapitalisme ini sudah menjalar dalam pelayanan rumah sakit maka bisa dibayangkan bahwa pasien akan menjadi sumber revenue rumah sakit untuk mengejar “cost recovery” bahkan untuk meraih keuntungan yang sebesar-sebesarnya (profit). Fungsi social rumah sakit perlahan akan terkikis habis, biaya pelayanan mahal karena dihitung berdasarkan unit cost, munculnya perilaku “suplly induced demand” dimana pemeriksaan dengan peralatan canggih tanpa indikasi medis yang seharusnya. Pasien nyeri kepala bisa saja dilakukan pemeriksaan CT Scan atau pemeriksaan canggih lainnya. Hal ini akibat “customer ignorance”. Obat diberikan tanpa berdasar formularium, kalaupun ada formularium dibuat berdasarkan pesan pihak-pihak tertentu atau agar obat rumah sakit laku saja. Orang masuk rumah sakit harus bayar “ deposit” dulu, sehingga pelayanan selanjutnya tergantung sisa deposit. Jika habis ? Yah harus segera keluar dengan paksa pulang.
Simak kejadian berikut. 16 tahun silam, bankir senior pendiri suatu bank ternama, mengajak 12 orang dokter senior di Jakarta untuk berkongsi. Daripada para dokter itu praktik di rumah sakit lain, bujuknya, lebih baik mereka memiliki rumah sakit sendiri. Para dokter itu setuju. Mereka berharap bisa mendirikan rumah sakit yang benar-benar bisa memberikan kualitas pelayanan nomor satu, menyamai standar pelayanan rumah sakit di Singapura. Mereka yakin, dengan kualitas layanan yang prima, rumah sakit ini tak melulu akan bersifat sosial, tapi juga dapat mendatangkan keuntungan yang besar.
Maka disepakatilah mendirikan sebuah perusahan terbatas, PT, yang akan mengelola rumah sakit tersebut dengan pembagian saham kepemilikan 50% untuk sang bankir tadi dan 50% untuk para 12 dokter tersebut. Dengan modal Rp. 21,5 Milyar, dimana Rp. 3 Milyar berupa modal disetor dan sisanya berupa pinjaman. Untuk para dokter yag tidak punya uang sang banker berbaik hati memberikan pinjaman.
Maka rumah sakit dengan kapasitas hampir 300 TT tersebut kemudian diresmikan oleh Menteri Kesehatan waktu itu. Rumah sakit tersebut menjadi sangat popular , selalu dipenuhi oleh pasien, bahkan sering terjadi penolakan pasien karena tidak mampu menampungnya. Oleh karena 50% sahamnya dimiliki oleh para dokter maka, mereka bahu membahu memberikan pelayanan yang terbaik/prima. Para dokter dan suster bekerja keras bahkan sampai-sampai harus membuat tiga shift jaga untuk para dokter agar semua pasien dapat terlayani. Hal ini bisa dilakukan oleh karena dengan saham yang masih 50% mereka dapat mengendalikan manajemen rumah sakit.
Membludaknya pasien membuat rumah sakit tersebut menjadi semacam mesin pencetak uang. Laporan keuangan selalu baik, bahkan kemudian untuk mengembangkan fasilitas, baik gedung, peralatan kedokteran yang lebih modern rumah sakit tersebut berani melakukan penawan sahamnya di bursa efek Jakarta. Keuntungan yang diperoleh dari reproduksi modal melalui penjualan saham digunakan untuk pengembangan modal. Apa yang terjadi diluar dugaan , 55 juta lembar saham yang ditawarkan senilai Rp.500 (waktu itu) terjual habis, dibeli oleh perusahaan kuat lainnya yang memang telah memiliki rumah sakit besar yang terus merugi. Belinyapun bisa dipastikan menggunakan dana pinjaman di bank. Akibatnya saham para dokter yang tadinya 50% menciut. Begitulah akhirnya saham rumah sakit ini dibeli terus oleh publik, hingga saat ini saham para dokter tinggal 1 % saja. Dan status kepemilikanpun beralih ketangan pesaham mayoritas. Praktis para dokter tidak punya kekuasaan lagi dalam mengatur kebijakan di rumah sakit.
Saham rumah sakit terus diperjualbelikan dibursa saham. Dana yang terkumpul sebagian untuk mengembangkan sarana dan sebagian untuk menutupi hutang rumah sakit satunya yang terus merugi. Mergerpun dilakukan untuk menghalalkan upaya ini.
Para dokter makin tersingkir. Para pegawai tetap yang sudah terlatih dan mengabdi di rumah sakit ini sejak pertama kali dibuka dibujuk untuk keluar dengan imbalan pesangon yang tingg. Maka sekitar 350 pegawai mengundurkan diri. Mereka digantikan tenaga-tenaga baru dengan pengalaman nol yang mau dipekerjakan secara kontrak, diupah murah, dan tidak mendapat jaminan kesehatan .
Ketika muncul kesempatan baik, para dokterpun menjual saham mereka, dan kembali ke keadaan semula yaitu berpraktek di rumah sakit milik orang lain.
Cerita diatas adalah nyata. Hal ini mengingatkan kita kepada pernyataan Menteri Kesehatan yang menolak privatitasi rumah sakit. Sebab tawaran privatisasi itu berbau kapitalisme, misalnya rumah sakit pemerintah yang akan dijadikan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sampai tawaran saham investor dari luar negeri agar menjual rumah sakit pemerintah.
“Ada cukong dari luar negeri yang ingin beli RSCM dan Fatmawati. Katanya tenang, nanti Ibu saya kasih saham. Waktu itu gede banget. Untung saya tidak tertarik dengan saham. Saya lebih suka tertarik Tuhan. Kalau saham dari Tuhan itu tidak akan terjungkal,” kata Ibu Menteri
(Disarikan dari berbagai tulisan)

Selasa, 07 Oktober 2008

Apotik Di Seputar Rumah Sakit (Fenomena Klasik)


Para ahli perumahsakitan mengatakan bahwa jika anda ingin melihat satu rumah sakit merugi atau untung, tidak usah repot-repot memeriksa pembukuannya. “ Lalu gimana caranya ?“, ya … gampang, lihat saja apa disekeliling rumah sakit tersebut banyak berdiri apotik swasta atau tidak. Jika banyak berarti banyak resep yang diresepkan oleh dokter di rumah sakit tersebut dibeli di apotik luar rumah sakit, pasien tidak membeli obat di apotik milik rumah sakit. Cross check saja dengan apotik rumah sakit tersebut, pasti ra-rak obatnya kosong melompong, kalau toh ada, isinya paling dos-dos obat yang berjejer, atau mungkin isinya hanya obat generic untuk pasien askes, jamkesmas, jamsostek".

Rumah sakit adalah industri jasa yang padat tehnologi, oleh karena dalam pengelolaannya rumah sakit sangat tergantung pada kebutuhan akan obat, bahan dan peralatan medis yang semakin canggih dan mahal serta mengikuti mekanisme pasar yang sangat kompetitif . Peluang ini tentu saja ditangkap oleh pelaku bisnis apotik swasta untuk bisa mendapatkan keuntungan dengan membangun apotik, kalau perlu di depan, samping atau belakang rumah sakit.

Fenomena ini menyolok di hampir semua rumah sakit baik rumah sakit swasta dan terutama rumah sakit milik pemerintah. Contoh saja ada rumah sakit yang dikelilingi 4 sampai 5 buah apotik swasta, dan yang ironis lagi memiliknya rata-rata adalah para pelaku kesehatan yang mungkin saja bekerja di rumah sakit tersebut. Hal ini memunculkan perilaku “supply induce demand” (peresepan diberikan sesuai obat yang tersedia di apotik tertentu saja), dan bukan sesuai formularium rumah sakit, obat yang tersedia di rumah sakit atau mungkin indikasi dan kemampuan pasien. Yang penting obat laku saja. Jika ini terjadi kasihan mereka yang ekonominya lemah.

Obat memang merupakan kebutuhan utama dalam pelayanan pasien di rumah sakit. Tanpa obat rumah sakit ibarat tentara dengan senjata tapi tanpa peluru. Itulah sebabnya obat merupakan komponen pelayanan yang sangat dibutuhkan, bahkan kurang lebih 60 persen keuntungan rumah sakit diperoleh dari obat-obatan dan bahan habis pakai, sisanya adalah dari jasa sarana. Lalu kalau resep rumah sakit dibeli di luar apotik rumah sakit ? Yah akibatnya pendapatan rumah sakit akan sangat menurun, dan tidak mampu mengejar cost recovery yang ideal.

Diakui memang rumah sakit tidak mampu menyediakan seluruh kebutuhan obat dan bahan habis hal apalagi dalam waktu cepat (untuk mengejar respon time pelayanan yang prima). Ini akibat kurangnya biaya operasional yang diberikan oleh pemerintah/pemilik rumah sakit, atau oleh karena berbagai peraturan dibidang keuangan yang membuat alur pengelolaan keuangan rumah sakit menjadi panjang, misalnya harus disetor dulu dalam 24 jam dan kalau membutuhkan harus mengikuti prosedur yang ditetapkan dan terkadang panjang. Hal ini menjadi dasar bahwa memang apotik swasta sangat dibutuhkan. Akan tetapi hal ini bukan menjadi alasan untuk kita tidak memajukan apotik rumah sakit.
Lalu apa solusinya agar pengelolaan obat di rumah sakit menjadi maksimal ?
Dari pihak pemerintah/pemilik perlu melakukan pengaturan dan penataan pembangunan apotik swasta dilingkungan rumah sakit agar tidak terkesan semrawut dan seolah-olah hanya pasien rumah sakit yang menjadi sumber pendapatan. Melakukan perubahan bentuk rumah sakit (misalnya dengan penerapan Badan Layanan Umum).
Dari pihak internal rumah sakit perlu dilakukan :
1.Penggunaan obat generik
2.Penggunaan obat yang rasional, hindari polifarmasi terhadap pasien
3.Penyusunan pedoman diagnosis dam terapi
4.Menjamin etika profesi dilaksanakan di rumah sakit
5.Menyusun dan mentaati formularium rumah sakit
6.Penerapan Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit

"Sekedar sharing aja"

Rabu, 10 September 2008

The Fifth Discipline


Ada 7 penyakit organisasi yang menyebabkan organisasi tidak berjalan dengan semestinya bahkan mati sebelum berkembang. Ketujuh penyakit itu adalah :

1.Saya adalah posisiku,(I am my position) semua boleh berubah asal posisiku tidak boleh terancam, organisasi dimana pemimpinnya hanya memikirkan bagaimana melanggengkan posisinya.
2.Orang lain adalah kambing hitam dari masalah,(the enemy is out there) bukan saya, jika terjadi masalah selalu mencari kambing hitam. Telunjuk selalu mengarah kesana dan bukan kepada dirinya.
3.Kecenderungan mengambil tanggung jawab pemecahan masalah, tetapi yang bersifat re-aktif dan bukan pro-aktif
4.Kecenderungan bereaksi terhadap peristiwa dan bukan penyebab peristiwa. Tidak pernah melakukan analisis terhadap akar masalah
5.Kecenderungan menyesuaikan diri terhadap perubahan kecil-kecilan , yang akhirnya terakumulasi menjadi ancaman terhadap eksistensi diri, ketika diri menjadi lumpuh
6.Belajar dan mengambil keputusan berdasarkan pengalaman sendiri dan bukan yang terkena dampak keputusan. Orang yang terkena dampak tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan.
7.Kecenderungan pemecahan masalah melalui Tim Manajemen yang dibentuk , menghindari pemecahan masalah yang tidak menyenangkan pihak yang terlibat dalam tim tersebut. Orang yang tidak sepaham/tidak mendukung cenderung disingkirkan dari tim

5 OBAT
Ketujuh penyakit tersebut dapat diobati dengan 5 obat yang oleh Peter Senge kelima obat tersebut dikenal luas dengan "the fifth disciplin" yaitu :

1.Personal Mastery
-Tahu dan mampu mencapai yang bermakna dalam hidup
-Terus menerus membandingkan yang hendak dicapai dengan kenyataan yang dihadapi, lalu dengan kemauan bebas bertindak untuk mengatasi kesenjangan yang ada menuju kemandirian yang lebih tinggi

2.Mental Models
-Setiap orang mempunyai cara pandang terhadap kenyataan yang dihadapi
-Untuk dapat belajar, kemajemukan itu tidak boleh dipandang sebagai hambatan melainkan peluang untuk saling memperkaya dan meningkatkan kemampuan organisasi

3.Share Vision
-Visi : adalah gambaran tentang posisi masa depan yang ingin dicapai
-Gambaran tersebut merupakan elemen :
a.Memberikan makna pada tindakan sekarang
b.Menyatukan arah dan tindakan anggota
c.Meredam konflik
d.Digunakan untuk mengevaluasi kemajuan organisasi

4.Team Learning
-Memadukan dan mengembangkan kemampuan kelompok untuk mencapai hasil yang betul-betul bermakna dalam hidup ini
-Melalui dialog dan diskusi terbuka untuk saling menerima secara tulus

5.System Thinking
-Cara berpikir dan bertindak yang memadukan dengan disiplin yang pertama dan 11 hukum berfikir sistim
-Sebuah sistim lebih besar ketimbang penjumlahan bagian-bagianyang membentuknya
-Nilai : gambaran abstrak dalm benak kita yang menjadi acuan bertindak

11 HUKUM SYSTEM THINKING

1.Masalah hari ini akibat keberhasilan memecahkan masalah kemarin
2.Kian kuat anda mendorong, kian kuat sistim melawan dorongan anda
3.Perilaku menjadi lebih baik sebelum akhirnya menjadi lebih buruk
4.Memecahkan masalah dengan cara gampang akan menghasilkan bumerang
5.Obat dapat berbahaya dari pada penyakit yang diobati
6.Mau lebih cepat dapat menjadi lebih lambat
7.Sebab dan akibat tidak berhubungan secara gamblang menurut waktu dan tempat
8.Perubahan yang kecil dapat menghasilkan hasil yang besar dengan daya ungkit yang besar, namun kurang disadari di daerah
9.Anda dapat sekaligus memiliki dan memakan kue anda tetapi tidak pada saat yang sama
10.Membelah satu ekor gajah menjadi 2 bagian tidak akan menghasilkan 2 ekor gajah kecil
11.Tidak ada pihak yang dijadikan kambing hitam.

3 LANGKAH PENERAPAN

1.Adanya pemimpin yang memutuskan untuk menerapkan L O
2.Pembentukan kelompoik kajian penerapan LO (adalah jantung LO)
3.Terapkan LO, dimana terjadi proses learning dan unlearning yang tulus diantara para pembelajar di dalam kelompok.

(SLLO : catatan kuliahku)

Minggu, 07 September 2008

Monyet tolong Ikan

Konon, pada suatu hari di negeri Antahberantah, ada seekor monyet yang bercengkerama dengan teman-temannya, beberapa ekor ikan. Sang monyet berada di sebuah pohon, sedangkan teman-temanya berada di dalam sungai, tepat di bawah pohon di mana sang monyet berada. Karena berada di tempat yang tinggi, sang monyet dapat melihat datangnya banjir di kejauhan. Ia segera mengingatkan kawan-kawannya tentang bahaya yang sedang mendekat. Tidak hanya mengingatkan. Ia juga dengan sigap terjun ke dalam sungai, menangkap teman-temannya dan membawanya ke tempat yang aman dan kering di atas pohon. Maksud dan tindakan yang “baik” ini berakhir dengan matinya ikan-ikan tersebut, yang menimbulkan kesedihan dan penyesalan pada sang monyet.
Pesan: Maksud baik menolong orang lain belum cukup, jika pihak yang menolong tidak bertanya dan tidak tahu tentang kebutuhan pihak yang hendak ditolong. (dari : Kumpul Kecil, WIM POLI)

Rabu, 02 April 2008

Manajemen Kuda Mati


Sebuah kearifan antik mengatakan: “Kalau Anda tahu sedang menunggang kuda mati, adalah arif jika Anda turun dan cari kuda lain yang hidup”. Tetapi, dalam manajemen modern sering tampak diterapkannya “manajemen kuda mati” dengan gejala-gejala sebagai berikut:

Mencambuk kuda lebih keras dan bertubi-tubi agar ia mau berlari”. Kalau ada kegagalan, pengendalian lebih ditingkatkan, dan orang-orang barsalah kian dihukum sebagai “kambing hitam”.
Membentuk panitia khusus untuk mempelajari masalah dan “menemukan cara yang benar menunggang kuda mati”.
Mengadakan studi banding untuk mengetahui “bagaimana orang lain menunggang kuda mati” di lain tempat.
Merekrut penunggang baru” yang diduga lebih ahli “menunggang kuda mati”.

Pesan: Jika organisasi tidak berjalan seperti yang diharapkan, sebabnya mungkin terletak pada pimpinan organisasi dan sistem organisasi yang diterapkannya, bukan pada peraturan dan para anggota organisasi.

dari : kumpul kecil (WIM POLI)

Jumat, 28 Maret 2008

Paradigma Penanganan HIV/AIDS di Gorontalo Harus Dirubah !!


Ada yang aneh dalam penanganan HIV/AIDS di Propinsi Gorontalo. Dengan dalih hak azazi manusia, maka pihak-pihak yang terlibat didalamnya terutama yang memiliki data cenderung menyembunyikan data penderita yang mereka ketahui. Bahkan yang lebih ironis kepada aparat kesehatan yang notabene adalah pekerja public health pun data tersebut tidak diberikan. Apa yang terjadi ? Terpaksa kita mencari data sendiri-sendiri !

Dalam sosialisasi penanggulangan HIV/AIDS yang dilakukan baru-baru ini, seorang Kepala Dinas Kesehatan pun melakukan protes karena tidak diberikan data. “ Bagaimana mungkin kita bisa mencegah orang sehat agar tidak menjadi sakit jika kita tidak tahu berapa besar masalah penyakit tersebut di wilayah kita ? “ semburnya dalam sosialisasi yang dihadiri oleh ketua KPA pusat dan KPA Gorontalo

Penanganan Terkesan Sebatas 'Proyek'

Upaya untuk menangani kasus HIV/AIDS selama ini memang terus dilakukan. Namun demikian harus diakui bahwa berbagai penanganan tersebut ternyata belum juga menampakkan hasil yang menggembirakan.

Dua kesalahan yang membuat program penanggulangan HIV/AIDS kurang menghasilkan adalah karena:

Pertama, program penanganan HIV/AIDS masih diletakkan dalam kerangka proyek dan tidak berorientasi kepada prinsip-prinsip " public health approach " , sehingga beberapa kegiatan dan program yang dikonsepsikan untuk mengatasi HIV/AIDS tidak mencapai sasaran yang diinginkan. Logika proyek adalah bagaimana meraih keuntungan dari kegiatan yang dilakukan.

Bila ini dibiarkan maka bukan tidak mungkin kalau masalah HIV/AIDS akan terus ada dan mungkin akan dirawat agar bisa mengucurkan dana.

Kenyataan ini tentu menjadi ironi, yakni di satu sisi HIV/AIDS merupakan ancaman nyata bagi kehidupan kita, sementara pada sisi lain penanganan terhadap masalah tersebut masih sebatas formalitas bahkan lebih tragis lagi masih dianggap sebagai proyek untuk mencari dana.

Kedua, secara faktual harus dicatat bahwa ketidakberhasilan program penanganan HIV/AIDS ini bisa jadi karena pelibatan remaja dalam upaya tersebut relatif kecil. Kita kerap meletakkan remaja sebagai objek yang bermasalah dan jarang melibatkannya dalam mengatasi masalah mereka sendiri. Cara berpikir semacam itu sudah sepatutnya direvisi. Remaja juga harus diajak ikut serta untuk terlibat dalam mengatasi persoalan yang mengancam generasinya. Pelibatan remaja diharapkan akan lebih memudahkan untuk masuk ke dunia mereka dan tahu keinginan mereka.

Peran LSM tentu saja sangat diharapkan untuk mendekatan social dalam hal pendampingan agar para penderita meresa lebih siap menerima keadaannya, tetapi keterbatasan jaringan LSM yang ada menyebabkan focus menanganan hanya berorientasi pada penderita. Padahal masalah yang dihadapi adalah bagaimana melakukan investigasi dan memutuskan mata rantai penularan agar agar yang sehat tidak terjangkiti oleh mereka baik yang sudah terdeteksi maupun mereka yang belum terdeteksi tetapi menjadi sumber penularan ? (www.aidsindonesia.org.id)

Ini memerlukan perhatian dari semua pihak sebab masing-masing akan berkontribusi pada bidangnya masing-masing. Jajaran kesehatan melakukan upaya pencegahan dalan lingkup tugas pokok dan fungsinya yaitu : penyuluhan, sosialisasi pencegahan penularan melalui penggunaan alat-alat kesehatan yang “ single used only “saat memberikan pelayanan kesehatan, screening darah saat melakukan kegiatan transfusi oleh PMI/UTD tidak bisa hanya mengandalkan kecanggihan alat screening yang dimiliki, sebab seorang penderita HIV/AIDS dikenal “ windows periode “ dimana saat itu tidak terdeteksi melalui screening tetapi penderita sudah menularkan. Dalam keadaan ini informasi dari pihak lain harus dibutuhkan untuk menentukan yang bersangkutan adalah orang-orang yang beresiko tinggi. Pncarian tentang mata rantai penularan penting untuk kita bisa memutuskannya.

Misalnya, dimana sumber penularannya, siapa saja yang sudah berhubungan dengannya, kalau dia sakit kemana tampat berobatnya (perlu penelusuran terhadap medical recordnya di semua instansi pelayanan kesehatan, apakah yang bersangkutan aktif di kegiatan-kegiatan sosial apa saja, bagaimana isterinya, anak-anaknya, saat dilakukan khitanan bagi anak-anaknya dikhitan dimana, pokoknya banyaklah).Itulah sebabnya dalam HIV/AIDS dikenal dengan istilah "ice mount phenomenom" atau fenomena gunung es. Yang kita temukan hanya satu tetapi yanng belum ditemukan banyak tersembunyi di "dasar laut".

Pihak Departemen Agama melalui pendekatan keagamaan, sudah saatnya pada dai kita diberkan pengetahuan yang cukup tentang bahaya HIV/AIDS. Pihak Departemen Pendidikan melalui pendekatan di sekolah. Sudah saatnya pendidikan kesehatan reproduksi remaja harus dimasukkan kedalam kurikulum pendidikan kita, jika tidak anak seklah kita akan mencari tahu sendiri tentang masalah seks dari sumber-sumber yang tidak bertanggung jawab.

Pemerintah daerah pun perannya diperlukan dalam membuat berbagai regulasi penanganan HIV.AIDS di daerahnya disamping regulasi yang sudah ada. Dimana-mana jabatan ketua KPA banyak yang dipegang oleh para pejabat di daerah, mulai dari wakil Gubernur, wakil Bupati. Ini sangat menguntungkan untuk mendapatkan dukungan politik (political will).

Tetapi semua ini tidak ada artinya kalau masing-masing komponen tersebu jalan sendiri-sendiri apalagi tidak dibekali data. Sehingga menanganan HIV/AIDS selama ini terkesan berorientasi pada proyek yang sifatnya sektoral saja.

Ibarat pemain sepak bola, seharusnya masih dilakukan sekali umpan ke pemain yang sudah ada di depan gawang, tetapi karena ada iming-iming bonus yang besar bagi pemain yang memasukkan goal , maka walaupun posisinya kurang menguntungkan bola tersebut di shoot dari belakang, akhirnya : yahh tidak masuk-masuk.

Sumbang saran : rusli katili {pemerhati kesehatan masyarakat

Selasa, 25 Maret 2008

SHARED VISION

Martin Luther King, Jr, dalam artikelnya melukiskan “ Saya bermimpi, kami membicarakan seorang pemimpin pada satu titik sejarah dan mencatat bahwa pidatonya tidak satu katapun tentang keadaan saat ini, akan tetapi melukiskan gambaran masa yang akan datang. Ini adalah menepuk cita-cita yang dalam “. Kombinasi antara berfikir aspiratif tentang dimana anda ingin berada dan kemudian secara taktik tentang bagaimana mencapainya, akan menolong mengkristalisasikan visi pada organisasi.
Visi tersebut membimbing kita mencapai yang kita ingingkan " sebuah perusahaan yang dikagumi, menggembirakan pelanggan, menghargai investor, menghadapi tantangan, melayani masyarakat . Dengan visi bersama kita boleh merubah strategi tanpa merubah cita-cita.
Shared vision adalah satu dari empat inti disiplin yang diidentifikasi oleh Peter Senge yang diperlukan untuk membangun organisasi. Shared vision bukan suatu ide, tetapi lebih dari kekuatan hati manusia yang menghasilkan kekuatan. Menggerakkan individu untuk mencapai tujuan. Menghubungkan setiap orang menghimpun kekuatan bersama. Pada level yang sederhana visi bersama menjawab pertanyaan “ apa yang ingin kita lakukan ?” Hanya sebagai visi personal adalah gambaran atau hayalan orang yang membawa dalam kepala dan hati. Visi adalah vital dalam organisasi pembelajar sebab hal ini menyediakan focus dan energy untuk pembelajaran.
Proses belajar individu tidak akan menjamin terjadinya organisasi pembelajar, jika tidak ada komitmen bersama tentang masa depan yang ingin dicapai bersama. Mereka harus sadar bahwa tanpa ada organisasi (tindakan kolektif – bersinergi), pencapaian visi atau perjuangan pribadi akan sulit untuk dicapai. Melalui tindakan kolektif visi pribadi tersebut lebih realistis untuk dicapai.
Seperti misal; perjuangan buruh yang dipimpin oleh Spartacus. Ketika tentara Romawi mencari Spartacus, secara sukarela mereka merelakan nyawanya dengan mengaku sebagai Spartacus. Mereka sadar bahwa gerakan pembebasan buruh dapat diwujudkan melalui tindakan kolektif. Intinya, shared vision adalah terbangunnya komitmen anggota organisasi untuk mengembangkan visi bersama, serta sama-sama merumuskan strategi untuk mencapai visi tersebut.
Tidak satupun organisasi menjadi besar tanpa tujuan, nilai dan misi yang datang secara bersama. Suatu pernyataan visi atau karisma seorang pemimpin saja tidak cukup. Sebuah visi asli lahir dari pembelajaran sebab orang dalam organisasi ingin mencapai tujuan. Apa yang dimaksud dengan menciptakan ? Jawabannya ialah visi anda dan orang-orang secara bersama-sama dibangun .
Visi bersama adalah vital untuk pembelajaran organisasi yang ingin menyediakan fokus dan tenaga bagi karyawannya. Orang-orang belajar terbaik ketika mereka bekerja keras untuk mencapai hal-hal yang berarti bagi mereka, kenyataannya anda tidak mempunyai organisasi pembelajaran tanpa visi bersama. Mencapai tujuan membangun visi tidak hanya dengan komitmen tetapi berfikir dan bertindak.
Organisasi pembelajar adalah usaha untuk membuat organisasi maju dan dapat bergerak cepat. Semua karyawan pada semua level menanggung visi Pada gaya hierarki lama, hanya bos yang membuat keputusan dan sangat lambat. Kerjasama sekelompok diharapkan dan sangat penting, setiap individu harus mempunyai komitmen personal untuk perkembangan dan pertumbuhan dan perubahan untuk menjadi lebih baik.
Apa visi yang ditemukan dalam hati kita ? Menurut WordNet, sebuat visi adalah gambaran mental yang hidup. Dalam konteks ini, hdup berarti seperti kehidupan dan grafis. Berdasar hal ini, dapat disimpulkan bahwa visi adalah sebuah grafis dan gambaran mental seperti kehidupan yang sangat penting pada kita, dipegang didalam hati kita. Visi sering berupa tujuan yang secara individu ingin dicapai. Dalam system thinking bahwa tujuan lebih sering dimaksud adalah tujuan jangka panjang, kadang-kadang dapat menjadi sebuah bintang yang memimpin individu.
Visi bersama dari organisasi harus dibangun oleh oleh visi individu dari para anggota.Apa yang dimaksud oleh pemimpin dalam organisasi pembelajar adalah bahwa visi organisasi tidak diciptakan oleh pemimpin, melainkan, visi harus diciptakan melalui interaksi dengan individu dalam organisasi. Hanya melalui kompromi antara visi individu dan mengembangkan visi-visi tersebut maka visi bersama dapat diciptakan. Peran pemimpin dalam mengkreasikan visi bersama adalah membagi visi masing-masing dengan karyawan. Ini tidak harus dilakukan dengan menekankan bahwa visi atas orang lain tetapi mendorong yang lain berbagi visi mereka . Berdasarkan visi tersebut visi organisasi dapat meningkat.
Refleksi atas visi bersama membawa pertanyaan apakah tiap individu dalam organisasi harus berbagi sisa dari visi organisasi. Jawabanyya adalah tidak, tetapi individu yang tidak membagi visi tidak akan berkontribusi sebanyak pada organisasi. Bagaimana seseorang memulai membagi sisa dari visi organisasi ? Senge (1990) menekankan bahwa visi tidak dapat dijual. Untuk sebuah visi bersama berkembang. Para anggota organisasi harus melebur kedalam visi. Perbedaan antara keduanya ialah melalui keterlibatan anggota organisasi memilih berpartisipasi.
Jika suatu organisasi yang mempunyai visi bersama, kekuatan berubah datang dari yang dikatakan Senge “ Creative Tension “ Ketegangan kreatif adalah perbedaan antara visi bersama dan kenyataan sekarang. Dengan kommitmen yang benar-benar tulus anggota menciptakan Creative tension yang akan membawa organisasi mencapai tujuan..

Diterjemahkan dan disarikan dari beberapa artikel.

Minggu, 09 Maret 2008

Bone Bolango Bisa Tiru Model Pelayanan Kesehatan Jembrana

Pelayanan kesehatan perorangan (privat health services) di Kabupaten Bone Bolango umumnya masih menggunakan sistem fee for services, artinya masyarakat membayar biaya atas pelayanan yang diterimanya (out of pocket). Hal ini berlaku baik di Puskesmas Rumah Sakit, Dokter Praktek maupun Bidan. Dengan sistem ini, bagi masyarakat yang mampu maka biaya pelayanan kesehatan bukanlah masalah, sebaliknya bagi yang tidak mampu pasti akan kesulitan jika dalam keadaan darurat memerlukan pelayanan kesehatan. Hal ini karena umumnya mereka tidak mempersiapkan keuangannya jika kelak mengalami masalah dalam kesehatannya. Disamping itu angka kemiskinan di kabupaten Bone Bolango yang masih tinggi yang mencapai 30 %.
Sejak pemerintah meluncurkan program askeskin sebagai kelanjutan program JPS BK maka di kabupaten Bone Bolango sejumlah 67.409 jiwa (15.049 KK) telah diasuransikan melalui program askeskin, hampir 10.000 jiwa melalui program askes PNS, TNI dan Polri. Dengan jumlah penduduk yang hampir mencapai 153.000 jiwa maka masih ada kurang lebih 80.000 jiwa lagi masyarakat yang harus dicarikan solusi untuk pelayanan kesehatannya.
Jika berpedoman pada program askeskin dengan premi yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan maupun perhitungan menurut PT. Askes maka diperlukan dana sebesar 5 sampai 8 Milyar pertahun, dengan asumsi bahwa seluruh masyarakat dijamin kesehatannya oleh pemerintah daerah.

Pengalaman di Jembrana

Sejak tahun 2003 Seluruh msyarakat di Kabupaten Jembrana mendapatkan pelayanan kesehatan gratis dari pemerintahnya. Hal ini dimungkinkan oleh karena seluruh masyarakat di Kabupaten Jembrana diikutkan dalam program asuransi kesehatan yang dikelola oleh suatu Badan Pelaksana (Bapel) yang diberi nama Jaminan Kesehatan Jembrana (JKJ). Lembaga JKJ ini dibentuk untuk mengelola dana yang diberikan oleh pemerintah daerah kepada masyarakat untuk pelayanan kesehatannya.
Dengan kata lain bahwa premi asuransi ini dibayar oleh pemerintah daerah, dan masyarakat yang memerlukan pelayanan kesehatan dilayani oleh Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) yang ditunjuk oleh lembaga JKJ , yang terdiri dari PPK 1 (Puskesmas, dokter umum/dokter gigi praktek, bidan ), PPK 2 (dokter spesialist, rawat jalan rumah sakit) dan PPK 3 (rawat inap di rumah sakit) dengan menunjukkan kartu identitas kepesertaan Semua penduduk yang punya KTP Jembrana langsung mendapat kartu anggota JKJ, gratis. Dengan menunjukkan kartu tersebut, tiap orang bisa mendapat perawatan dan obat di mana pun, Pembayaran kepada PPK dilakukan oleh Bapel JKJ berdasarkan tagihan yang dilakukan oleh PPK.
Manjemen keuangan JKJ menggunakan system pra-upaya seperti pada JPKM, tetapi pra-upaya dilakukan ditingkat Bapel, bukan di tingkat PPK-1. Subsidi pemerintah disalurkan dan diterima oleh Bapel JKJ dan Bapel JKJ membayar kepada PPK-1 sesuai klaim yang diajukan . Klaim dikoreksii oleh tim verifikasi dan setelah koreksi dilaksanakan klaim baru dibayarkan.

Model asuransi seperti ini dapat pula diterapkan di kabupaten Bone Bolango dengan beberapa alternatif misalnya :
Alternatif Pengelolaan :
- Pengelolaan melalui bapel yang dibentuk oleh pemerintah daerah
- Pengelolaan melalui PT Askes oleh karena sudah mempunyai jaringan yang cukup luas di seluruh Indonesia untuk penjamin portabilitas (peserta dapat dilayani dimana saja)
Alternatif Pembayaran Premi :
- Premi bagi masyarakat miskin yang tidak menjadi peserta Askeskin ditanggung oleh pemerintah dan bagi yang mampu menjadi peserta asuransi wajib dan premi dibayar sendiri
- Premi bagi seluruh masyarakat dibayarkan oleh pemerintah daerah
Dengan kemampuan daerah melalui APBD yang hampir mencapai Rp. 400 Milyar, maka tidak mustahil pemerintah kabupaten Bone Bolango dapat menjamin pelayanan kesehatan bagi masyarakatnya.

(sebuah sumbang saran kepada pemda)

Rabu, 13 Februari 2008

RSUD Siapa Yang Punya ?

” Nona manis siapa yang punya? ” Jawabannya tentu saja ” yang punya kita semua ”. Itu sepenggal syair lagu ” nona manis ”, lagu terpendek di dunia, karena hanya terdiri dari dua kalimat saja. Jawaban terhadap pertanyaan dalam syair lagu diatas sederhana, spontan dan tidak ada tendensi apa apa. ” yang punya kita semua ”. Andaikan RSUD adalah nona manis tentu saja jawabannya " RSUD yang punya kita semua " . Lho .. maksudnya ?
Polemik kepemilikan RSUD sebaiknya tidak perlu terjadi kalau kita berpikir sederhana. Tidak usah pakai hitung-hitungan rumit apalagi punya tendensi tertentu. Mau berdasarkan undang-undang, peraturan pemerintah, kepres dan sejenisnya silahkan. Mau jadi UPT, Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), BLU, bahkan mau jadi PT pun silahkan saja. Mau milik daerah, propinsi, maupun pusat oke-oke saja yang penting rumah sakit bisa beroperasi dengan baik dan berkesinambungan (growth and survive) dan semua yang membutuhkan dapat menjangkaunya dan terlayani secara berkualitas.
Tidak bisa dipungkiri bahwa rumah sakit adalah institusi yang unik dan kompleks. Unik, karena mayoritas yang membutuhkannya adalah orang-orang yang terpaksa harus datang, tidak karena diundang, atau tertarik akan promosi tetapi karena sakit (berobat) atau agar tidak sakit (medical check up). Mereka datang dengan tingkat emosional yang bervariasi, mulai dari was-was sampai stres dan panik. Mereka membawa kebutuhan (need) mendesak untuk sembuh, keinginan (want) untuk ditolong oleh dokter ahli dengan peralatan yang memadai dan membawa harapan (ekspektasi) untuk dilayani cepat.
Kompleks oleh karena setiap satu jenis pelayanannya tidak diproduksi oleh hanya satu orang dengan satu keahlian saja. Produk layanan rumah sakit tidak sama dengan memproduksi sate, bisa dikerjakan sendiri, mulai dari membeli daging, memotong-motong, menusuknya, memasak, dan menjualnya dapat dikerjakan seorang saja. Tapi produk rumah sakit diproduk secara bersama oleh berbagai pihak dengan berbagai keahlian.
Contoh sederhana, untuk datang berobat rawat jalan melibatkan berbagai unsur, mulai dari satpam yang mengatur alur masuk keluar kenderaan, tukang parkir yang memarkirkan kenderaannya, petugas loket yang mencarikan medical recordnya, perawat yang menentukan gilirannya, dokter yang mendiagnosis penyakitnya, apotik beserta petugas apotik yang menyiapkan obatnya, laboratorium, rontgen, dan seterusnya..
Contoh yang lebih kompleks misalnya operasi usus buntu (apendisitis). Jangan dikira operasi usus buntu dirumah sakit sukses karena seorang ahli bedah ?. Simak alur/perjalanan seorang pasien usus buntu : mulai dia masuk pintu gerbang satpam yang mengatur alur masuknya dan menjaga keamanan kenderaannya, petugas loket yang mencarikan medical recordnya, perawat yang menerima melengkapi status dan melaporkan ke dokter, laboran yang memeriksa laboratoriumnya, petugas rontgen memeriksa paru-parunya, dan ketika masuk di kamar operasi, petugas anestesi menyiapkan pembiusannya, asisten instrumen menyiapkan alat-alat operasinya, baru dokter ahli bedah mengoperasinya itupun dibantu sisten operator.
Setelah operasi dokter anestesi mengawasinya di ICU atau ruang recovery, juru dorong mendorongnya ke ruangan inap, perawat menjaganya selama 24 jam, petugas dapur menyiapkan masakannya, cleaning servis membersihkan ruangannya agar indah, petugas laundry mencucikan spreynya, sarung bantal dan mungkin pakaiannya yang kotor, petugas instalasi pemeliharaan sarana memperbaiki jika air di kamarnya macet. Ketika pasien pulang petugas adminstrasi keuangan menghitungkan biaya (bill). Kasir menerima pembayarannya. Lalu apakah hanya itu saja ? Belum.... manajemen bagian perencanaan yang merencanakan dan mengadakan obat-obatan, alat-alat kesehatan dan bahan habis pakai yang dipakainya selama operasi dan perawatan di ruang inap, bagian SDM yang merekrut tenaga yang bekerja di rumah sakit, bagian keuangan yang merencanakan keuangannya dan terakhir direktur yang bertanggung jawab keseluruhannya. Bahkan kalau ada komplain yang babak belur dihujat habis-habisan adalah direkturnya.
Dapat dibayangkan jika salah satu proses dari alur diatas macet, maka proses seterusnya pasti akan macet juga. Bayangkan jika perencanaan tidak sempat merencanakan salah satu jenis alat kesehatan atau obat yang dibutuhkan maka operasi pasti tidak akan bisa dilaksanakan.
IItulah sebabnya maka rumah sakit disebut sebagai institusi yang padat modal (investasi besar, mahalnya gedung, harga peralatan kedokteran, biaya operasional tinggi, mulai dari gaji, biaya makan minum, listrik, air, telepon, dll), padat karya (karena banyak keahlian yang terlibat didalamnya, bukan hanya dokter dan perawat saja, ada apoteker, asisten apoteker, bidan, tenaga sanitasi, fisioterapi, ahli laboratorium, ahli rontgen, ahli anestesi, SKM, ahli perencanaan, ekonomi, dll ) dan padat tehnologi (peralatan kedokteran yang semakin canggih dan tentu saja mahal). Lalu siapa yang berhak mengelola rumah sakit ?
Jika yang mengelola pihak swasta pasti seluruh biaya operasionalnya akan dibebankan pada pasien, maka tidak heran jika rumah sakit swasta tarif pelayannya pastilah tinggi oleh kerena tarif ditetapkan untuk mencapai pengembalian biaya (cost recovery) dan untuk mencapai keuntungan (profit) yang diinginkan. Lalu bagaimana jika masyarakat disekitar rumah sakit mayoritas menengah kebawah ? dalam artian kemampuan membayar (ability to pay) mereka rendah ? Lalu siapa yang berhak mengelola rumah sakit ?
Kalau kita menggolongkan kemampuan masing-masing daerah kabupaten dan kota , maka ada empat kategori daerah yaitu :
1. Kabupaten/Kota yang pemerintahnya kaya dan rakyatnya kaya

2. Kabupaten/Kota yang pemerintahnya kaya tapi rakyatnya miskin

3. Kabupaten/Kota yang pemerintanya miskin tapi rakyatnya kaya, dan

4. Kabupaten/Kota yang pemerintahnya miskin dan rakyatnya miskin

Untuk kategori (1), semua jenis kepemilikan rumah sakit dapat dibangun, apakah rumah sakit pemerintah karena mempunyai kemampuan besar, misalnya karena PAD-nya memang besar, atau rumah sakit swasta, silahkan oleh karena masyarakatnya mempunyai kemampuan membayar dan Untuk kategori daerah ini jenis rumah sakit umum daerahnyapun dapat saja BLU (yang semi bisnis)
Untuk kategori (2) kepemilikan rumah sakit sebaiknya dalam bentuk rumah sakit umum daerah, dan masyarakatnya dikembangkan sistem asuransi seperti yang ada saat ini, askeskin. Rumah sakit swasta aga sulit berkembang oleh karena pangsa pasarnya kurang menguntungkan dari sisi bisnis.
Untuk kategori (3) kepemilikan rumah sakit diserahkan saja ke swasta karena masyarakatnya memang mempunyai kemampuan membayar. Pemerintah dapat saja membangun rumah sakit dalam bentuk BLU.
Untuk kategori (3) sebaiknya rumah sakit diserahkan saja jenjang pemerintahan yang lebih tinggi saja, misalnya pemerintah propinsi yang anggarannya memang jauh lebih besar besar daripada kabupaten kota, tidak usah gensi-gensian mempertahankannya kalau memang tidak mampu. Tidak usah memaksakan jadi BLU misalnya, sebab persyaratan jadi BLU tidak mudah, cost recovery rate harus diatas 60%, harus sudah menyusun bisnis plan yang baik (semi bisnis). Untuk mencapai cost recovery yang baik tentu saja tarifnya harus dihitung berdasarkan total biaya meliputi investasi dan biaya operasional (total cost) yang dikeluarkan. Dapat dihitung pasti tarif akan naik.
Nah . . pertanyaannya kita berada dimana ? Silahkan jawab sendiri saja.