Kamis, 04 Desember 2008

Berebut Kepemilikan Rumah Sakit Umum Daerah


Jika terjadi perebutan kepemilikan suatu rumah sakit umum oleh pemerintah kota dan pemerintah provinsi, maka yang perlu dipertanyakan apa motivasi bagi pihak yang ingin memiliki dan apa motivasi dari pihak yang ingin mempertahankannya. Jika motivasi kedua belah pihak baik maka ini mungkin yang disebut ”creatif tension” (ketegangan kreatif). Ketegangan yang didasari oleh keinginan untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat pengguna jasa rumah sakit.
Mengelola rumah sakit memang tidak semudah yang dibayangkan.Sifat rumah sakit yang padat modal (capital intensif), padat tehnologi (technological intensif) dan pada karya (labour intensif) menuntut profesionalitas para pengelolaannya. Padat modal menjadikan manajemen rumah sakit mulai melakukan hitung-hitungan ekonomi. Padat tehnologi oleh karena dalam pengelolaannya rumah sakit sangat tergantung pada kebutuhan akan obat, bahan dan peralatan medis yang semakin canggih dan mahal serta mengikuti mekanisme pasar yang sangat kompetitif. Ditambah lagi dengan naiknya berbagai harga akibat merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar akibat krisis keuangan global.
Bagi rumah sakit swasta dampaknya adalah menaikkan tarif untuk mengejar cost recovery dan profit.
Lain halnya bagi rumah sakit umum daerah yang notabene adalah milik pemerintah.
Baik UU 45 maupun UU Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992 menyebutkan bahwa kesehatan merupakan hak dan kebutuhan dasar manusia, dengan demikian pemerintah mempunyai kewajiban untuk mengadakan dan mengatur upaya pelayanan kesehatan yang dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat dan memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.
Yang tersirat dari kedua UU tersebut adalah tidak bijaksananya keputusan untuk menaikkan tarif, sebab akan memberatkan masyarakat terutama mereka yang tergolong masyarakat tidak mampu. Walaupun pemerintah telah mengeluarkan kebijakan Jaminan bagi masyarakat miskin namun baru bisa menjangkau kurang lebih 30% masyarakat Indonesia. Sifat pelayanan kesehatan yang uncertainty (susah diprediksi kapan, seberapa berat serta berapa biaya jika sakit) serta masih rendahnya jangkauan kepesertaan terhadap asuransi kesehatan yang dilaksanakan oleh pihak swasta menyebabkan masyarakat tetap kesulitan dalam membiayai dirinya jika sakit.
Yang perlu dilakukan adalah menaikkan anggaran kesehatan terutama biaya operasional rumah sakit, dan bukan malah menaikkan tarif. Menjadikan rumah sakit menjadi sumber pendapatan asli daerah sangat tidak bijaksana. ”Masak orang sakit disuruh membangun” Lalu siapa yang berhak mengelola rumah sakir milik pemerintah ? Jawabannya sederhana, namun sebelum menjawabnya kita kategorikan dulu daerah atas 4 kategori berdasarkan kemampuan fiskalnya baik pemerintah maupun masyarakatnya, sebagai berikut :
Untuk memudahkan memahami kepemilikan rumah sakit umum daerah, ada baiknya kita kelompokkan kabupaten/kota atas 4 kelompok yaitu :
Daerah yang pemerintahnya kaya dan masyarakatnya kaya
Di daerah ini semua jenis kepemilikan rumah sakit dapat dibangun, apakah rumah sakit pemerintah karena mempunyai kemampuan besar, misalnya karena PAD-nya memang besar, atau rumah sakit swasta, silahkan oleh karena masyarakatnya mempunyai kemampuan membayar dan Untuk kategori daerah ini jenis rumah sakit umum daerahnyapun dapat saja BLU (yang semi bisnis)
Daerah yang pemerintahnya kaya tapi masyarakatnya miskin
Kepemilikan rumah sakit sebaiknya dalam bentuk rumah sakit umum daerah, dan masyarakatnya diikutkan dalam asuransi seperti yang ada saat ini, yang miskin disubsidi preminya melalui jamkesmas, dan yang mampu dapat mengikuti asuransi komersial. Rumah sakit swasta agak sulit berkembang oleh karena pangsa pasarnya kurang menguntungkan karena ketidakmampuan membayar masyarakatnya
Daerah yang pemerintahnya miskin tapi masyarakatnya kaya
Kepemilikan rumah sakit diserahkan saja ke swasta karena masyarakatnya memang mempunyai kemampuan membayar. Pemerintah dapat saja membangun rumah sakit umum daerah atau dalam bentuk BLU.
Daerah yang pemerintahnya miskin, rakyatnya juga miskin
Sebaiknya rumah sakit diserahkan saja jenjang pemerintahan yang lebih tinggi saja, misalnya pemerintah propinsi atau pemerintah pusat, yang anggarannya memang jauh lebih besar besar daripada kabupaten kota, tidak usah gensi-gensian mempertahankannya kalau memang tidak mampu. Tidak usah memaksakan jadi BLU misalnya, sebab persyaratan jadi BLU tidak mudah, cost recovery rate harus diatas 60%, harus sudah menyusun bisnis plan yang baik (semi bisnis). Untuk mencapai cost recovery yang baik tentu saja tarifnya harus dihitung berdasarkan total biaya meliputi investasi dan biaya operasional (total cost) yang dikeluarkan. Jika hal ini dilakukan maka yang korban adalah masyarakat kurang mampu. Nah . . pertanyaannya kita berada dimana ? Silahkan jawab sendiri saja.