Rabu, 13 Februari 2008

RSUD Siapa Yang Punya ?

” Nona manis siapa yang punya? ” Jawabannya tentu saja ” yang punya kita semua ”. Itu sepenggal syair lagu ” nona manis ”, lagu terpendek di dunia, karena hanya terdiri dari dua kalimat saja. Jawaban terhadap pertanyaan dalam syair lagu diatas sederhana, spontan dan tidak ada tendensi apa apa. ” yang punya kita semua ”. Andaikan RSUD adalah nona manis tentu saja jawabannya " RSUD yang punya kita semua " . Lho .. maksudnya ?
Polemik kepemilikan RSUD sebaiknya tidak perlu terjadi kalau kita berpikir sederhana. Tidak usah pakai hitung-hitungan rumit apalagi punya tendensi tertentu. Mau berdasarkan undang-undang, peraturan pemerintah, kepres dan sejenisnya silahkan. Mau jadi UPT, Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), BLU, bahkan mau jadi PT pun silahkan saja. Mau milik daerah, propinsi, maupun pusat oke-oke saja yang penting rumah sakit bisa beroperasi dengan baik dan berkesinambungan (growth and survive) dan semua yang membutuhkan dapat menjangkaunya dan terlayani secara berkualitas.
Tidak bisa dipungkiri bahwa rumah sakit adalah institusi yang unik dan kompleks. Unik, karena mayoritas yang membutuhkannya adalah orang-orang yang terpaksa harus datang, tidak karena diundang, atau tertarik akan promosi tetapi karena sakit (berobat) atau agar tidak sakit (medical check up). Mereka datang dengan tingkat emosional yang bervariasi, mulai dari was-was sampai stres dan panik. Mereka membawa kebutuhan (need) mendesak untuk sembuh, keinginan (want) untuk ditolong oleh dokter ahli dengan peralatan yang memadai dan membawa harapan (ekspektasi) untuk dilayani cepat.
Kompleks oleh karena setiap satu jenis pelayanannya tidak diproduksi oleh hanya satu orang dengan satu keahlian saja. Produk layanan rumah sakit tidak sama dengan memproduksi sate, bisa dikerjakan sendiri, mulai dari membeli daging, memotong-motong, menusuknya, memasak, dan menjualnya dapat dikerjakan seorang saja. Tapi produk rumah sakit diproduk secara bersama oleh berbagai pihak dengan berbagai keahlian.
Contoh sederhana, untuk datang berobat rawat jalan melibatkan berbagai unsur, mulai dari satpam yang mengatur alur masuk keluar kenderaan, tukang parkir yang memarkirkan kenderaannya, petugas loket yang mencarikan medical recordnya, perawat yang menentukan gilirannya, dokter yang mendiagnosis penyakitnya, apotik beserta petugas apotik yang menyiapkan obatnya, laboratorium, rontgen, dan seterusnya..
Contoh yang lebih kompleks misalnya operasi usus buntu (apendisitis). Jangan dikira operasi usus buntu dirumah sakit sukses karena seorang ahli bedah ?. Simak alur/perjalanan seorang pasien usus buntu : mulai dia masuk pintu gerbang satpam yang mengatur alur masuknya dan menjaga keamanan kenderaannya, petugas loket yang mencarikan medical recordnya, perawat yang menerima melengkapi status dan melaporkan ke dokter, laboran yang memeriksa laboratoriumnya, petugas rontgen memeriksa paru-parunya, dan ketika masuk di kamar operasi, petugas anestesi menyiapkan pembiusannya, asisten instrumen menyiapkan alat-alat operasinya, baru dokter ahli bedah mengoperasinya itupun dibantu sisten operator.
Setelah operasi dokter anestesi mengawasinya di ICU atau ruang recovery, juru dorong mendorongnya ke ruangan inap, perawat menjaganya selama 24 jam, petugas dapur menyiapkan masakannya, cleaning servis membersihkan ruangannya agar indah, petugas laundry mencucikan spreynya, sarung bantal dan mungkin pakaiannya yang kotor, petugas instalasi pemeliharaan sarana memperbaiki jika air di kamarnya macet. Ketika pasien pulang petugas adminstrasi keuangan menghitungkan biaya (bill). Kasir menerima pembayarannya. Lalu apakah hanya itu saja ? Belum.... manajemen bagian perencanaan yang merencanakan dan mengadakan obat-obatan, alat-alat kesehatan dan bahan habis pakai yang dipakainya selama operasi dan perawatan di ruang inap, bagian SDM yang merekrut tenaga yang bekerja di rumah sakit, bagian keuangan yang merencanakan keuangannya dan terakhir direktur yang bertanggung jawab keseluruhannya. Bahkan kalau ada komplain yang babak belur dihujat habis-habisan adalah direkturnya.
Dapat dibayangkan jika salah satu proses dari alur diatas macet, maka proses seterusnya pasti akan macet juga. Bayangkan jika perencanaan tidak sempat merencanakan salah satu jenis alat kesehatan atau obat yang dibutuhkan maka operasi pasti tidak akan bisa dilaksanakan.
IItulah sebabnya maka rumah sakit disebut sebagai institusi yang padat modal (investasi besar, mahalnya gedung, harga peralatan kedokteran, biaya operasional tinggi, mulai dari gaji, biaya makan minum, listrik, air, telepon, dll), padat karya (karena banyak keahlian yang terlibat didalamnya, bukan hanya dokter dan perawat saja, ada apoteker, asisten apoteker, bidan, tenaga sanitasi, fisioterapi, ahli laboratorium, ahli rontgen, ahli anestesi, SKM, ahli perencanaan, ekonomi, dll ) dan padat tehnologi (peralatan kedokteran yang semakin canggih dan tentu saja mahal). Lalu siapa yang berhak mengelola rumah sakit ?
Jika yang mengelola pihak swasta pasti seluruh biaya operasionalnya akan dibebankan pada pasien, maka tidak heran jika rumah sakit swasta tarif pelayannya pastilah tinggi oleh kerena tarif ditetapkan untuk mencapai pengembalian biaya (cost recovery) dan untuk mencapai keuntungan (profit) yang diinginkan. Lalu bagaimana jika masyarakat disekitar rumah sakit mayoritas menengah kebawah ? dalam artian kemampuan membayar (ability to pay) mereka rendah ? Lalu siapa yang berhak mengelola rumah sakit ?
Kalau kita menggolongkan kemampuan masing-masing daerah kabupaten dan kota , maka ada empat kategori daerah yaitu :
1. Kabupaten/Kota yang pemerintahnya kaya dan rakyatnya kaya

2. Kabupaten/Kota yang pemerintahnya kaya tapi rakyatnya miskin

3. Kabupaten/Kota yang pemerintanya miskin tapi rakyatnya kaya, dan

4. Kabupaten/Kota yang pemerintahnya miskin dan rakyatnya miskin

Untuk kategori (1), semua jenis kepemilikan rumah sakit dapat dibangun, apakah rumah sakit pemerintah karena mempunyai kemampuan besar, misalnya karena PAD-nya memang besar, atau rumah sakit swasta, silahkan oleh karena masyarakatnya mempunyai kemampuan membayar dan Untuk kategori daerah ini jenis rumah sakit umum daerahnyapun dapat saja BLU (yang semi bisnis)
Untuk kategori (2) kepemilikan rumah sakit sebaiknya dalam bentuk rumah sakit umum daerah, dan masyarakatnya dikembangkan sistem asuransi seperti yang ada saat ini, askeskin. Rumah sakit swasta aga sulit berkembang oleh karena pangsa pasarnya kurang menguntungkan dari sisi bisnis.
Untuk kategori (3) kepemilikan rumah sakit diserahkan saja ke swasta karena masyarakatnya memang mempunyai kemampuan membayar. Pemerintah dapat saja membangun rumah sakit dalam bentuk BLU.
Untuk kategori (3) sebaiknya rumah sakit diserahkan saja jenjang pemerintahan yang lebih tinggi saja, misalnya pemerintah propinsi yang anggarannya memang jauh lebih besar besar daripada kabupaten kota, tidak usah gensi-gensian mempertahankannya kalau memang tidak mampu. Tidak usah memaksakan jadi BLU misalnya, sebab persyaratan jadi BLU tidak mudah, cost recovery rate harus diatas 60%, harus sudah menyusun bisnis plan yang baik (semi bisnis). Untuk mencapai cost recovery yang baik tentu saja tarifnya harus dihitung berdasarkan total biaya meliputi investasi dan biaya operasional (total cost) yang dikeluarkan. Dapat dihitung pasti tarif akan naik.
Nah . . pertanyaannya kita berada dimana ? Silahkan jawab sendiri saja.