Jumat, 31 Oktober 2008

Menjual Empati di Rumah Sakit


Ketika kita menaiki tangga pesawat udara, seorang pramugari telah berdiri menyambut kita di pintu pesawat sambil tersenyum menyalami kita, disampingnya berdiri sang pilot yang gagah dengan senyum seakan memberikan keyakinan kepada kita bahwa dia siap menerbangkan pesawat ini selamat sampai tujuan. Jika kita memasuki sebuah hotel seorang office boy akan membukakan pintu sambil berucap menyampaikan ucapan salam, dengan senyum penuh rasa gembira membukakan pintu mobil, menanyakan barang bawaan, membantu mengangkatnya ke dalam hotel, sementara resepsionist menunggu dan menyalami kita sambil menanyakan “ada yang bisa dibantu?”. Hal seperti ini dapat pula kita dengar apabila kita menelpon ke suatu kantor swasta terkemuka. Resepsionist akan menjawab telepon kita dengan kata ” Selamat pagi, dengan kantor PT. ...... ada bisa saya bantu ? ”
Jika diamati sebetulnya senyum, salam dan sapa adalah hal kecil tetapi terkadang sulit dilakukan namun berdampak besar terhadap kita yang mengalaminya. Kita pasti akan terkesan dan merasa terhibur dan tenang memanfaatkan fasilitas yang kita butuhkan.
Apa yang dilakukan oleh pramugari, pelayan hotel, penerima telepon diatas adalah contoh kecil dari empati yang ditunjukkan kepada pelanggan. Empati dalam kasus ini mungkin saja hanyalah bagian dari prosedur standar yang harus dilakukan kepada pelanggan tanpa adanya nilai rasa yang sesungguhnya, sekedar menjalankan tugas. Mereka melayani pelanggan yang sehat. Penumpang pesawat yang ingin bepergian, atau ke hotel karena membutuhkan suatu pelayanan yang bukan karena keterpaksaan. Pengunjung hotel kebanyakan adalah orang-orang yang ingin melengkapi kegembiraan dengan berbagai aneka fasilitas di hotel, atau mungkin orang yang bosan tidur dirumah dan ingin mencari suasana yang lain, atau seorang yang sedang berwisata dan mencari tempat untuk beristirahat dan tidur. Tetapi kepada merekapun empati merupakan suatu kewajiban karena jika tidak mereka pasti akan lari dan tidak akan kembali lagi. Ingat “pelanggan adalah raja, dia bukan tergantung kepada kita, tetapi kita yang bergantung kepada mereka”. Bagaimana empati di rumah sakit ?
Tidak bisa dipungkiri bahwa rumah sakit adalah institusi yang unik dan kompleks. Unik, karena mayoritas yang membutuhkannya adalah orang-orang yang terpaksa harus datang, tidak karena diundang, atau tertarik akan promosi tetapi karena sakit (berobat) atau agar tidak sakit (medical check up). Mereka datang dengan tingkat emosional yang bervariasi, mulai dari was-was sampai stres dan panik. Mereka membawa kebutuhan (need) mendesak untuk sembuh, keinginan (want) untuk ditolong oleh dokter ahli dengan peralatan yang memadai dan membawa harapan (ekspektasi) untuk dilayani cepat. Mereka adalah orang-orang yang karena menderita sesuatu penyakit atau bermasalah dengan tubuhnya dan dengan terpaksa membutuhkan pertolongan. Kedatangan mereka bukanlah suatu hal yang diinginkan, tetapi karena keterpaksan, karena menderita sakit yang berat, karena infeksi, nyeri kepala, nyeri batu ginjal, usus buntu, atau mungkin luka atau patah tulang terbuka karena kecelakaan lalu lintas. Dalam kondisi seperti ini mereka tidak hanya butuh pelayanan medis tetapi juga butuh kepedulian.
Terkadang kita menemui atau mengalami hal-hal yang tidak mengenakkan di rumah sakit, misalnya : keluarga pasien mencari sendiri kereta dorong atau kursi roda bahkan mengangkat sendiri pasiennya ke UGD, menunggu pemeriksaan terlalu lama karena dokter masih dihubungi (on call), anamnesis terlalu lama karena perawat atau dokter jaga lebih mementingkan status pasien dari pada memberikan tindakan sementara (emergency respon time I lama), sementara pasien kesakitan butuh pertolongan segera, atau ketika pasien di bangsal kesakitan, di ruang jaga petugas asyik menonton TV sambil ngobrol atau tertawa cekikikan, petugas ramah atau malah membentak atau memarahi pasien, Lalu apakah empati itu ? Menurut pengertian yang sudah lazim digunakan, empati adalah kemampuan kita dalam menyelami perasaan pasien tanpa harus tenggelam di dalamnya. Empati adalah kemampuan kita dalam mendengarkan perasaan pasien tanpa harus larut. Empati adalah kemampuan kita dalam merespon keinginan pasien bahkan yang tak terucap sekalipun. Kemampuan ini dipandang sebagai kunci menaikkan intensitas dan kedalaman hubungan kita dengan pasien (connecting with).
Diera persaingan sekarang ini, maka empati menjadi sangat penting. Pasien saat ini mempunyai banyak pilihan akan pelayanan kesehatan, baik rumah sakit swasta atau sesama rumah sakit pemerintah yang mulai memberikan pelayanan berkualitas (quality services). Disaat seperti ini maka empati menjadi satu hal yang mahal dan dicari. Tentu saja mereka akan memilih rumah sakit yang petugasnya peduli dengan penderitaan mereka. Walaupun empati hanya sekedar melaksanakan prosedur tetap pelayanan di rumah sakit.
Empati juga adalah cepat menangkap isi perasaan dan pikiran pasien (understanding others). Memberikan pelayanan yang dibutuhkan. Memberi, bukan mengambil (service orientation), apalagi memanipulasi. Memberikan masukan-masukan positif atau membangun pasien agar memiliki kembali semangat untuk kesembuhan (developing others), bahkan juga memahami aturan main yang tertulis (SOP) atau yang tidak tertulis (norma) dalam hubungan kita dengan pasien.
Belajar menaikkan kemampuan kita dalam ber-empati ini merupakan kunci hubungan. Menurut Peter Drucker, kunci kelancaran komunikasi adalah belajar menangkap apa yang tak terucap (unspoken). Dalam konteks bisnis (bussiness of selling), Alf Cattle malah mengatakan: “relationship is product”, ini berarti bahwa empati adalah produk. Sebagai suatu produk maka sepatutnya dikemas sebaik-baiknya agar dapat dijual. Patut diperhatikan bahwa secanggih apapun peralatan kedokteran yang dimiliki oleh rumah sakit, relationship pasien dan petugas sebagai kunci tetap diutamakan. Pasien tetap butuh informasi, perhatian dan kepedulian dari petugas untuk kesembuhan penyakitnya.
Hal ini tampak dalam pelayanan yang cepat, petugas yang ramah penuh senyum dan berusaha menenangkan pasien. Sehingga pasien merasa yakin bahwa ia akan sembuh. Persis sebagaimana sabda Rasulullah saw, "Jalinan kasih sayang antara kaum muslimin ibarat satu tubuh. Bila ada satu anggota tubuh sakit maka anggota tubuh lainnya akan merasakan hal yang sama." (HR. Bukhari dan Muslim).
(disarikan dari beberapa artikel dan pengalaman)

Kamis, 30 Oktober 2008

One Stop Service (OSS) di Rumah Sakit


Seorang ibu kebingungan ketika membawa anaknya di rumah sakit, setelah diperiksa oleh dokter dia harus ke laboratorium diluar rumah sakit karena ada pemeriksaan yang tidak bisa dilakukan di laboratorium milik rumah sakit. Dia terpaksa pergi dengan dibonceng sang suami yang seorang pekerja gaji harian, membawa anaknya menuju laboratorium swasta yang ditunjukkan petugas. Setelah menunggu selama dua jam, hasil laboratorium diperoleh, ibu tersebut buru-buru kembali ke rumah sakit. Apa terjadi, tenyata poliklinik anak rumah sakit sudah tutup, petugas menyarankan kembali lagi esok hari. Dengan perasaan kecewa sambil mengendong anaknya yang sudah seminggu batuk dan panas ibu tersebut pulang ke rumah. Hari itu sang anak belum mendapatkan obat, karena hasil pemeriksaan laboratorium belum didapatkan hasilnya. Sementara sang ayah tidak bisa bekerja karena harus mendampingi istri membawa anak ke rumah sakit.
Apa yang dilukiskan diatas adalah secuil kejadian yang sehari-hari ditemukan di rumah sakit umum. Kita bisa saja berhitung berapa kerugian yang dialami keluarga tersebut. Pertama sang ayah kehilangan kesempatan untuk mencari pada hari itu, kedua mereka harus membayar biaya pemeriksaan di laboratorium diluar rumah sakit yang pasti milik swasta, dengan biaya yang untuk ukuran mereka cukup mahal. Ketiga mereka masih harus datang lagi keesokan harinya untuk menunjukkan hasilnya ke dokter. Dan keempat penyakit anak mungkin bertambah parah oleh karena belum mendapatkan pengobatan pada hari itu.
Konsep One Stop Service (OSS) di rumah sakit adalah salah satu solusi untuk mengurangi hilangnya kesempatan pelanggan (opprotunity loss) yang mungkin saja menyebabkan kerugian ekonomi (economic loss) akibat pelayanan seperti diatas. Dengan konsep ini pasien yang datang tidak perlu harus kemana-mana lagi, dan dapat dilayani di satu tempat atau area yang mudah dijangkau. Konsep OSS kemudian berkembang dengan berbagai pelayanan eksesori lainnya semisal, kantin/restaurant, mini market, foto copy, salon kecantikan, ATM, Bank, disamping pelayanan utama/fungsional berupa poliklinik, UGD, laboratorium, apotik, radiologi dll, yang berada dalam satu area yang mudah dijangkau. Beberapa rumah sakit bahkan telah menyiapkan hotel mini di dalam rumah sakit untuk tempat beristirahat penjaga/keluarga yang berasal dari luar daerah.
Dengan konsep ini maka pasien tidak perlu ditransfer dari unit satu ke unit yang lainnya untuk mendapatkan pelayanan. Bahkan tidak perlu harus keluar rumah sakit, sebab semua kebutuhan pasien sudah disediakan di dalam rumah sakit.
Dalam konsep OSS maka misalnya, ruang poliklinik harus berdekatan dengan laboratorium, fasilitas radiologi, serta instalasi farmasi. Begitu pula dalam pelayanan rawat inap dan gawat darurat dan kamar operasi, didekatkan dengan laboratorium, ruang farmasi dll.
Beberapa hal yang perlu disiapkan dalam penerapan OSS di rumah sakit adalah :
- Desain ruang pemeriksaan, perawatan, tindakan yang saling berhubungan dan berdekatan satu sama lainnya sehingga mudah diakses oleh pasien
- Adanya alur proses (flow of process) antara unit satu dengan lainnya
- Tertatanya alur pasien (flow of patient) sesuai dengan alur proses yang ada
- Kesiapan petugas dan sistem yang mendukung kelancaran proses, terutama dalam peralihan dari satu proses ke proses lainnya).
- Dukungan Sistem Informasi Management RS (SIMRS) yang IT based yang mendukung proses pendaftaran, pemeriksaan, pembayaran (billing system) yang satu pintu. Jika memungkinkan dengan menggunakan fasilitas ATM, atau Credit Card.
- Dukungan fasilitas penunjang, misalnya apotik, laboratorium, radiologi dengan peralatan dan bahan yang lengkap dan tersedia setiap saat
- Tersedianya formularium rumah sakit dan ketaatan para dokter terhadap formularium yang sudah disediakan sehingga tidak ada pasien yang harus membeli obat atau melakukan pemeriksaan lab diluar rumah sakit
- Perlu melakukan kerjasama dengan pihak ketiga (out sourching) untuk pelayanan asesori misalnya, dengan bank, restaurant, mini market, foto copy dll dengan MOU yang jelas, agar tidak menjadi beban manajemen
- Tersedianya standart operating procedure (SOP) agar semua proses berjalan lancar.
- Komitment semua pihak dari puncak hingga lapis bawah, dari direktur hingga tukang parkir dalam melaksanakan SOP.
Dengan OSS waktu pelayanan menjadi lebih pendek, pasient menjadi nyaman oleh karena tidak perlu keluar rumah sakit, dan para pekerja harian terhindar dari opportunity dan economic loss, akibat hilangnya waktu produktif mereka. Ibarat orang berbelanja di mall sekali masuk seluruh kebutuhan dapat dipenuhi.

Sabtu, 25 Oktober 2008

Pasienpun Masuk Bursa Saham


Judul diatas tentu saja bukan berarti orang sakit masuk ke bursa saham. Tetapi melukiskan bahwa bisnis saham di bursa bukan lagi didominasi oleh saham-saham property. Sejak dibukanya kran bagi swasta untuk mendirikan rumah sakit melalui Permenkes 920/Menkes/Per/XII/1986 tentang Upaya Pelayanan Kesehatan Swasta di Bidang Medik, maka bermuncullanlah rumah sakit yang dikelola oleh swasta.
Sebagai badan usaha (apalagi dalam bentuk PT) yang saham-sahamnya diperjualbelikan di bursa saham, maka tujuan suatu badan usaha berlaku pula yaitu menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya (profit) dan berusaha untuk mempunyai kemampuan yang cukup untuk tumbuh dan berkembang (growth and survive). Profit merupakan indicator kinerja bagi lembaga usaha untuk berkembang.
Menurut Katz dan Rosen (1998) menyatakan bahwa minimal terdapat tiga komponen perusahaan yaitu ; (1) Pekerja atau orang yang dipekerjakan den gaji tetap dan mempunyai peraturan kerja, (2) Manajer yang bertanggung jawab untuk menetapkan keputusan dan memonitor para pekerja dan (3), Pemilik yang mempunyai modal dan menanggung resiko usaha.
Dirumah sakit, komponen pertama diwakili oleh para dokter, perawat, bidan, apoteker, laboran, dan tenaga administrasi, komponen kedua diwakili oleh pada manajer rumah sakit dan komponen ketiga adalah pemilik rumah sakit (PT atau badan hokum lainnya). Dalam model ini terdapat pemisahan antara pemilik dan para manajerpelaksana. Pemisahan ini merupakan ciri lembaga usaha yang modern. Dengan dibukanya perusahan dipasar saham maka diperoleh ribuan pemilik saham yang seharusnya tidak berhubungan dengan keputusan-keputusan usaha oleh para manajer pelaksana. Hal ini penting mengingat rumah sakit tidaklah sama dengan industri jasa lainnya. Rumah sakit merupakan industri jasa pelayanan kesehatan yang bertujuan untuk menyembuhkan orang sakit (kuratif), pemulihan (rehabilitatif) dan promotif.
Tetapi tahukah anda bahwa rumah sakit-rumah sakit swasta yang megah di berbagai kota besar, yang dikelola oleh perusahaan korporasi juga saham-sahamnya banyak yang diperjual belikan. Sejauh yang penulis ketahui ada beberapa rumah sakit milik swasta di Indonesia yang terdaftar di bursa SGX (Singapore Stock Exhange) melalui penerbitan real estate investment trust (REIT) untuk mencari sumber pendanaan baru untuk kepentikan expansi diberbagai kota baik dalam negeri maupun luar negeri.
Dengan REIT memungkinkan penjualan saham menembus batas-batas negara sehingga seorang di luar negeri dapat saja memiliki berbagai usaha bisnis di Indonesia termasuk rumah sakit. Dengan REIT maka pemilik saham dapat melakukan akuisis, merger, melakukan pinjaman dengan rasio debt yang tinggi bahkan dapat merangkap sebagai perusahaan pengembang. Bagi industri rumah sakit tentu saja hal ini perlu diatur agar tidak berdampat pada pelayanan dan aspek-aspek sosial yang seharusnya tetap diperhatikan.
Rumah sakit diharapkan tetap menjalankan praktek-praktek bisnis sehat. Hindari moral hazzart untuk kepentingan hitung-hitungan bisnis seperti break event point (BEP) atau pencapaian Cost Recovery Rate (CRR) dan Return of Investment (ROI)i. Sebab dalam posisi pasien yang consumer ignourance hal ini bisa saja terjadi.
Oleh karena itu masuknya industri rumah sakit ke bursa saham menuntut pemerintah untuk memperketat regulasi perumahsakitan. Sebab jika tidak masyarakat akan jadi obyek pemenuhan tujuan badan usaha yaitu untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. Kepemilikan modal sebaknya dibatasi secara proporsional misalnya pesaham lokal tetap diberikan.
Menurut Menteri Kesehatan DR. Dr. Sitti Fadillah Supari, berbagai kebijakan pemerintah telah dilaksanakan dengan membatasi kepemilikan saham bagi pemodal asing maksimal 65% setelah tahun 2009, meski demikian pemerintah tetap membatasi dalam kegiatan operasionalnya. Rumah sakit harus bermitra dengan rumah sakit lokal, lokasinya harus ditetapkan oleh pemerintah, direktur utamanya haruslah dokter Indonesia, dan bersedia diaudit secara berkala oleh Departemen Kesehatan, semua tenaga kerja warga negara Indonesia, dan tetap memperhatikan fungsi sosialnya dengan memberikan porsi untuk pelayanan bagi masyarakat miskin
Yang lebih penting adalah pemerintah seharusnya meningkatkan kualitas pelayanan dan manahemen rumah sakit dalam negeri, sehingga ketika era pasar bebas semakin terbuka maka rumah sakit dalam negeri telah siap bersaing. Disampimg itu perlu dilakukan regulasi bagi tenaga medis asing yang ingin bekerja di Indonesia dengan, misalnya dengan mempunyai SIP, Surat Tanda Registrasi (STR) yang dikeluarkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia, dan hanya bisa sebagai konsultan dan tidak memberikan pelayanan kesehatan secara langsung.

(disarikan dari berbagai artikel)

Jumat, 24 Oktober 2008

Memahami Pasien Sebagai Pelanggan


” If you always do what you always did ! You will always get what you always got “! Jika diterjemahkan, “Jika anda melakukan yang itu-itu saja maka anda akan mendapatkan yang itu-itu juga” . Sudah saatnya kita merubah paradigma pelayanan kesehatan kita jika kita ingin mendapatkan yang lebih.
Jika anda ingin pasien anda menjadi pelanggan setia, maka rubahlah mind set anda terhadap pasien. Pasien tidak lagi dianggap sebagai orang yang datang mencari pertolongan, atau orang yang membutuhkan kita, tetapi mereka adalah tamu penting yang datang kepada kita. Mereka bukan orang yang bergantung kepada kita tetapi kitalah yang bergantung kepada mereka. Mereka bukan gangguan bagi kita tetapi tujuan dari pekerjaan kita. Kita bukan berbaik hati menolong mereka tetapi mereka yang berbaik hati memberikan kesempatan kepada kita untuk melayaninya. Jika ini anda lakukan maka anda akan memperlakukan pasien anda dengan sebaik-baiknya.
Terkadang kita besikap semena-mena terhadap mereka, terlebih ketika mereka tidak memiliki pilihan lain. Namun di era persaingan terbuka perilaku ini sudah harus ditinggalkan oleh karena suatu saat akan memiliki berbagai pilihan. Terlebih sejak pemerintah membuka kran pihak swasta untuk bergerak disektor pelayanan kesehatan terutama rumah sakit. Banyak rumah swasta bermunculan dengan investasi modal yang besar dan menjanjikan kualitas pelayanan yang excelent. Walaupun untuk itu harus dibayar mahal. Tanpa merubah maind set kita akan tertinggal dengan kompetitor baru, karena mereka menerapkan kekuatan marketing yang handal.
Membuat pasien puas hanya dapat dilakukan kalau kita berusaha memenuhi apa kebutuhan pasien (custoner oriented). Disinilah pentingnya memahami pasien sebagai pelanggan kita agar kita mampu memberikan pelayanan yang memuaskan mereka
Memahami pasien adalah mengetahui apa yang dibutuhkan (need), apa yang diinginkan (demand) dan apa yang diharapkan (expextasi). Lakukanlah survey terhadap ketiga dimensi kebutuhan yang ada pada pasien anda.
Ibarat seorang yang lapar maka need-nya adalah makanan, demand-nya adalah mungkin coto, gado-gado, dll, sedangkan expectasi-nya adalah disajikan cepat, hangat dan pelayan yang ramah, murah senyum dan kalau bisa yang berpenampilan menarik.
Bagi seorang pasien maka need-nya tentu saja pemeriksaan dan pengobatan karena ingin sembuh, demand-nya adalah mungkin saja diperiksa oleh dokter, dokter ahli, dan ecpextasinya adalah dilayani cepat, oleh petugas yang ramah, dan nyaman, dan mungkin masih ditambah lagi dengan biaya murah dll. Dari sinilah kita bisa membagi pelayanan yang diberikan kepada pasien atas 2 jenis yaitu : - pelayanan fungsional untuk memenuhi kebutuhan (need) pasien misalnya : rawat jalan, rawat inap, operasi, laboratorium, radiologi, dll,. – pelayanan aksesoris, misalnya ruangan kelas yang berbeda, VIP dengan berbagai layanan tambahan, one stop service dll.
Kebanyakan kita hanya memenuhi need pasien. Hal ini dapat kita lihat sehari-hari di institusi pelayanan (biasanya milik pemerintah). Pasien datang diperiksa dan diberi obat,setelah itu selesai. Tidak peduli pasien menunggu terlalu lama, oleh karena dokter datang terlambat. Biasanya keterlambatan sudah dimulai dibagian pendaftaran, seterusnya pemeriksaan dokter, laboratorium dan mengantri di apotik. Ini harus dirubah, Walaupun pemenuhan untuk kebutuhan (need) secara fungsional sehaurusnya tidak berbeda oleh karena menyangkut standar pelayanan medik. Misalnya operasi apendisitis disemua rumah sakit pasti sama. Tetapi pasien terkadang lebih senang ke satu rumah sakit (consumer loyality) dibanding rumah sakit kita. Demikian halnya di puskesmas, dokter pasti akan memberikan pelayanan medis sesuai standar tetapi pasien mungkin lebih senang ke klinik-klinik swasta yang ada. Jika diamati klinik atau rumah sakit tersebut pasti memberikan pelayanan tambahan untuk memenuhi keinginan (demand) dan harapan (expectasi) pasien.
Kepuasan pasien adalah terpenuhinya pelayanan sesuai yang diinginkan bahkan melebihi dari apa yang diinginkan (service excellent). Jika pasien mengharapkan akan diperiksa oleh dokter pada jam 9, tetapi baru jam 8.30 dokter telah melakukan pemeriksaan maka dia tentu saja menerima lebih dari apa yang dia harapkan. Inilah pelayanan prima dan pasien akan surprise. Expresi yang ditampakkan adalah ” woww ... ”
Untuk memahami semua keinginan pasien maka lakukanlah survey pelanggan (market survey) adalah upaya untuk mencari tahu apa harapan pelanggan untuk menentukan jenis dan kualitas layanan yang dikehendaki. Memahami pasien orang perorang tidaklah mudah, karena setiap orang memiliki karakter dan kepribadian sendiri.
Beberapa faktor yang membentuk harapan pasien adalah :
- Komukasi dari mulut ke mulut (word of mouth communication) : informasi diperoleh dari pelanggan sebelumnya, menyebar dari mulut ke mulut yang mengkonsumsi jasa sebelumnya
- Kebutuhan pribadi (personal need), harapan pelanggan bervariasi tergantung pada karakteristik dan keadaan individu yang mempengaruhi kebutuhan pribadinya
- Pengalaman masa lalu ( past experience) , pengalaman dimasa lalu mempengaruhi harapannya dimasa kini dan akan datang
- Komunikasi eksternal (external communication), misalnya upaya promosi, biasanya dalam bentuk iklan
Lalu bagaimana upaya yang harus dilakukan untuk memenuhi ketiga aspek kebutuhan pasien ? Menurut Parasuraman dkk, setidaknya ada 5 dimensi kualitas yang bisa memberikan kepuasan kepada pasien berdasarkan ketiga aspek kebutuhan pasien (baik need, demand dan ecpectasi), yaitu :

1. Responsiveness, atau kecepatan yaitu suatu kemampuan untuk pelayanan yang cepat (responsif ). Respon time pelayanan sangat menentukan kepuasan pasien. Berapa lama pasien harus menunggu di loket pendaftaran hingga dia mendapatkan kartu, demikian hal ketika menunggu untuk diperiksa dokter, di apotik, di laboratorium, dll. Berapa lamakah pasien menghubungi perawat sampai perawat tersebut datang di ruangannya? Atau berapa lamakah pasien menghubungi dokter sampai dokter datang ? Beranikah kita mematok standar waktu tunggu ?

2. Assurance, atau jaminan dan kepastian. Assurance terdiri dari beberapa komponen antara lain kredibilitas (credibility), keamanan (security), kompetensi (competence). Jaminan ini dibuktikan dengan tersedianya tenaga dokter, perawat, bidan, dan tenaga lainnya yang mempunyai keahlian dan pengalaman. Mempekerjakan tenaga yang mempunyai kompetensi dan berpengalaman akan memberikan rasa aman (security) kepada pasien, jika ia berada di rumah sakit tersebut. Pasien yakin apabila dia ke rumah sakit tersebut akan sembuh.

3. Tangibles. Penampilan fisik, baik bangunan, desain interior dan eksterior, penampilan petugas, dokter, perawat, dan petugas lainnya, termasuk alat-alat kesehatan (tehnologi) yang ada. Penampilan dan kemampuan sarana dan prasarana fisik perusahaan dan keadaan lingkungan sekitarnya adalah bukti nyata dari pelayanan yang diberikan oleh pemberi jasa. Banyak rumah sakit yang mulai memperbaiki penampilan gedungnya. Desain layaknya sebuah rumah sakit mulai ditinggalkan. Petugas di front office berpakaian layaknya customer service di sebuah bank, dengan senyum ramah menyapa setiap pasien yang datang.

4. Empathy, yaitu ungkapan tulus dengan turut merasakan apa yang dialami oleh pasien. Ungkapan empati dapat diwujudkan dari perhatian, keramahtamahan, senyum, sabar, dalam memberikan pelayanan. Yang penting dalam empati adalah kemampuan komunikasi petugas dalam memahami penderitaan pasien. Tidak jarang kita menemukan pasien yang dibentak oleh petugas, petugas menjawab pertanyaan pasien dengan ketus tampak mimik yang tulus. Tidak jarang kita melihat pemandangan yang memprihatinkan, dimana di ruang perawatan pasien mengeluh sakit tetapi di ruang perawat terpasanng TV dengan tayangan hiburan dan petugas sementara menontonnya.

5. Reliability, atau keandalan yaitu kemampuan rumah sakit untuk memberikan pelayanan sesuai dengan yang dijanjikan secara akurat dan terpercaya.

Minggu, 19 Oktober 2008

Awas ! Kapitalisme di Rumah Sakit !!!


Menteri Kesehatan pernah berkata: “Status rumah sakit dan manajemen obat harus pro-rakyat. Saya ingin rumah sakit yang tidak kapitalis lagi. Saya sekarang mengeluarkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perumahsakitan yang belum pernah ada. Obat murah, yang selama 60 tahun tidak terjamah dan malah selalu makin mahal, kini bisa diturunkan"
Kapitalisme adalah suatu paham yang meyakini bahwa pemilik modal bisa melakukan usahanya untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Sebagaimana kecenderunagn diberbagai negara, Indonesiapun rumah sakit mulai bergerak ke arah sistem manajemen berdasarkan konsep usaha yang mengarah pada mekanisme pasar dengan prinsip efisiensi. Jika perilaku berbau kapitalisme ini sudah menjalar dalam pelayanan rumah sakit maka bisa dibayangkan bahwa pasien akan menjadi sumber revenue rumah sakit untuk mengejar “cost recovery” bahkan untuk meraih keuntungan yang sebesar-sebesarnya (profit). Fungsi social rumah sakit perlahan akan terkikis habis, biaya pelayanan mahal karena dihitung berdasarkan unit cost, munculnya perilaku “suplly induced demand” dimana pemeriksaan dengan peralatan canggih tanpa indikasi medis yang seharusnya. Pasien nyeri kepala bisa saja dilakukan pemeriksaan CT Scan atau pemeriksaan canggih lainnya. Hal ini akibat “customer ignorance”. Obat diberikan tanpa berdasar formularium, kalaupun ada formularium dibuat berdasarkan pesan pihak-pihak tertentu atau agar obat rumah sakit laku saja. Orang masuk rumah sakit harus bayar “ deposit” dulu, sehingga pelayanan selanjutnya tergantung sisa deposit. Jika habis ? Yah harus segera keluar dengan paksa pulang.
Simak kejadian berikut. 16 tahun silam, bankir senior pendiri suatu bank ternama, mengajak 12 orang dokter senior di Jakarta untuk berkongsi. Daripada para dokter itu praktik di rumah sakit lain, bujuknya, lebih baik mereka memiliki rumah sakit sendiri. Para dokter itu setuju. Mereka berharap bisa mendirikan rumah sakit yang benar-benar bisa memberikan kualitas pelayanan nomor satu, menyamai standar pelayanan rumah sakit di Singapura. Mereka yakin, dengan kualitas layanan yang prima, rumah sakit ini tak melulu akan bersifat sosial, tapi juga dapat mendatangkan keuntungan yang besar.
Maka disepakatilah mendirikan sebuah perusahan terbatas, PT, yang akan mengelola rumah sakit tersebut dengan pembagian saham kepemilikan 50% untuk sang bankir tadi dan 50% untuk para 12 dokter tersebut. Dengan modal Rp. 21,5 Milyar, dimana Rp. 3 Milyar berupa modal disetor dan sisanya berupa pinjaman. Untuk para dokter yag tidak punya uang sang banker berbaik hati memberikan pinjaman.
Maka rumah sakit dengan kapasitas hampir 300 TT tersebut kemudian diresmikan oleh Menteri Kesehatan waktu itu. Rumah sakit tersebut menjadi sangat popular , selalu dipenuhi oleh pasien, bahkan sering terjadi penolakan pasien karena tidak mampu menampungnya. Oleh karena 50% sahamnya dimiliki oleh para dokter maka, mereka bahu membahu memberikan pelayanan yang terbaik/prima. Para dokter dan suster bekerja keras bahkan sampai-sampai harus membuat tiga shift jaga untuk para dokter agar semua pasien dapat terlayani. Hal ini bisa dilakukan oleh karena dengan saham yang masih 50% mereka dapat mengendalikan manajemen rumah sakit.
Membludaknya pasien membuat rumah sakit tersebut menjadi semacam mesin pencetak uang. Laporan keuangan selalu baik, bahkan kemudian untuk mengembangkan fasilitas, baik gedung, peralatan kedokteran yang lebih modern rumah sakit tersebut berani melakukan penawan sahamnya di bursa efek Jakarta. Keuntungan yang diperoleh dari reproduksi modal melalui penjualan saham digunakan untuk pengembangan modal. Apa yang terjadi diluar dugaan , 55 juta lembar saham yang ditawarkan senilai Rp.500 (waktu itu) terjual habis, dibeli oleh perusahaan kuat lainnya yang memang telah memiliki rumah sakit besar yang terus merugi. Belinyapun bisa dipastikan menggunakan dana pinjaman di bank. Akibatnya saham para dokter yang tadinya 50% menciut. Begitulah akhirnya saham rumah sakit ini dibeli terus oleh publik, hingga saat ini saham para dokter tinggal 1 % saja. Dan status kepemilikanpun beralih ketangan pesaham mayoritas. Praktis para dokter tidak punya kekuasaan lagi dalam mengatur kebijakan di rumah sakit.
Saham rumah sakit terus diperjualbelikan dibursa saham. Dana yang terkumpul sebagian untuk mengembangkan sarana dan sebagian untuk menutupi hutang rumah sakit satunya yang terus merugi. Mergerpun dilakukan untuk menghalalkan upaya ini.
Para dokter makin tersingkir. Para pegawai tetap yang sudah terlatih dan mengabdi di rumah sakit ini sejak pertama kali dibuka dibujuk untuk keluar dengan imbalan pesangon yang tingg. Maka sekitar 350 pegawai mengundurkan diri. Mereka digantikan tenaga-tenaga baru dengan pengalaman nol yang mau dipekerjakan secara kontrak, diupah murah, dan tidak mendapat jaminan kesehatan .
Ketika muncul kesempatan baik, para dokterpun menjual saham mereka, dan kembali ke keadaan semula yaitu berpraktek di rumah sakit milik orang lain.
Cerita diatas adalah nyata. Hal ini mengingatkan kita kepada pernyataan Menteri Kesehatan yang menolak privatitasi rumah sakit. Sebab tawaran privatisasi itu berbau kapitalisme, misalnya rumah sakit pemerintah yang akan dijadikan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sampai tawaran saham investor dari luar negeri agar menjual rumah sakit pemerintah.
“Ada cukong dari luar negeri yang ingin beli RSCM dan Fatmawati. Katanya tenang, nanti Ibu saya kasih saham. Waktu itu gede banget. Untung saya tidak tertarik dengan saham. Saya lebih suka tertarik Tuhan. Kalau saham dari Tuhan itu tidak akan terjungkal,” kata Ibu Menteri
(Disarikan dari berbagai tulisan)

Selasa, 07 Oktober 2008

Apotik Di Seputar Rumah Sakit (Fenomena Klasik)


Para ahli perumahsakitan mengatakan bahwa jika anda ingin melihat satu rumah sakit merugi atau untung, tidak usah repot-repot memeriksa pembukuannya. “ Lalu gimana caranya ?“, ya … gampang, lihat saja apa disekeliling rumah sakit tersebut banyak berdiri apotik swasta atau tidak. Jika banyak berarti banyak resep yang diresepkan oleh dokter di rumah sakit tersebut dibeli di apotik luar rumah sakit, pasien tidak membeli obat di apotik milik rumah sakit. Cross check saja dengan apotik rumah sakit tersebut, pasti ra-rak obatnya kosong melompong, kalau toh ada, isinya paling dos-dos obat yang berjejer, atau mungkin isinya hanya obat generic untuk pasien askes, jamkesmas, jamsostek".

Rumah sakit adalah industri jasa yang padat tehnologi, oleh karena dalam pengelolaannya rumah sakit sangat tergantung pada kebutuhan akan obat, bahan dan peralatan medis yang semakin canggih dan mahal serta mengikuti mekanisme pasar yang sangat kompetitif . Peluang ini tentu saja ditangkap oleh pelaku bisnis apotik swasta untuk bisa mendapatkan keuntungan dengan membangun apotik, kalau perlu di depan, samping atau belakang rumah sakit.

Fenomena ini menyolok di hampir semua rumah sakit baik rumah sakit swasta dan terutama rumah sakit milik pemerintah. Contoh saja ada rumah sakit yang dikelilingi 4 sampai 5 buah apotik swasta, dan yang ironis lagi memiliknya rata-rata adalah para pelaku kesehatan yang mungkin saja bekerja di rumah sakit tersebut. Hal ini memunculkan perilaku “supply induce demand” (peresepan diberikan sesuai obat yang tersedia di apotik tertentu saja), dan bukan sesuai formularium rumah sakit, obat yang tersedia di rumah sakit atau mungkin indikasi dan kemampuan pasien. Yang penting obat laku saja. Jika ini terjadi kasihan mereka yang ekonominya lemah.

Obat memang merupakan kebutuhan utama dalam pelayanan pasien di rumah sakit. Tanpa obat rumah sakit ibarat tentara dengan senjata tapi tanpa peluru. Itulah sebabnya obat merupakan komponen pelayanan yang sangat dibutuhkan, bahkan kurang lebih 60 persen keuntungan rumah sakit diperoleh dari obat-obatan dan bahan habis pakai, sisanya adalah dari jasa sarana. Lalu kalau resep rumah sakit dibeli di luar apotik rumah sakit ? Yah akibatnya pendapatan rumah sakit akan sangat menurun, dan tidak mampu mengejar cost recovery yang ideal.

Diakui memang rumah sakit tidak mampu menyediakan seluruh kebutuhan obat dan bahan habis hal apalagi dalam waktu cepat (untuk mengejar respon time pelayanan yang prima). Ini akibat kurangnya biaya operasional yang diberikan oleh pemerintah/pemilik rumah sakit, atau oleh karena berbagai peraturan dibidang keuangan yang membuat alur pengelolaan keuangan rumah sakit menjadi panjang, misalnya harus disetor dulu dalam 24 jam dan kalau membutuhkan harus mengikuti prosedur yang ditetapkan dan terkadang panjang. Hal ini menjadi dasar bahwa memang apotik swasta sangat dibutuhkan. Akan tetapi hal ini bukan menjadi alasan untuk kita tidak memajukan apotik rumah sakit.
Lalu apa solusinya agar pengelolaan obat di rumah sakit menjadi maksimal ?
Dari pihak pemerintah/pemilik perlu melakukan pengaturan dan penataan pembangunan apotik swasta dilingkungan rumah sakit agar tidak terkesan semrawut dan seolah-olah hanya pasien rumah sakit yang menjadi sumber pendapatan. Melakukan perubahan bentuk rumah sakit (misalnya dengan penerapan Badan Layanan Umum).
Dari pihak internal rumah sakit perlu dilakukan :
1.Penggunaan obat generik
2.Penggunaan obat yang rasional, hindari polifarmasi terhadap pasien
3.Penyusunan pedoman diagnosis dam terapi
4.Menjamin etika profesi dilaksanakan di rumah sakit
5.Menyusun dan mentaati formularium rumah sakit
6.Penerapan Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit

"Sekedar sharing aja"