Jumat, 07 November 2008

Good Governance di Rumah Sakit


Governance adalah proses pengambilan dan pelaksanaan keputusan sesuatu organisasi untuk mencapai tujuannya. Proses ini ada pada semua bidang manajemen: manajemen publik, manajemen bisnis, manajemen organisasi nirlaba. Sementara good governance adalah proses pengambilan dan pelaksanaan keputusan yang partisipatif. Tujuan good governance adalah terjadinya pencapaian tujuan pembangunan yang berkelanjutan, karena lapisan bawah organisasi dan masyarakat meningkat kemandiriannya untuk meningkatkan kesejahteraannya, sebagai subyek pembangunan yang bermartabat.
Pengembangan good governance di rumah sakit telah dikembangkan sejak decade tahun 90-an dengan istilah good clinical governance. Prinsip dasarnya adalah bagaimana mengembangkan system untuk meningkatkan mutu klinik. Hal ini dilakukan dengan cara memadukan pendekatan manajemen, organisasi dan klinik secara bersama.
Clinical governance bertugas untuk memastikan bahwa telah terdapat system untuk memantau kualitas praktis klinis yang berfungsi dengan baik. Praktik klinik selalu dievaluasi dan hasilnya digunakan untuk perbaikan, praktik sudah sesuai dengan standar.
Secara rinci system yang dikembangkan dalam clinical governance meliputi kegiatan audit klinis, manajemen efektif bagi klinisi yang berkinerja buruk, manajemen resiko, praktik klinik berbasis bukti (evidence based), pengembangan kepemimpinan bagi klinisi, pendidikan berkelanjutan sampai audit feedback dari konsumen.
Kerangka kerjanya tersusun atas empat hal yaitu :
1. Evidence based medicine,
2. Sistem informasi yang baik,
3. Penilaian kinerja klinik dan
4. Hubungan antara klinisi dengan manajemen.
Evidence Based Medicine (EBM)
EBM adalah sustu teknik yang digunakan untuk pengambilan keputusan dalam mengelola pasien dengan mengintegrasikan tiga faktor yaitu :
- keterampilan dan keahlian klinik dokter
- kepentingan pasien
- bukti-bukti ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan
Dengan tiga factor ini akan membantu dokter dalam merawat pasien sesuai dengan kondisi, kebutuhan dan berdasarkan teori paling mutakhir. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis yang tepat terhadap gejala penyakit dengan melakukan pemeriksaan penunjang sesuai indikasi/ kecurigaan, serta pemberian obat-obatan yang rasional. Tidak jarang pemeriksaan penunjang tanpa indikasi yang jelas, milsanya hanya sekedar mengejar BEP suatu alat canggih dan mahal. Pemberian obat polifarmasi dengan mencampurkan berbagai macam obat misalnya kedalam bentuk puyer dll.
Sistem Informasi Yang Baik
Harapan pasien dari sebuah pelayanan kesehatan adalah diberikannya service yang cepat dan nyaman. Tingkat mobilitas pasien yang tinggi menuntut adanya komunikasi dan pelayanan yang cepat antara pasien dan institusi kesehatan, yang kemudian antara pasien dengan klinisi. Dalam hal ini dibutuhkan system informasi manajemen rumah sakit (SIMRS). Penerapan system informasi di rumah sakit menjadikan pengambilan keputusan dan pelayanan menjadi cepat (decision support system, DSS). Dengan DSS, model analisis dirancang untuk membantu para pemengambil keputusan dan para profesional agar mendapatkan data yang akurat berdasarkan data yang ada.
Penilaian Kinerja Klinik
Kinerja klinik dinilai berdasar pada seberapa jauh para klinisi melaksanakan prosedur klinik standar (keterpaduan pengetahuan, nalar klinik, kompetensi ketrampilan dan perilaku positif)
Hubungan Klinisi dan Manajemen
Tidak jarang hubungan klinisi dan manajemen kurang baik. Hal ini karena perbedaan prinsip yang melatarbelakangi peran masing-masing. KLinisi ingin efektif, cepat dalam memberikan pelayanan. Kecepatan suatu tindakan ditentukan oleh tersedianya semua kebutuhan, mulai peralatan kesehatan, bahan habis pakai, obat-obatan dll. Disisi lain manajemen terikat aturan dalam proses pengadaan. Hal ini terutama di rumah sakit pemerintah. Tidak jarang terjadi aksi-aksi yang dipicu ketidak harmonisan hubungan klinisi dan manajemen rumah sakit dengan berbagai sebab. Mulai dari suasana kerja yang tidak mendukung, pergantian direktur oleh pemilik rumah sakit, hingga jasa pelayanan medik yang terlambat dibayarkan.

(intisari dari kuliah pak Laksono, web article, dan pengalaman )

Selasa, 04 November 2008

Wah .. ! "Orang Sakit Penyumbang PAD terbesar"


Judul di atas tertera dalam suatu website milik salah satu pemerintah kabupaten. Jika benar maka ini sangat memiriskan.
Sejak otonomi daerah digulirkan, maka daerah berlomba-lomba meningkatkan pendapatan asli daerahnya dari berbagai sektor. Tidak terkecuali dari sektor kesehatanpun menjadi obyek yang empuk untuk meraih pendapatan sebesar-sebesarnya. Banyak daerah menetapkan target yang cukup tinggi untuk sector kesehatan mulai dari rumah sakit, dan puskesmas. Tidak heran berbagai rumah sakit di daerah kemudian ramai-ramai melakukan upaya meningkatkan pendapatannya. Upaya yang paling mudah dilakukan adalah dengan menaikkan tariff pelayanan. Dengan berbagai alasan mulai dari kenaikan biaya operasional akibat naiknya berbagai kebutuhan operasional rumah sakit, hingga alasan karena takut dinilai tidak mampu memenuhi target pemerintah daerah dengan segala resikonya.
Prinsip-pronsip ekonomipun dilakukan dengan melakukan analisis biaya untuk menentukan tariff pelayanan. Dengan analisis biaya rumah sakit maka tarif ditentukan dengan menghitung berapa biaya (cost) rumah sakit untuk memproduk berbagai jenis pelayanan yang diberikan baik biaya total , biaya perunit pelayanan, atau biaya perpasien. Biaya ini kemudian didistribusikan ke unit-unit produksi. Setelah dibagi dengan besarnya output maka diperoleh biaya satuan (unit cost) perjenis pelayanan. Biaya ini yang kemudian dibayar oleh pasien. Metode ini dikenal dengan metode ”unit cost”. Dengan unit cost maka makin kurang kunjungan rumah sakit (output) maka makin tinggi tarif persatuan pelayanan, sebaliknya makin tinggi kunjungan perjenis pelayanan maka tarif makin rendah.
Jika kita kaji metode ini maka biaya yang dimaksud adalah : total cost dihitung dari total pengeluaran rumah sakit yang meliputi pengeluaran tetap (fixed cost). Fixed cost atau biaya tetap ini terdiri dari :- biaya Investasi gedung rumah sakit- biaya peralatan medis- - biaya kendaraan (ambulance, mobil dinas, motor, dll). Semi Variabel cost meliputi gaji pegawai- biaya pemeliharaan- insentif- perjalanan dinas - biaya pakaian dinas - dll, Variabel Cost : biaya obat-obatan dan BHP medis – BHP non medis – air – listrik - biaya makan minum pegawai dan pasien- biaya telepon- dll. Dari rumus ini maka dapat diprediksi bahwa tarif untuk satu jenis pelayanan pasti berbeda untuk satu rumah sakit dengan rumah sakit lainnya.
Jika dianalisis satu persatu sumber pembiayaan rumah sakit umum pemerintah sebenarnya sebagian besar biaya didropping oleh pemerintah pusat. Lihat saja untuk komponen fixed cost (belanja investasi), dalam bentuk dana tugas pembantuan (TP) dana alokasi khusus (DAK), dana Dekonsentrasi, bahkan dana alokasi umum (DAU) kesemuanya juga berasal dari pusat. Untuk semivariabel dan variabel cost : sumber dananya adalah dana DAU, mulai dari gaji, biaya perjalanan dinas, operasional, listrik, air dan telepon.
Pertanyaannya sekarang apakah pemerintah harus menagih pengembalian atas dana yang telah diberikan kepada rumah sakit ? Atau jika pertanyaannya dibalik ”apakah pasien harus mengembalikan semua biaya yang telah dikeluarkan oleh pemerintah tersebut?”. Analisis biaya sangat diperlukan tetapi untuk merencanakan pembiayaan rumah sakit atau untuk penentuan besaranya subsidi. Unit cost untuk penentuan tarif lebih cocok diberlakukan bukan di institusi pelayanan kesehatan.
Konstitusi Kesehatan Dunia (WHO), UUD 1945 Pasal 28 H, UU 23 tahun 1992 Tentang Kesehatan menetapkan bahwa kesehatan adalah hak fundamental setiap warga. Karena itu setiap individu keluarga dan masyarakat berhak memperoleh perlindungan atas kesehatannya, dan negara bertanggung jawab mengatur agar terpenuhi hak hidup sehat bagi penduduk termasuk keluarga miskin dan tidak mampu. Berdasarkan hal tersebut maka pelayanan kesehatan seharusnya menjadi kewajiban pemerintah untuk membiayainya. Makanya tidak manusiawi jika orang sakit dijadikan sumber PAD. ”Masak orang sakit disuruh membangun” ?
Perlu Standarisasi Tarif Rumah Sakit
Standarisasi perlu diupayakan agar terjadi keseragaman dtarif di rumah sakit di seluruh Indonesia sesuai dengan kelasnya. Sehingga pemerintah daerah tidak semena-mena menaikkan tarif untuk kepentingan peningkatan pendapatan asli daerah.
Upaya standarisasi sudah rumah sakit di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1997, dengan Kepmenkes Nomor 582/1997 yang menetapkan bahwa tarif untuk kelas II berdasarkan perhitungan unit cost (UC), sedang untuk kelas III tarif Kelas III (1/3 kali UC Kelas II), besarnya kisaran tarif Kelas I (2-9 Kali UC Kelas II) dan VIP/Super VIP (10-20 kali UC Kelas II). Tetapi seiring dengan otonomi daerah keputusan ini tidak banyak dijalankan oleh rumah sakit di daerah.
Dengan adanya program Jamkesmas, Departemen Kesehatan mengeluarkan kebijakan penerapan tarif berdasarkan INA-DRG yang mulai diujicobakan di 15 rumah sakit di Indonesia. Dengan tarif berdasarkan INA-DRG. INA-DRG atau yang biasa disebut “Case-Mix” merupakan sistem standar baku tarif pelayanan rumah sakit dalam bentuk paket yang disusun berdasarkan kelas perawatan dan kelas atau tipe rumah sakit. Biayanya dihitung perpaket. Misalnya saja, bila seseorang didiagnosis menderita penyakit tertentu dan harus mendapatkan tindakan medis tertentu juga, maka dia harus membayar sekian rupiah sesuai kelas perawatan dan tipe rumah sakit.
Dengan penerapan standar tarif baku rumah sakit tersebut secara otomatis akan mendorong terciptanya transparansi pembiayaan pelayanan rumah sakit, memacu rumah sakit melakukan efisiensi, meminimalkan kesalahan manusiawi, dan meningkatkan komitmen rumah sakit untuk meningkatkan mutu pelayanan. Pasienpun, juga akan diuntungkan karena bisa mengetahui kepastian biaya, kejelasan diagnosis penyakit dan perawatan yang diterima serta tidak harus mengeluarkan biaya yang seharusnya tidak perlu.
Diharapkan standarisasi tarif rumah sakit diberlakukan untuk semua pasien di semua rumah sakit , bukan hanya untuk kepentingan program Jamkesmas saja. Untuk itu diperlukan upaya sinkronisasi dengan peraturan daerah (Perda) yang mengatur tarif di rumah sakit umum milik daerah. Jika ini dapat dilakukan maka dimanapun masyarakat berobat kepastian akan biaya yang dikeluarkan sudah dapat diketahuinya.

(disarikan dari beberapa tulisan dan pengalaman)