Sabtu, 10 Oktober 2009

Menyongsong jamkesda Propinsi (Bagian 2)

Mengapa Jamkesda perlu diprogramkan? Pertanyaan ini banyak dilontarkan beberapa orang tertentu. Sebab ada yang menganggap program ini berbau politis, dan untuk kepentingan penguasa. Terlepas dari benar tidaknya anggapan tersebut, marilah kita kaji sejenak sifat pelayanan kesehatan yang sangat spesifik jika dibandingkan dengan persoalan hidup lainnya. Ungkapan sehat bukan segalanya memang benar, tetapi harus disadari juga bahwa tanpa kesehatan maka segalanya menjadi tidak ada artinya (health is not everything, but without health everything is not). Survey membuktikan bahwa seorang baru menyadari sehat itu perlu kalau ia sudah jatuh sakit.
Bayangkan seorang yang tadinya sehat, produktif, bahkan mungkin seorang pejabat sekalipun ketika terkena stroke, maka habislah semuanya, bahkan keluarga dan anak-anaknya terancam terlantar karena tulang punggung yang membiayai mereka hilang. Mereka menjadi tidak berdaya akibat disabilitas (ketidakmampuan) yang dialaminya. Riset Kesehatan Dasar Depkes menunjukkan di Propinsi Gorontalo tahun 2008 menunjukkan angka disability (ketidakmampuan /hendaya fisik berat)), baik karena sakit atau kecelakaan yang mencapai 3,6%. Disability sangat yang dialami oleh orang dalam usia produktif menyebabkan ia kehilangan pendapatan (economic loss), yang kalau dihitung 4,5 Trilliun rupiah pertahunnya.
Disamping itu sifat kesehatan yang uncertainty menyebabkan seseorang rata-rata tidak siap biaya apabila jatuh sakit. Hal ini ditambah lagi dengan makin mahalnya biaya rumah sakit. Penelitian menunjukkan bahwa seorang yang jatuh sakit dan berobat rata-rata menhabiskan 3 kali penghasilannya perbulan. Jika ia sebelumnya termasuk golongan menengah maka dia akan jatuh miskin. Tiga sifat pelayanan kesehatan tersebut adalah :
Uncertainty
Ketidakpastian, Tidak ada yang dapat memastikan kapan ia akan jatuh sakit, seberapa berat sakit yang akan dideritanya dan berapa biaya yang harus dikeluarkannya. Kebanyakan kita tidak siap dengan biaya untuk menanggulangi ketika kita sakit. Dalam kesehatan dikenal hukum ”the law of medical money” artinya, jika seorang jatuh sakit, maka ia akan mengeksplorasi semua harta benda yang dimilikinya untuk membiayai pengobatannya. Jika sudah habis maka jika ada asset pribadinya yang bisa dijual pasti akan dijual, kalau semuanya habis maka dia akan meminjam kiri kanan. Maka jadilah ia orang miskin baru. Orang miskin baru ini kemudian akan menjadi beban negara, begitu seterusnya akan tercipta mata rantai kemiskinan bagaikan lingkaran setan.
2. Externality
Externality adalah sifat dimana seorang yang sakit tidak hanya mempengaruhi dirinya sendiri tetapi juga mempengaruhi orang lain yang ada disekelilingnya. Misalnya seorang yang berpenyakit TBC, diare, hepatitis, kusta, polio, Flu Burung, dan masih banyak penyakit menular lainnya. Bayangkan seorang anak sekolah yang menderita TBC, pasti ia akan menularkan kepada teman-teman sekelasnya. Jika mereka tidak ditangani/diobati maka rantai penularan akan menjadi panjang. Sifat eksternalitas penyakit menular mengharuskan pemerintah untuk mengambil alih penanganannya. Itulah sebabnya penanganan penyakit yang mempunyai eksternalitas tinggi digratiskan atau biayanya ditanggung oleh pemerintah. Bahkan banyak lembaga donatur asing (donor agency) yang membantu membiayai penanggulangan penyakit-penyakit menular di Indonesia. Misalnya TBC oleh WHO, Kusta oleh NLR (Belanda) dll. Nah ... kalau negara asing saja seperti itu kenapa kita tidak mau ?
Kedua sifat tersebut mengharuskan pemerintah harus membiayai pelayanan kesehatan, apakah pelayanan dasar di puskesmas yang langsung bersentuhan dengan masyarakat di tingkat bawah, maupun pelayanan rujukan di rumah sakit yang biayanya semakin mahal. Seyogyanya rumah sakit umum milik pemerintah dibiayai operasionalnya oleh pemerintah, bukan malah dijadikan sumber PAD dengan menaikkan tarif pelayanan. Disamping itu pembiayaan kesehatan bersumber masyarakat dikembangkan melalui pola asuransi baik asuransi sosial (Jamkesmas, Jamkesda, Jamsostek, Askes, dll), bagi yang tidak mampu maupun asuransi komersial bagi mereka yang mampu.
2. Asymetry of Information
Asimetri Informasi menempatkan pasien pada posisi ignourance (tidak tahu). Dokter atau petugas kesehatan lebih tahu segalanya tentang kesehatan. Ketidak tahuan ini terkadang menimbulkan moral hazart dikalangan pelaku/pemberi pelayanan kesehatan. Misalnya, banyak kejadian pasien menerima pemeriksaan yang sebenarnya tidak dia perlukan atau menerima pemeriksaan yang berlebih-lebihan. Hanya karena ketidak tahuannya, pasien pasrah dan menerima saja apa kata petugas. Misalnya, hanya untuk sakit kepala biasa langsung dilakukan pemeriksaan CT-Scan, MRI dan sebagainya. Kejadian seperti ini tidak hanya terjadi pada pelayanan kesehatan swasta tetapi juga milik pemerintah, karena mengejar break even point suatu alat kesehatan (supply induced demand). Atau mengejar target PAD yang ditetapkan oleh pemerintah daerah. Pasien tidak tahu apakah memang ia harus dioperasi atau tidak ? Sehingga ia pasrah saja kalau suatu saat diputuskan harus dilakukan tindakan operasi. Pemberian obat yang sampai beberapa macam (polifarmasi) adalah contoh lainnya. Semua ini menyebabkan beban biaya yang harus ditanggung oleh pasien menjadi tinggi.
Dengan tiga sifat tersebut menyebabkan peran Jaminan Kesehatan baik yang sosial maupun komersial sangat diperlukan. Mayoritas penduduk kita tidak mampu mengikuti asuransi komersial yang preminya memang mahal. (bersambung)
(Oleh : Dr. Rusli A. Katili, MARS)

Sabtu, 26 September 2009

Hati Hati Merubah RSUD Menjadi BLU


Akhir-akhir ini mulai banyak rumah sakit umum di daerah yang berubah menjadi Badan Layanan Umum. Phenomena ini menarik dan patut didukung, karena “mungkin” saja dengan BLU pengelolaan rumah sakit menjadi lebih baik, kualitas pelayanan meningkat dan pasien akan terpuaskan.

Namun harus hati-hati merubah rumah sakit umum daerah menjadi BLU. sebab penerapan BLU di rumah sakit jika tidak diikuti dengan penjaminan kesehatan bagi masyarakatnya, akan berdampak pada semakin tidak mampunya masyarakat menjangkau pelayanan di rumah sakit. Sebab rumah sakit BLU rata-rata menaikkan tarifnya melalui perhitungan tarif berdasarkan prinsip-prinsip bisnis , unit cost, dan lain-lain untuk mengejar cost recovery diatas 60% seperti yang dipersyaratkan untuk menjadi BLU.

Memang diakui bahwa pengelolaan rumah sakit sebagai satuan kerja perangkat daerah dirasakan memperlambat arus kas rumah sakit, terutama untuk memenuhi kebutuhan operasional, mulai penyediaan obat dan bahan habis pakai medis hingga jasa medis yang terlambat, yang pada akhirnya menurunkan kualitas pelayanan. Kelambatan tersebut karena rumah sakit harus menyetor keseluruhan dari pendapatannya ke kas daerah dalam waktu 1 x 24 jam. Untuk kebutuhan rumah sakit harus mengajukan tagihan sesuai mekanisme yang berlaku bagi SKPD dan harus tercantum DPA SKPD rumah sakit yang disahkan melalui APBD.

Sifat pelayanan kesehatan yang uncertainty (ketidakpastian) membuat rumah sakit kesulitan memprediksi berapa seharusnya anggaran real rumah sakit. Tidak heran jika banyak rumah sakit yang harus berhutang kepada perusahaan obat dan jasa medis yang tidak terbayarkan. Beberapa rumah sakit bahkan para tenaga medisnya melakukan unjuk rasa.

Pengertian BLU itu sendiri menurut UU Nomor 23 tahun 2005 pasal 1 angka 23 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, bahwa tujuan dibentuknya BLU adalah sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 68 ayat (1) yang menyebutkan bahwa “Badan Layanan Umum dibentuk untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa”. Kemudian ditegaskan kembali dalam PP No. 23 Tahun 2005 sebagai peraturan pelaksanaan dari asal 69 ayat (7) UU No. 1 Tahun 2004, Pasal 2 yang menyebutkan bahwa “BLU bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip ekonomi dan produktivitas, dan penerapan praktek bisnis yang sehat”. Dengan BLU maka rumah sakit bisa menggunakan langsung pendapatan yang diterimanya,

Walaupun rumah sakit BLU tidak ditujukan untuk mencari keuntungan namun penerapan praktek bisnis yang sehat mengharuskan manajemen harus bisa memenuhi pencapaian cost recovery yang lebih produktif. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan menaikkan tarif dengan menghitungnya berdasarkan biaya satuan perpelayanan. Kenaikan ini yang akan memberatkan masyarakat pengguna rumah sakit umum daerah yang notabene adalah masyarakat menengah kebawah. Disisi lain tidak semua masyarakat yang ada di daerah menjadi peserta jamkesmas, belum meratanya kepesertaan dalam asuransi sosial yang sebagian besar hanya diikuti oleh pegawai negeri (ASKES PNS), Jamsostek dan asuransi komersial lainnya. Kebanyakan masyarakat jadi miskin jika sakit (the law of medical money).

Solusi terhadap permasalahan tersebut adalah daerah harus mengikutinya dengan memberikan penjaminan kesehatan, baik premi yang sepenuhnya berasal dari APBD maupun iur premi dengan peserta. Jika ini dilakukan maka berapapun tarif yang diterapkan oleh RSU BLU tidak menjadi masalah, karena masyarakat telah memperoleh jaminan pemeliharaan kesehatan.


(disarikan dari berbagai sumber )

Senin, 20 Juli 2009

ALKOHOL DAN CACINGAN


Seorang dokter ahli kesehatan masyarakat sedang berkampanye anti alkohol di sebuah ruangan besar. Untuk meyakinkan para hadirin tentang bahaya alkohol, diperlihatkannya dua buah gelas, masing-masing di tangan kiri dan kanannya. Gelas di tangan kiri berisi air, di tangan kanan berisi alkohol murni. Kemudian, kedalam masing-masing gelas dimasukkannya seekor cacing hidup. Cacing di gelas berisi air tetap hidup; cacing di gelas berisi alkohol murni segera mati. Dengan kenyataan yang sederhana dan gamblang ini, sang dokter menanyakan kepada hadirin, pelajaran apa yang dapat ditariknya. Semua hadirin diam. Hening. Lalu, seorang lelaki tua bangkit dari antara hadirin, tampil kedepan, menggapai mikorofon, lalu dengan tenang mengatakan: "Pelajaran yang ditarik ialah: kalau Anda rajin minum alkohol, Anda tidak akan cacingan".
Pesan: Sebuah cerita tidak berarti sebelum diartikan.

Dari : Kumpul Kecil (WIM POLI)

Lalat Kecil


Seorang dokter ahli kesehatan masyarakat sedang berkampanye di sebuah desa di pedalaman, mengajarkan para penduduk desa tentang wabah penyakit yang ditularkan oleh lalat. Dengan menggunakan video diperlihatkan gambar berskala besar untuk mendemonstrasikan bagaimana lalat dapat memindahkan bibit penyakit dengan kakinya, dari sampah ke makanan manusia. Kemudian, sang dokter bertanya kepada kepala desa tentang kesannya. Kata kepala desa: “Wah, mengerikan dokter. Tetapi, jangan takut, lalat-lalat di sini semuanya kecil-kecil, tidak seperti yang diperlihatkan tadi”.
Pesan: Sebuah pesan tidak selalu sama artinya di benak pengirim dan penerima pesan.

dari : kumpul kecil (PROF. WIM POLI)

Selasa, 07 Juli 2009

Presiden dan Karyawan Honda


Di Honda, kalau Presidennya mau mendapat tempat parkir yang baik, ia harus tiba di kantor lebih awal dari para karyawan lainnya, karena tidak tersedia tempat parkir khusus untuk mobil Presiden. Akibatnya, sukar ditemukan manakah mobil Presiden di antara mobil-mobil yang ada di tempat parkir. Bukan hanya itu. Di kantor juga sukar dibedakan mana karyawan biasa dan mana Presiden: semua orang bekerja dengan pakaian kerja yang seragam; ketika makan, mereka semua berbaur di cafetaria yang sama, makan makanan yang sama pula. Tidak ada perlakuan-perlakuan khusus yang membedakan Presiden dari para karyawan lainnya.

Tetapi, Presiden Honda dengan gampang dapat dikenal pada akhir dari garis assembling, ketika sebuah model baru siap untuk diluncurkan. Dialah orang pertama yang menunggu di sana. Dialah orang pertama yang dengan bangga mencoba model baru tersebut di lapangan uji. Semua karyawan menyaksikannya menguji dan membanggakan model baru tersebut. Para karyawan merasa bangga sebagai pemenang, melihat Presidennya sebagai orang pertama yang menguji-coba hasil karyanya.

Alasan apa yang terdapat di balik perilaku Presiden ini, dan apa dampaknya terhadap perusahaan? Ada pola perilaku yang tampak, yang didasarkan pada alasan yang tidak tampak, yang mempunyai dampak luas - baik dampak yang tampak mau pun yang tidak tampak - terhadap para karyawan perusahaan secara keseluruhan. Manusia dihargai karena karyanya.

Presiden Honda sama dan tidak sama dengan para karyawan lainnya. Kenyataan ini merupakan sebuah unsur motivasi yang turut membentuk kebudayaan organisasi.

Pesan: Prinsip yang besar terungkap melalui tindakan nyata yang tampak sehari-hari.
DIkutip dari : Prof. WIM POLI (kumpul kecil)

Kamis, 25 Juni 2009

Persembahan di Akhir Masa Tugas DPRD Bone Bolango


Ini merupakan langkah maju dalam komitmen memberikan pengabdian terbaik kepada masyarakat di akhir masa tugas DPRD Bone Bolango periode 2004-2009. Persembahan terakhir berupa ranperda tentang Jamkesda akhirnya disetujui secara aklamasi untuk disahkan menjadi Perda oleh seluruh anggota Pansus. Hal ini berarti masyarakat Bone Bolango akan menikmati pelayanan yang dijamin oleh pemerintah daerah secara berkesinambungan.

Saya didampingi oleh Koordinator Tim Pengendali H. Said Mustafa, SKM, M.Epid, dan Kasubag Keuangan Yohanes Hulukati, SE yang menghadiri langsung pembahasan akhirnya mampu meyakinkan seluruh anggota Pansus tentang pelaksanaan Jamkesda di Bone Bolango.

Ranperda yang diajukan memuat dasar hukum pelaksanaan Jamkesda, aspek kepesertaan, aspek pengelolaan dan aspek pelayanan. Beberapa hal yang menjadi catatan adalah usulan dari H. Yusuf Umar dari fraksi Golkar bahwa mereka yang belum menjadi peserta harap bisa diakomodir di tahun-tahun mendatang. Sementara Irwan Mamesah, SPd, Erna Patuti dan A.R Manoppo yang juga Ketua Fraksi Golkar mengharapkan peningkatan kualitas pelayanan di rumah sakit Toto.

Sementara direktur RSUD Toto yang diwakili Kusno, SE mengharapkan adanya penambahan anggaran untuk RSUD Toto agar bisa memberikan pelayanan yang lebih maksimal. Hal ini seiring dengan semakin menipisnya anggaran yang tersedia sehingga terkadang beberapa pasien harus terpaksa membeli obat sendiri.

Jika perda ini disahkan maka, Bone Bolango adalah Kabupaten pertama di Propinsi Gorontalo yang memberikan jaminan pelayanan kesehatan secara berkesinambungan dengan menyediakan dana melalui APBD setiap tahunnya, dengan cakupan yang mencapai 90% dari seluruh penduduk Bone Bolango.

Dalam pembahasan kemarin disetujui pula Ranperda tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan di Puskesmas dan Jaringannya, Ranperda tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit Toto dan Tombulilato dan Ranperda tentang OTK Rumah Sakit Umum Daerah Toto Bone Bolango yang statusnya akan ditingkatkan menjadi Rumah Sakit Kelas C.
Atas nama seluruh jajaran Dinas Kesehatan tentu saja menyampaikan terima kasih kepada Bapak Bupati Bone Bolango yang telah menyetujui program Jamkesda di Bone Bolango dan Kepada seluruh anggota pansus DPRD Bone Bolango yang telah menyetujui ranperda ini untuk Insya Allah ditetapkan menjadi Perda. Semoga Allah SWT meridhoi upaya yang luhur ini. Amin ....

Selasa, 23 Juni 2009

CONGRAGULATION !!! IDI BONE BOLANGO


Setelah menanti kurang lebih 1 tahun, dengan beberapa kali melakukan pertemuan, dan dengan dukungan dari Ketua/Sekretaris IDI Cab. Kabupaten Gorontalo dan Ketua/Sekretaris IDI Propinsi Gorontalo akhirnya hari ini Surat Keputusan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Nomor : 389/PB/A.4/05/2009 tentang Pengesahan Terbentuknya Ikatan Dokter Indonesia Cabang Kab. Bone Bolango, dan Surat Keputusan Pengurus Besar IDI Nomor : 390/PB/a.4/05/2009, tentang Pengesahan Susunan Personalia Pengurus IDI Cabang Kabupaten Bone Bolango Periode Tahun 2009-2012, diterima. SK tersebut ditanda tangani oleh Ketua Umum : DR. Dr. Fachmi Idris, M. Kes, dan Sekjen : Dr. Zaenal Abidin
Surat tertanggal 26 Mei tersebut merupakan tonggak awal lahirnya cabang baru Ikatan Dokter di Kabupaten Bone Bolango. Organisasi ini akan menjadi wadah pembinaan, dan pengabdian para dokter di Kabupaten Bone Bolango sebagai mitra pembangunan kesehatan untuk mencapai kualitas pelayanan profesi yang tinggi demi mendorong terwujudnya pencapaian derajat kesehatan masyarakat di Kabupaten Bone Bolango.

Susunan Personalia Pengurus IDI Periode 2009-2012 sebagai berikut :

Pembina : Dr. Edi Djayakusli, SpPD
Dr. R.Is. Ibrahim
Dr. Izuddin Mohamad
Ketua : Dr. Rusli A. Katili, MARS
Wakil Ketua I : Dr. Thaib Saleh
Wakil Ketua II : Dr. Saleh Zubedi
Sekretaris : Dr. Ani Noviyanti
Sekretaris I : Dr. Serlu Daud
Sekretaris II : Dr. Tanty Korompot
Bendahara : Dr. Meyrin Kadir
Wakil Bendahara : Dr. Endang Kartiko Peny

1. Seksi Ilmiah :
Ketua : Dr. Ronald Ibrahim
Anggota : Dr. Rohani Thalib
2. Seksi Pengabdian Masyarakat :
Ketua : Dr. Trisye K. Mile, M.Kes
Annggota : Dr. Rahmat
Dr. Rusliyanto Monoarfa
3. Seksi Humas dan IT
Ketua : Dr. Abubakar S. Zubedi
Anggota : Dr. Stefvanus Usman
Dr. Fendi Jonandri
4. Seksi Olah Raga dan Seni
Ketua : Dr. Milyadi Maksum
Anggota : Dr. Diana Umar
Dr. Ardiyanti Mahmud
5. Seksi Dana
Ketua : Dr. Nurhayati Ayuba
Anggota : Dr. Vanny Paune
Dr. Denny Marselino Hongo
Dr. Yussi Yuanita
6. Seksi Kesejahteraan Anggota
Ketua : Dr. Darmawati
Anggota : Dr. Ivone Taha
Dr. Ruli Antuli

Selamat Atas Pengesahan dan Selama berkarya .....

Rabu, 18 Februari 2009

4,5 Trilliun Rupiah Kerugian Ekonomi Akibat Sakit dan Disability di Gorontalo


Sehat adalah investasi sudah sering kita dengar, tetapi mungkin belum membuktikannya secara hitung-hitungan ekonomi. Memahami konsep kerugian ekonomi (economic loss) akan membuat kita sadar betapa pentingnya program kesehatan untuk diberikan porsi anggaran yang proporsional untuk mencegah terjadinya penyakit dan disability. World Health Organization (WHO) memberikan definisi disabilitas sebagai keadaan terbatasnya kemampuan (disebabkan karena adanya hendaya) untuk melakukan aktivitas dalam batas-batas yang dianggap normal oleh manusia.
Seorang yang mengalami disabilitas berarti secara ekonomi tidak mampu melakukan aktifitas yang mampu mendatangkan penghasilan minimum (WHO). Ada dua jenis kerugian yang timbul akibat sakit yaitu ; 1. Kerugian ekonomi akibat hilangnya waktu produktif akibat sakit dan 2, Kerugian ekonomi akibat biaya yang harus dikeluarkan untuk pengobatan.
Seorang yang mengalami disabilitas selama beberapa hari, misalnya, tidak bisa bekerja, tidak bisa masuk sekolah, tidak dapat bermain atau bahkan tidak mampu melakukan tugas sehari-hari. Belum lagi kalau hal ini berdampak langsung di masalah keluarga yang mengalaminya, yaitu harus mengeluarkan biaya tambahan untuk pengobatan. Kemudian juga, disability memperburuk ekonomi rumah tangga, membuat kemampuan rumah tangga untuk membiayai pendidikan, kesehatan dan gizi anak mereka juga menjadi terbatas. Dan kalau melihat aspek ini dalam jangka panjang akan menimbulkan efek menurunnya mutu SDM orang Gorontalo juga nantinya.
Hasil riset kesehatan daerah di Propinsi Gorontalo, yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan tahun 2008. Ada satu hal menarik penulis, yaitu data tentang prevalensi orang-orang yang berusia di atas 15 tahun yang mengalami disability sangat (ketidakmampuan /hendaya fisik berat)), baik karena sakit atau kecelakaan yang mencapai 3,6%. Disability sangat yang dialami oleh orang dalam usia produktif menyebabkan ia kehilangan pendapatan (economic loss).
Jika kita berasumsi penduduk Propinsi Gorontalo 1 juta orang, maka setiap tahun 36.000 orang mengalami disability akibat berbagai sebab, mulai sakit atau mengalami kecelakaan. Jika mereka usia produktif dan diasumsikan setiap hari mereka kehilangan pendapatan Rp. 10.000 (UMR) maka setiap bulan terjadi kerugian ekonomi Rp. Rp. 10.800.000.000. Setahunnya adalah Rp. 129.600.000.000.
Jika mereka mengalami disabilitas permanent sehingga tidak produktif lagi dan jika dihitung rata-rata usia produktif dimulai sejak umur 21 tahun sampai 55 tahun dengan asumsi bahwa disability terjadi sejak usia 21 tahun maka hilangnya waktu produktif karena disabilitas yaitu sebanyak 446.780.000 hari produktif atau 1.224.000 tahun produktif yang hilang dengan total kerugian ekonomi sebesar Rp. 4.467.800.000.000, (4,5 Trilliun rupiah ). Wah … angka ini mungkin cukup untuk membiayai pembangunan untuk 10 tahun anggaran disatu Kabupaten/Kota di Propinsi Gorontalo.
Angka-angka ini adalah perhitungan global berdasarkan asumsi-asumsi yang mungkin saja lebih kecil tapi mungkin juga lebih besar sebab belum dihitung berapa biaya yang sudah dikeluarkan untuk pengobatan sebelum mengalami disabilitas dan berapa akibat yang ditimbulkannya, misalnya ketidakmampuan membiayai rumah tangga akibat kemiskinan, kerentanan terhadap sakit akibat gizi buruk, Tbc, dan ketidak mampuan membiayai pendidikan, dll. Belum lagi jika angka riskesdas tersebut merupakan prevalensi pertahun, artinya setiap tahun disabilitas terjadi konstan 3,6%. Nah bandingkan dengan berapa anggaran kesehatan yang sudah dialokasikan di APBD untuk sektor kesehatan pertahun ? (rusli a. katili).

Senin, 12 Januari 2009

Mengapa Kesehatan Menjadi Kewenangan Wajib ?


Health is not everything, but without health, everything is nothing. Memang kesehatan bukanlah segalanya, tetapi segalanya tidak ada artinya kalau kita sakit. Ungkapan ini sudah sering kita dengar dimana-mana. Ungkapan ini kalau kita cermati, seharusnya membuat kita lebih sadar bahwa menjaga kesehatan sangatlan penting. Tetapi terkadang kita baru merasakan betapa berartinya sehat setelah kita jatuh sakit.
Di dalam program kesehatan dikenal dengan 4 upaya kesehatan yaitu : upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Upaya promotif adalah upaya kesehatan yang bertujuan untuk menjaga atau meningkatkan status kesehatan, misalnya dengan makan makanan bergizi dan seimbang, olah raga, tidak merokok, tidak minum minuman beralkohol, istirahat cukup, dalam arti kata ber-PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat) dll.
Upaya preventif adalah upaya mencegah agar tidak sakit, misalnya dengan melakukan imunisasi kepada bayi, balita, anak dan orang dewasa. Misalnya imunisasi DPT, TBC, Hepatitis, Meningitis (bagi jemaah calon haji )dll.
Upaya kuratif adalah upaya yang dilakukan ketika jatuh sakit, misalnya pemeriksaan dokter, pengobatan dan tindakan medis lainnya baik di dokter praktek, puskesmas atau rumah sakit.
Upaya rehabilitatif adalah upaya pemulihan setelah jatuh sakit jika terjadi disfungsi organ tubuh misalnya kecacatan lengan dan kaki, sehingga dilakukan tindakan melatih kembali (fisioterapi), agar bisa berfungsi seperti semula atau minimal mendekati semula. Termasuk disini adalah pemberian alat bantu agar organ tersebut bisa berfungsi lagi, misalnya hearing aid (alat bantu pendengaran) prothesa kaki, kaca mata dll.
Lalu kenapa menjadi kewenangan wajib ?
Setidaknya ada 3 ciri pelayanan kesehatan yang perlu kita pahami, dua diantaranya menjadi alasan yang prinsipil sehingga kesehatan adalah kewenangan wajib, yaitu :

1. Uncertainty
Ketidakpastian, Tidak ada yang dapat memastikan kapan ia akan jatuh sakit, seberapa berat sakit yang akan dideritanya dan berapa biaya yang harus dikeluarkannya. Kebanyakan kita tidak siap dengan biaya untuk menanggulangi ketika kita sakit. Dalam kesehatan dikenal hukum ”the law of medical money” artinya, jika seorang jatuh sakit, maka ia akan mengeksplorasi semua harta benda yang dimilikinya untuk membiayai pengobatannya. Jika sudah habis maka jika ada asset pribadinya yang bisa dijual pasti akan dijual, kalau semuanya habis maka dia akan meminjam kiri kanan. Maka jadilah ia orang miskin baru. Orang miskin baru ini kemudian akan menjadi beban negara, begitu seterusnya akan tercipta mata rantai kemiskinan bagaikan lingkaran setan.
2. Externality
Externality adalah sifat dimana seorang yang sakit tidak hanya mempengaruhi dirinya sendiri tetapi juga mempengaruhi orang lain yang ada disekelilingnya. Misalnya seorang yang berpenyakit TBC, diare, hepatitis, kusta, polio, Flu Burung, dan masih banyak penyakit menular lainnya. Bayangkan seorang anak sekolah yang menderita TBC, pasti ia akan menularkan kepada teman-teman sekelasnya. Jika mereka tidak ditangani/diobati maka rantai penularan akan menjadi panjang. Sifat eksternalitas penyakit menular mengharuskan pemerintah untuk mengambil alih penanganannya. Itulah sebabnya penanganan penyakit yang mempunyai eksternalitas tinggi digratiskan atau biayanya ditanggung oleh pemerintah. Bahkan banyak lembaga donatur asing (donor agency) yang membantu membiayai penanggulangan penyakit-penyakit menular di Indonesia. Misalnya TBC oleh WHO, Kusta oleh NLR (Belanda) dll. Nah ... kalau negara asing saja seperti itu kenapa kita tidak mau ?
Kedua sifat tersebut mengharuskan pemerintah harus membiayai pelayanan kesehatan, apakah pelayanan dasar di puskesmas yang langsung bersentuhan dengan masyarakat di tingkat bawah, maupun pelayanan rujukan di rumah sakit yang biayanya semakin mahal. Seyogyanya rumah sakit umum milik pemerintah dibiayai operasionalnya oleh pemerintah, bukan malah dijadikan sumber PAD dengan menaikkan tarif pelayanan. Disamping itu pembiayaan kesehatan bersumber masyarakat dikembangkan melalui pola asuransi baik asuransi sosial (Jamkesmas, Jamkesda, Jamsostek, Askes, dll), bagi yang tidak mampu maupun asuransi komersial bagi mereka yang mampu.
2. Asymetry of Information
Asimetri Informasi menempatkan pasien pada posisi ignourance (tidak tahu). Dokter atau petugas kesehatan lebih tahu segalanya tentang kesehatan. Ketidak tahuan ini terkadang menimbulkan moral hazart dikalangan pelaku/pemberi pelayanan kesehatan. Misalnya, banyak kejadian pasien menerima pemeriksaan yang sebenarnya tidak dia perlukan atau menerima pemeriksaan yang berlebih-lebihan. Hanya karena ketidak tahuannya, pasien pasrah dan menerima saja apa kata petugas. Misalnya, hanya untuk sakit kepala biasa langsung dilakukan pemeriksaan CT-Scan, MRI dan sebagainya. Kejadian seperti ini tidak hanya terjadi pada pelayanan kesehatan swasta tetapi juga milik pemerintah, karena mengejar break even point suatu alat kesehatan (supply induced demand). Atau mengejar target PAD yang ditetapkan oleh pemerintah daerah. Pasien tidak tahu apakah memang ia harus dioperasi atau tidak ? Sehingga ia pasrah saja kalau suatu saat diputuskan harus dilakukan tindakan operasi. Pemberian obat yang sampai beberapa macam (polifarmasi) adalah contoh lainnya.
UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran memberikan perlindungan kepada hak-hak pasien. Salah satunya adalah mengharuskan seorang pasien harus memperoleh informasi yang lengkap tentang penyakitnya, tindakan yang akan diambil, dan apa akibat/ efek samping dari tindakan yang akan diterima. Selanjutnya diberikan kesempatan apakah ia menerima atau menolak tindakan.
Simak anekdot berikut : “ Seorang ibu yang sedang menunggui anaknya yang mengalami koma di rumah sakit memanggil dokter, setelah diperiksa, dokter menyatakan kepada ibu bahwa anaknya telah meninggal. Merasa belum meninggal sang anak dengan suara lemah dan lirih menjawab : “ mama, saya masih hidup “. Sang ibu langsung memotong kata-kata anaknya : “ huss diam kamu. Dokter lebih tahu dari kamu” Nahhhh .....?!?!