Sabtu, 10 Oktober 2009

Menyongsong jamkesda Propinsi (Bagian 2)

Mengapa Jamkesda perlu diprogramkan? Pertanyaan ini banyak dilontarkan beberapa orang tertentu. Sebab ada yang menganggap program ini berbau politis, dan untuk kepentingan penguasa. Terlepas dari benar tidaknya anggapan tersebut, marilah kita kaji sejenak sifat pelayanan kesehatan yang sangat spesifik jika dibandingkan dengan persoalan hidup lainnya. Ungkapan sehat bukan segalanya memang benar, tetapi harus disadari juga bahwa tanpa kesehatan maka segalanya menjadi tidak ada artinya (health is not everything, but without health everything is not). Survey membuktikan bahwa seorang baru menyadari sehat itu perlu kalau ia sudah jatuh sakit.
Bayangkan seorang yang tadinya sehat, produktif, bahkan mungkin seorang pejabat sekalipun ketika terkena stroke, maka habislah semuanya, bahkan keluarga dan anak-anaknya terancam terlantar karena tulang punggung yang membiayai mereka hilang. Mereka menjadi tidak berdaya akibat disabilitas (ketidakmampuan) yang dialaminya. Riset Kesehatan Dasar Depkes menunjukkan di Propinsi Gorontalo tahun 2008 menunjukkan angka disability (ketidakmampuan /hendaya fisik berat)), baik karena sakit atau kecelakaan yang mencapai 3,6%. Disability sangat yang dialami oleh orang dalam usia produktif menyebabkan ia kehilangan pendapatan (economic loss), yang kalau dihitung 4,5 Trilliun rupiah pertahunnya.
Disamping itu sifat kesehatan yang uncertainty menyebabkan seseorang rata-rata tidak siap biaya apabila jatuh sakit. Hal ini ditambah lagi dengan makin mahalnya biaya rumah sakit. Penelitian menunjukkan bahwa seorang yang jatuh sakit dan berobat rata-rata menhabiskan 3 kali penghasilannya perbulan. Jika ia sebelumnya termasuk golongan menengah maka dia akan jatuh miskin. Tiga sifat pelayanan kesehatan tersebut adalah :
Uncertainty
Ketidakpastian, Tidak ada yang dapat memastikan kapan ia akan jatuh sakit, seberapa berat sakit yang akan dideritanya dan berapa biaya yang harus dikeluarkannya. Kebanyakan kita tidak siap dengan biaya untuk menanggulangi ketika kita sakit. Dalam kesehatan dikenal hukum ”the law of medical money” artinya, jika seorang jatuh sakit, maka ia akan mengeksplorasi semua harta benda yang dimilikinya untuk membiayai pengobatannya. Jika sudah habis maka jika ada asset pribadinya yang bisa dijual pasti akan dijual, kalau semuanya habis maka dia akan meminjam kiri kanan. Maka jadilah ia orang miskin baru. Orang miskin baru ini kemudian akan menjadi beban negara, begitu seterusnya akan tercipta mata rantai kemiskinan bagaikan lingkaran setan.
2. Externality
Externality adalah sifat dimana seorang yang sakit tidak hanya mempengaruhi dirinya sendiri tetapi juga mempengaruhi orang lain yang ada disekelilingnya. Misalnya seorang yang berpenyakit TBC, diare, hepatitis, kusta, polio, Flu Burung, dan masih banyak penyakit menular lainnya. Bayangkan seorang anak sekolah yang menderita TBC, pasti ia akan menularkan kepada teman-teman sekelasnya. Jika mereka tidak ditangani/diobati maka rantai penularan akan menjadi panjang. Sifat eksternalitas penyakit menular mengharuskan pemerintah untuk mengambil alih penanganannya. Itulah sebabnya penanganan penyakit yang mempunyai eksternalitas tinggi digratiskan atau biayanya ditanggung oleh pemerintah. Bahkan banyak lembaga donatur asing (donor agency) yang membantu membiayai penanggulangan penyakit-penyakit menular di Indonesia. Misalnya TBC oleh WHO, Kusta oleh NLR (Belanda) dll. Nah ... kalau negara asing saja seperti itu kenapa kita tidak mau ?
Kedua sifat tersebut mengharuskan pemerintah harus membiayai pelayanan kesehatan, apakah pelayanan dasar di puskesmas yang langsung bersentuhan dengan masyarakat di tingkat bawah, maupun pelayanan rujukan di rumah sakit yang biayanya semakin mahal. Seyogyanya rumah sakit umum milik pemerintah dibiayai operasionalnya oleh pemerintah, bukan malah dijadikan sumber PAD dengan menaikkan tarif pelayanan. Disamping itu pembiayaan kesehatan bersumber masyarakat dikembangkan melalui pola asuransi baik asuransi sosial (Jamkesmas, Jamkesda, Jamsostek, Askes, dll), bagi yang tidak mampu maupun asuransi komersial bagi mereka yang mampu.
2. Asymetry of Information
Asimetri Informasi menempatkan pasien pada posisi ignourance (tidak tahu). Dokter atau petugas kesehatan lebih tahu segalanya tentang kesehatan. Ketidak tahuan ini terkadang menimbulkan moral hazart dikalangan pelaku/pemberi pelayanan kesehatan. Misalnya, banyak kejadian pasien menerima pemeriksaan yang sebenarnya tidak dia perlukan atau menerima pemeriksaan yang berlebih-lebihan. Hanya karena ketidak tahuannya, pasien pasrah dan menerima saja apa kata petugas. Misalnya, hanya untuk sakit kepala biasa langsung dilakukan pemeriksaan CT-Scan, MRI dan sebagainya. Kejadian seperti ini tidak hanya terjadi pada pelayanan kesehatan swasta tetapi juga milik pemerintah, karena mengejar break even point suatu alat kesehatan (supply induced demand). Atau mengejar target PAD yang ditetapkan oleh pemerintah daerah. Pasien tidak tahu apakah memang ia harus dioperasi atau tidak ? Sehingga ia pasrah saja kalau suatu saat diputuskan harus dilakukan tindakan operasi. Pemberian obat yang sampai beberapa macam (polifarmasi) adalah contoh lainnya. Semua ini menyebabkan beban biaya yang harus ditanggung oleh pasien menjadi tinggi.
Dengan tiga sifat tersebut menyebabkan peran Jaminan Kesehatan baik yang sosial maupun komersial sangat diperlukan. Mayoritas penduduk kita tidak mampu mengikuti asuransi komersial yang preminya memang mahal. (bersambung)
(Oleh : Dr. Rusli A. Katili, MARS)