Senin, 12 Januari 2009

Mengapa Kesehatan Menjadi Kewenangan Wajib ?


Health is not everything, but without health, everything is nothing. Memang kesehatan bukanlah segalanya, tetapi segalanya tidak ada artinya kalau kita sakit. Ungkapan ini sudah sering kita dengar dimana-mana. Ungkapan ini kalau kita cermati, seharusnya membuat kita lebih sadar bahwa menjaga kesehatan sangatlan penting. Tetapi terkadang kita baru merasakan betapa berartinya sehat setelah kita jatuh sakit.
Di dalam program kesehatan dikenal dengan 4 upaya kesehatan yaitu : upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Upaya promotif adalah upaya kesehatan yang bertujuan untuk menjaga atau meningkatkan status kesehatan, misalnya dengan makan makanan bergizi dan seimbang, olah raga, tidak merokok, tidak minum minuman beralkohol, istirahat cukup, dalam arti kata ber-PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat) dll.
Upaya preventif adalah upaya mencegah agar tidak sakit, misalnya dengan melakukan imunisasi kepada bayi, balita, anak dan orang dewasa. Misalnya imunisasi DPT, TBC, Hepatitis, Meningitis (bagi jemaah calon haji )dll.
Upaya kuratif adalah upaya yang dilakukan ketika jatuh sakit, misalnya pemeriksaan dokter, pengobatan dan tindakan medis lainnya baik di dokter praktek, puskesmas atau rumah sakit.
Upaya rehabilitatif adalah upaya pemulihan setelah jatuh sakit jika terjadi disfungsi organ tubuh misalnya kecacatan lengan dan kaki, sehingga dilakukan tindakan melatih kembali (fisioterapi), agar bisa berfungsi seperti semula atau minimal mendekati semula. Termasuk disini adalah pemberian alat bantu agar organ tersebut bisa berfungsi lagi, misalnya hearing aid (alat bantu pendengaran) prothesa kaki, kaca mata dll.
Lalu kenapa menjadi kewenangan wajib ?
Setidaknya ada 3 ciri pelayanan kesehatan yang perlu kita pahami, dua diantaranya menjadi alasan yang prinsipil sehingga kesehatan adalah kewenangan wajib, yaitu :

1. Uncertainty
Ketidakpastian, Tidak ada yang dapat memastikan kapan ia akan jatuh sakit, seberapa berat sakit yang akan dideritanya dan berapa biaya yang harus dikeluarkannya. Kebanyakan kita tidak siap dengan biaya untuk menanggulangi ketika kita sakit. Dalam kesehatan dikenal hukum ”the law of medical money” artinya, jika seorang jatuh sakit, maka ia akan mengeksplorasi semua harta benda yang dimilikinya untuk membiayai pengobatannya. Jika sudah habis maka jika ada asset pribadinya yang bisa dijual pasti akan dijual, kalau semuanya habis maka dia akan meminjam kiri kanan. Maka jadilah ia orang miskin baru. Orang miskin baru ini kemudian akan menjadi beban negara, begitu seterusnya akan tercipta mata rantai kemiskinan bagaikan lingkaran setan.
2. Externality
Externality adalah sifat dimana seorang yang sakit tidak hanya mempengaruhi dirinya sendiri tetapi juga mempengaruhi orang lain yang ada disekelilingnya. Misalnya seorang yang berpenyakit TBC, diare, hepatitis, kusta, polio, Flu Burung, dan masih banyak penyakit menular lainnya. Bayangkan seorang anak sekolah yang menderita TBC, pasti ia akan menularkan kepada teman-teman sekelasnya. Jika mereka tidak ditangani/diobati maka rantai penularan akan menjadi panjang. Sifat eksternalitas penyakit menular mengharuskan pemerintah untuk mengambil alih penanganannya. Itulah sebabnya penanganan penyakit yang mempunyai eksternalitas tinggi digratiskan atau biayanya ditanggung oleh pemerintah. Bahkan banyak lembaga donatur asing (donor agency) yang membantu membiayai penanggulangan penyakit-penyakit menular di Indonesia. Misalnya TBC oleh WHO, Kusta oleh NLR (Belanda) dll. Nah ... kalau negara asing saja seperti itu kenapa kita tidak mau ?
Kedua sifat tersebut mengharuskan pemerintah harus membiayai pelayanan kesehatan, apakah pelayanan dasar di puskesmas yang langsung bersentuhan dengan masyarakat di tingkat bawah, maupun pelayanan rujukan di rumah sakit yang biayanya semakin mahal. Seyogyanya rumah sakit umum milik pemerintah dibiayai operasionalnya oleh pemerintah, bukan malah dijadikan sumber PAD dengan menaikkan tarif pelayanan. Disamping itu pembiayaan kesehatan bersumber masyarakat dikembangkan melalui pola asuransi baik asuransi sosial (Jamkesmas, Jamkesda, Jamsostek, Askes, dll), bagi yang tidak mampu maupun asuransi komersial bagi mereka yang mampu.
2. Asymetry of Information
Asimetri Informasi menempatkan pasien pada posisi ignourance (tidak tahu). Dokter atau petugas kesehatan lebih tahu segalanya tentang kesehatan. Ketidak tahuan ini terkadang menimbulkan moral hazart dikalangan pelaku/pemberi pelayanan kesehatan. Misalnya, banyak kejadian pasien menerima pemeriksaan yang sebenarnya tidak dia perlukan atau menerima pemeriksaan yang berlebih-lebihan. Hanya karena ketidak tahuannya, pasien pasrah dan menerima saja apa kata petugas. Misalnya, hanya untuk sakit kepala biasa langsung dilakukan pemeriksaan CT-Scan, MRI dan sebagainya. Kejadian seperti ini tidak hanya terjadi pada pelayanan kesehatan swasta tetapi juga milik pemerintah, karena mengejar break even point suatu alat kesehatan (supply induced demand). Atau mengejar target PAD yang ditetapkan oleh pemerintah daerah. Pasien tidak tahu apakah memang ia harus dioperasi atau tidak ? Sehingga ia pasrah saja kalau suatu saat diputuskan harus dilakukan tindakan operasi. Pemberian obat yang sampai beberapa macam (polifarmasi) adalah contoh lainnya.
UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran memberikan perlindungan kepada hak-hak pasien. Salah satunya adalah mengharuskan seorang pasien harus memperoleh informasi yang lengkap tentang penyakitnya, tindakan yang akan diambil, dan apa akibat/ efek samping dari tindakan yang akan diterima. Selanjutnya diberikan kesempatan apakah ia menerima atau menolak tindakan.
Simak anekdot berikut : “ Seorang ibu yang sedang menunggui anaknya yang mengalami koma di rumah sakit memanggil dokter, setelah diperiksa, dokter menyatakan kepada ibu bahwa anaknya telah meninggal. Merasa belum meninggal sang anak dengan suara lemah dan lirih menjawab : “ mama, saya masih hidup “. Sang ibu langsung memotong kata-kata anaknya : “ huss diam kamu. Dokter lebih tahu dari kamu” Nahhhh .....?!?!