Sabtu, 26 September 2009

Hati Hati Merubah RSUD Menjadi BLU


Akhir-akhir ini mulai banyak rumah sakit umum di daerah yang berubah menjadi Badan Layanan Umum. Phenomena ini menarik dan patut didukung, karena “mungkin” saja dengan BLU pengelolaan rumah sakit menjadi lebih baik, kualitas pelayanan meningkat dan pasien akan terpuaskan.

Namun harus hati-hati merubah rumah sakit umum daerah menjadi BLU. sebab penerapan BLU di rumah sakit jika tidak diikuti dengan penjaminan kesehatan bagi masyarakatnya, akan berdampak pada semakin tidak mampunya masyarakat menjangkau pelayanan di rumah sakit. Sebab rumah sakit BLU rata-rata menaikkan tarifnya melalui perhitungan tarif berdasarkan prinsip-prinsip bisnis , unit cost, dan lain-lain untuk mengejar cost recovery diatas 60% seperti yang dipersyaratkan untuk menjadi BLU.

Memang diakui bahwa pengelolaan rumah sakit sebagai satuan kerja perangkat daerah dirasakan memperlambat arus kas rumah sakit, terutama untuk memenuhi kebutuhan operasional, mulai penyediaan obat dan bahan habis pakai medis hingga jasa medis yang terlambat, yang pada akhirnya menurunkan kualitas pelayanan. Kelambatan tersebut karena rumah sakit harus menyetor keseluruhan dari pendapatannya ke kas daerah dalam waktu 1 x 24 jam. Untuk kebutuhan rumah sakit harus mengajukan tagihan sesuai mekanisme yang berlaku bagi SKPD dan harus tercantum DPA SKPD rumah sakit yang disahkan melalui APBD.

Sifat pelayanan kesehatan yang uncertainty (ketidakpastian) membuat rumah sakit kesulitan memprediksi berapa seharusnya anggaran real rumah sakit. Tidak heran jika banyak rumah sakit yang harus berhutang kepada perusahaan obat dan jasa medis yang tidak terbayarkan. Beberapa rumah sakit bahkan para tenaga medisnya melakukan unjuk rasa.

Pengertian BLU itu sendiri menurut UU Nomor 23 tahun 2005 pasal 1 angka 23 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, bahwa tujuan dibentuknya BLU adalah sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 68 ayat (1) yang menyebutkan bahwa “Badan Layanan Umum dibentuk untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa”. Kemudian ditegaskan kembali dalam PP No. 23 Tahun 2005 sebagai peraturan pelaksanaan dari asal 69 ayat (7) UU No. 1 Tahun 2004, Pasal 2 yang menyebutkan bahwa “BLU bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip ekonomi dan produktivitas, dan penerapan praktek bisnis yang sehat”. Dengan BLU maka rumah sakit bisa menggunakan langsung pendapatan yang diterimanya,

Walaupun rumah sakit BLU tidak ditujukan untuk mencari keuntungan namun penerapan praktek bisnis yang sehat mengharuskan manajemen harus bisa memenuhi pencapaian cost recovery yang lebih produktif. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan menaikkan tarif dengan menghitungnya berdasarkan biaya satuan perpelayanan. Kenaikan ini yang akan memberatkan masyarakat pengguna rumah sakit umum daerah yang notabene adalah masyarakat menengah kebawah. Disisi lain tidak semua masyarakat yang ada di daerah menjadi peserta jamkesmas, belum meratanya kepesertaan dalam asuransi sosial yang sebagian besar hanya diikuti oleh pegawai negeri (ASKES PNS), Jamsostek dan asuransi komersial lainnya. Kebanyakan masyarakat jadi miskin jika sakit (the law of medical money).

Solusi terhadap permasalahan tersebut adalah daerah harus mengikutinya dengan memberikan penjaminan kesehatan, baik premi yang sepenuhnya berasal dari APBD maupun iur premi dengan peserta. Jika ini dilakukan maka berapapun tarif yang diterapkan oleh RSU BLU tidak menjadi masalah, karena masyarakat telah memperoleh jaminan pemeliharaan kesehatan.


(disarikan dari berbagai sumber )