Kamis, 30 Desember 2010

Program Kerja 100 Hari Pembangunan Kesehatan Bone Bolango

Visi Dinas Kesehatan dalam Pembangunan Kesehatan Kabupaten Bone Bolango adalah “ Menjadi Pelayan Setia dan Mitra Unggul menuju terwujudnya Bone Bolango Sehat Mandiri dan Berkeadilan. Visi tersebut telah sejalan. dengan Visi Pembangunan Pemerintah Bone Bolango periode 2011-2015 yaitu “ Mewujudkan pemerintah yang amanah menuju terciptanya masyarakat madani “. Penjabaran visi dan misi tersebut tertuangkan dalam strategi pembangunan kesehatan yaitu :
1.Strategi peningkatan akses pelayanan kesehatan yang merata, terjangkau, bermutu dan berkeadilan, dengan mengutamakan pendekatan promotif dan preventif serta kuratif di rumah sakit
2.Strategi pemberdayaan masyarakat termasuk sektor swasta dalam upaya pembangunan kesehatan
3.Strategi peningkatan pembiayaan kesehatan menuju terwujudnya system jaminan kesehatan masyarakat di Kabupaten Bone Bolango
4.Strategi mengembangkan system informasi kesehatan berbasis IT dan system surveillance terpadu berbasis masyarakat
5.Strategi manajemen kesehatan yang akuntabel, transparan, berdayaguna dan berhasilguna

KONDISI SAAT INI DAN TARGET SPM (Permenkes 741 Tahun 2007)

Kondisi georafis dan sarana kesehatan yang ada ketika Kabupaten Bone Bolango dimekarkan dari Kabupaten Gorontalo tahun 2003 hanya terdapat 6 Puskesmas. Kini telah ada 19 Puskesmas yang menjangkau sampai ke tiga wilayah terjauh dan terisolir yaitu Taludaa di ujung Barat, Pinogu di ujung Timur dan wilayah Mongiilo di ujung Utara. Hal ini menjadi alasan mengapa prioritas pembangunan kesehatan di Kabupaten Bone Bolango periode 2005-2010 diarahkan kepada peningkatan askes pelayanan yang merata terjangkau.
Namun perkembangan jumlah sarana tersebut tidak diikuti dengan perkembangan jumlah sumber daya manusia yang cukup. Hal ini terlihat dari masih kurangnya tenaga kesehatan di puskesmas, dan tidak adanya tenaga kesehatan di poskesdes dan polindes. Poskesdes dan polindes hanya dibuka pada hari-hari tertentu saja. Hal ini tentu saja mempengaruhi cakupan pelayanan.

Sasaran pembangunan kesehatan di Kabupaten Bone Bolango telah mengacu pada Standar Pelayanan Minimal berdasarkan Permenkes 741 tahun 2008 dan kondisi spesifik local di daerah ini. Sebagian sasaran tersebut telah bisa dicapai periode 2005-2009, dan sebagian belum. Oleh karena itu maka sasaran pembangunan kesehatan periode 2010-2015 diarahkan untuk memenuhi target SPM yang belum bisa dicapai.

1.Keadaan Saat ini dan target SPM :
a.Angka kematian Ibu : 326/100.000 KH (Target SPM 150/100.000)
b.Angka kematian bayi : 19/100 KH (Target SPM 35/1000)
c.Angka Gizi Buruk : 1.09 % (Target SPM < 1%)
d.Cakupan kunjungan bayi : 79,98% (Target SPM 100%)



e.Cakupan desa UCI 32% (Target SPM 100%)
f.Cakupan Kunjungan ke-4 (K4) Ibu hamil 66.80% (Target SPM 95%)
g.Cakupan Persalinan Nakes (Linakes) 65,29% (target SPM 90%)
h.Cakupan D/S : 62.86 % (Target SPM 90%)
i.Cakupan Pemberantasan Penyakit Menular
•Cakupan penemuan AFP (accute flaccid paralysis) : 2/100.000 penduduk (Target SPM <5/100.000)
•Cakupan penemuan pneumonia : 17% (Target SPM 100)
•Cakupan penderita diare : 25% (Target SPM 100%)
•Cakupan penderita kusta : 2,4/10.000 penduduk (Target SPM 100%)
•Cakupan penyelidikan epidemioligik :77% (Target SPM 100%)
j.Cakupan masyarakat miskin yang dilayani : 90,17% (Target SPM 100%)
k.Cakupan KK yang memiliki air bersih :60,4% (Target SPM 85%)
l.Cakupan kepemilikan jamban keluarga :53,2% (target SPM 85%)
m.Capaian Pendapatan Asli Daerah Rp. 217.962.400. (69,05%). (Target Rp. 315.606.000).
PROGRAM KERJA 100 HARI :
Berdasarkan situasi derajat kesehatan saat dimana masih tingginya angka kematian ibu, masih rendahnya kepemilikian air bersih dan jamban keluarga serta masih rendahnya cakupan beberapa penyakit menular seperti diare dan pneumonia, yang antara lain disebabkan oleh rendahnya perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), maka prioritas program untuk 100 hari kerja diarahkan kepada percepatan pencapaian sasaran SPM untuk program kesehatan ibu dan anak (KIA) dan peningkatan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dan cakupan penemuan penderita pneumonia dan diare.
Rincian prioritas program 100 kerja ada sebagai berikut :
1.Revitalisasi Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) di desa Siaga dengan kegiatan sebagai berikut :
a.Penandatanganan MOU Rumah Sakit Sayang Ibu antara Dinas Kesehatan dengan RSUD Toto dan RSUD Tombulilato .
b.Penempatan bidan dan perawat langsung ke Poskesdes, Polindes dengan sasaran 49 Poskesdes dan 27 Polindes melalui SK Bupati
c.Sosialisasi Program P4K dan upaya penurunan kematian bayi kepada lintas sector tingkat kabupaten dan kecamatan dan desa siaga.
d.Segera merealisasikan terbitnya SK tentang Satgas Revitalisasi GSI Desa/Kel termasuk rencana kerja Satgas tersebut
e.Membuat data dan peta bumil yang akurat dan up date di semua tingkatan, Kabupaten, Kecamatan dan Desa.
f.Merevitalisasi Upaya Kesehatan Bersumber Masyarakat (UKBM) yang telah ada dan mengorganisir pembentukan UKBM baru khususnya yang mempunyai daya ungkit terhadap penurunan kematian ibu dan bayi.
g.Mengorganisir terbentuknya Forum Kemitraan Dukun Bayi di tingkat Puskesmas dan Poskesdes
h.Menyusun SOP mekanisme dan tata cara rujukan kasus darurat
i.Melaksanakan pencatatan dan pelaporan secara terpadu di semua jenjang pelayanan

2.Sosialisasi Perilaku Hidup Bersih dan Sehat di 3 Tatanan yaitu :
a.Tatanan Rumah Tangga (sasaran Kepala Desa dan Camat)
b.Tatanan Pendidikan dan (sasaran kepala sekolah dan Cab. Dinas PDK)
c.Tatanan Tempat-Tempat Umum (pengelola tempat-tempat umum)
3.Intensifikasi penerimaan pendapatan daerah di sector kesehatan :
a.Sosialisasi Perda tentang Izin Depot Air Minum Isi Ulang bagi pengusaha depot air minum
b.Sosialisasi Perda tentang Industri Ruamah Tangga Pangan (IRTP) bagi pengusaha Industri Rumah Tangga Pangan
c.Sosialisasi Perda tentang Retribusi Izin Apotik dan Toko Obat
d.Sosialisasi Perda tentang Sertifikat Layik Higiene Sanitasi Rumah Makan bagi Pengusaha Rumah Makan dan Restoran
e.Sosialisasi Perda tentang Pemengawasan Kualitas Air bagi Stake Holder.
INDIKATOR KINERJA 100 HARI KERJA
1.Meningkatnya capaian program Kesehatan Ibu dan Anak diatas 30% untuk semua indicator
2.Tersosialisasinya Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) kepada pemangku kepentingan tingkat kabupaten, kecamatan dan desa.
3.Tersosialisasinya peraturan daerah tentang berbagai pungutan retribusi

Senin, 15 Maret 2010

Haruskah Puskesmas Dirubah ?


Tahun kemarin saya mengantar seorang pakar kesehatan masyarakat, Prof. Dr. Widodo J. Pudjirahardjo, MPH, Guru Besar FKM Universitas Airlangga Surabaya, yang diundang oleh dinas kesehatan Bone Bolango untuk memberikan materi tentang pedoman penyususn SOP dibidang pelayanan kesehatan. Dalam perjalanan menuju bandara Jalaluddin, beliau kaget melihat sebuah puskesmas yang telah berubah menjadi Medical Center, yang pelayanannya tidak jauh beda dengan rumah sakit.

Beliau bilang begini “ Rusli apa bahayanya jika sebuah puskesmas dirubah menjadi medical center ? Saya tidak mau menjawab karena saya mau profesor yang jawab sendiri. Tetapi Karena dia mantan dosen saya di S2 Unhas , tentu saja saya paham apa yang menjadi kekagetannya, dan tentu saja saya tahu jawabanyya. Sebab konsep puskesmas dan medical center/ rumah sakit sangat berbeda.

Puskesmas adalah unit pelayanan kesehatan terdepan yang bergerak dalam program-program yang bersifat promotif dan preventif, dengan sedikit kuratif dasar. Medical center.rumah sakit lebih ke penanganan pasien dengan pendekatan kuratif dan perorangan (privat). Dia kemudian menjelaskan dengan ilustrasi sederhana saja :

Beliau bilang begini. Simak dialog dokter pasien berikut : Dokter di medical centre /rumah sakit : ”ibu sakit apa”, Ibu : ” berak2 pak dokter” , dokter lakukan pemeriksaan kemudian memberikan obat , membayar dan lalu pasien pulang. Maka selesailah kegiatan di medical center, paling ada titipan pesan kalau sakit berlanjut datang lagi. Selesailah aktifitas di medical center.

Tapi simak dialoh dokter pasien di puskesmas : ” ibu sakit apa ?, sang ibu menjawab :” berak-berak encer dok”, pertanyaan dokter selanjutnya adalah : ” selain ibu, siapa lagi yanng menderita diare di rumah, atau ditetangga? Ibu minum air dari mana? Apa dimasak dulu? Apa ada WC di rumah ibu? Dan seterusnya. Maka terapi bukan saja kepada ibu, tetapi bagaimana upaya promotif kemudian dilakukan dengan penyuluhan tentang cara memasak air aga bisa diminum, pengadaan WC jika ibu tidak punya WC? Dan akhirnya tergeraklah lintas sektor lain untuk sama sama menangani kasus diare tadi.Yang terjadi adalah tidak adalagi kasus baru yang muncul dimayarakat akibat penularan diare yang cepat dan tentu saja mencegah kematian.

Coba ilustrasikan dengan pasien TBC dengan model ilustrasi diatas ! Maka itulah perbedaan mendasar antara pelayanan di medical center dan puskesmas.

Kira-kira apa yang akan terjadi jika konsep pomotif dan preventif kemudian secara perlahan hilang akibat merubah puskesmas menjadi medical center yang konsep pelayanannya lebih kepa individu dari pada masyarakat. Apalagi jika kemudian puskesmas malah dirubah menjadi rumah sakit ? Maka siap-siaplah menghadapi KLB penyakit dengan eksternalitas yang tinggi, seperti Diare, DBD, TBC, Kusta dan lain-lain. Semoga itu tidak terjadi. (bersambung)

Rabu, 27 Januari 2010

Asimetri Informasi Dalam Pelayanan Kesehatan (habis)


Sifat pelayanan kesehatan yang dikategorikan sebagai essensial goods menyebabkan seseorang untuk terus menerus berusaha memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatannya, berapapun biaya yang dikeluarkannya, sampai dana yang tersedia telah habis (the law of medical money) .

Pada keadaan ini masyarakat akan berusaha menutupi biaya dengan mengeksplorasi semua asset yang dimilki dan jika habis akan diusahakan dari pinjaman ke kerabat atau orang lain. Jika semua telah habis maka mereka akan pasrah dengan jalan mencari pengobatan ke dukun atau pulang paksa.

Kemajuan kecanggihan dunia medis tidaklah murah. Makin canggih sarana, makin mahal untuk beli & pemakaiannya. Makin pintar tenaga medis, makin lama masa kuliahnya & makin besar dana keluar untuk biaya. Dan tentunya untuk mendapatkan jasa layanannya, makin mahal “tarif” yang dibebankan kepada pasien untuk segera sembuh

Fenomena dukun Ponari yang dijubeli oleh masyarakat mungkin saja adalah cerminan ketidak berdayaaan masyarakat dalam mencapai pelayanan kesehatan yang semakin mahal atau ketidakpercayaan masyarakat kepada pelayan kesehatan modern. Jangankan Ponari yang tersohor itu, siapa saja yang kemudian tersebar mampu menyembuhkan pasti akan dicari oleh mereka yang menginginkan kesembuhan. Bagi orang sakit maka kesembuhannlah yang utama yang dicari. Namun ketidaktahuan mereka tentang penyakitnya membuat mereka tidak berdaya dan pasrah menerima tindakan yang dianjurkan atau tidak sekalipun.

Andai saja kita yang punya ilmu pengobatan kedokteran dan sarana yang maju, meski telah keluar biaya besar, sudilah berbesar hati dan bijak untuk tidak selalu ingin menjadi “manusia kaya” atau cukuplah jadi “manusia sederhana dan berhati mulia dengan mengurangi “tarif medis” bahkan “diskon besar” bagi pasien rakyat mayoritas miskin kita, atau mau berbagi informasi untuk mengurangi kesenjangan informasi , niscaya potret makin sengsaranya rakyat mayoritas miskin kita jadi terkurangi. (Habis)

Jumat, 22 Januari 2010

Asimetri Informasi Dalam Pelayanan Kesehatan (bagian ke-2)


Kejadian lain … ketika anda mau membeli sekilo gula di toko, anda pasti sudah tahu harganya Rp. 12.000. Atau anda bisa membaca harganya dalam label yang ditempel pada barang tersebut. Dapat dibayangkan jika penjual menyampaikan ke anda bahwa harga gula Rp. 13.000 ? Hanya ada dua kemungkinan, anda akan marah atau menawarnya.



Tetapi ketika anda mau menebus obat yang diresepkan dokter di suatu apotik, yang oleh petugas (setelah dihitung) harganya Rp. 150.000 (misalnya). Pernahkan anda menawarnya ? Pasti tidak. Karena anda pasti juga tidak tahu obat apa saja yang diberikan dan berapa jumlahnya apalagi harganya ? Saya juga tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi kalau anda menawarnya.

Karena ingin sembuh secepatnya berapapun yang disebutkan pasti akan dibeli, tetapi bagaimana kalau uangnya tidak cukup? Kita semua tahu dan bahkan anda yang membaca tulisan saya ini pernah melakukannya, yaitu dengan menawar jumlah obatnya : “ Mbak boleh ambil setengahnya?” Petugaspun dengan senang hati akan memberikannya. Tetapi tahukah anda hal ini membahayakan, jika yang diambil setengah adalah golongan antibiotic. Antibiotik biasanya harus diminum selama seminggu terus menerus, jika tidak maka kumannya akan menjadi lebih kebal dan ganas.

Dapat dibayangkan jika penyakit yang diderita adalah penyakit menular. Tidak hanya membahayakan dirinya sendiri tetapi orang lain (eksternality) . Itulah sebabnya Obat-obat untuk penyakit menular tidak dilepas kepada mekanisme pasar. Obat-obat dikendalikan dan ditanggung oleh pemerintah. Lalu berapa sebetulnya harga obat yang dijual di apotik ? Hanya pihak pengusaha yang tahu.

Globalisasi menyebabkan berubahnya konsep perumahsakitan dari institusi yang tidak lagi sekedar mengemban misi social tetapi sudah menjadi motor penggerak ekonomi sector real dibidang jasa. Ini menjadikan rumah sakit menjadi industri jasa yang menggiurkan. Banyak pengusaha masuk dalam bisnis rumah sakit. Bahkan banyak rumah sakit swasta yang sahamnya diperdagangkan di bursa saham dalam maupun luar negeri. Akibatnya maksimalisasi keuntungan menjadi wajib bagi direksi kalau tidak ingin dipecat oleh owner-nya. Pemeriksaan dengan alat canggih mungkin saja tidak lagi atas dasar ndikasi medis, tetapi mengejar break event point alat tersebut (supply induced demand).

Seorang keluarga saya pernah menceritakan bahwa hanya untuk keluhan batuk dia diperiksa dengan berbagai macam alat canggih semisal USG atau yang lainnya, di rumah sakit swasta di kota besar. Karena tidak sembuh ia pulang ke Gorontalo. Saya kemudian membawa ke rumah sakit dan meminta merontgen paru-parunya (waktu itu hanya bayar Rp. 40.000). Ternyata terdapat cairan oleh karena infeksi.

Dia kemudian diobati di Puskesmas, karena memang obatnya ada di Puskesmas dan gratis lagi karena di tanggung oleh pemerintah. Masuknya bisnis rumah sakit ke pasar bebas membahayakan kalau masyarakat tidak dijamin dengan asuransi kesehatan, terlebih bagi yang miskin. Konsep rumah sakit BLU sebetulnya merupakan semiprivatisasi rumah sakit yang bisa menjadikan masyarakat kesulitan mengakses pelayanan kesehatan, (Tentang ciri pasar pelayanan kesehatan akan kami sajikan pada tulisan berikut).

Membahas kejadian-kejadian akibat asimetri informasi di dalam pelayanan kesehatan akibat asimetri informasi mungkin akan menjadi tulisan yang tidak berkesudahan. Kadang memilukan tapi juga menggelikan. Lalu siapa yang salah ? Pelayan kesehatan atau masyarakat. Mungkin dua-duanya ? (bersambung)

oleh : rusli a. katili

Rabu, 20 Januari 2010

Asimetri Informasi Dalam Pelayanan Kesehatan


Pernahkan anda membayangkan seorang dokter berkata begini? : “ Bu sabar ya … penyakit ibu sudah kronis, jadi tidak akan sembuh lagi” . Sang ibu menjawab : “ jadi saya tidak perlu dirawat di rumah sakit dokter “. Sang dokter berlalu begitu saja. Mungkin anda tidak percaya bahwa dialog seperti pernah terjadi dalam pelayanan kesehatan. “ Ah … masak iya? “ .

Sebuah anekdot lain yang saya kutip di internet begini, seorang ibu menjagai anaknya yang sudah koma beberapa hari. Dengan cemas dia bertanya bertanya kepada dokter yang merawatnya: “ Bagaimana anak saya ?”. Dokter menjawab: “ ibu anak ibu sudah tidak bisa saya selamatkan, dan sekarang dibawa pulang saja, karena sudah meninggal “. Sang anak karena merasa belum meninggal dengan suara lemah lirih menjawab : “ Dokter saya belum mati dokter “. Sang ibu yang bodoh dan berasal dari desa, dan tahu bahwa dokter itu serba tahu segala-galanya (emang iya?) menghardik anak : “ Huss kamu diam saja dokter lebih tahu dari kamu”.

Cerita diatas adalah ilustrasi dari kejadian-kejadian akibat asimetri informasi. Asimetri informasi dalam pelayanan kesehatan adalah disparitas informasi dan pengetahuan yang lebar antara pasien dan dokter. Umumnya, pasien tidak paham dengan dunia medis. Dan dokter lebih tahu segalanya tentang medis. Disparitas ini dapat menimbulkan moral hazzart dalam pelayanan kesehatan. Karena segala upaya penyembuhan, baik tindakan medis maupun pemberian obat, diserahkan sepenuhnya kepada dokter. Pasien pun mungkin tidak mengerti mengapa ada kelas pelayanan yang berbeda di rumah sakit? Mengapa ada kelas III, II, I, lalu VIP bahkan VVIP?

Lalu apa beda layanan kelas tersebut? Seorang teman saya pernah dirawat di satu rumah sakit, selama dirawat dia tidak pernah di periksa dokter ahli. Dia lalu bertanya kepada petugas, jawab petugas bahwa dokter ahli hanya visite di kelas VIP ! Saya sontak kaget juga karena, bukankah sumpah dokter bunyinya begini ” Dalam menunaikan kewajiban terhadap penderita, saya berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak terpengaruh oleh pertimbangan Keagamaan, Kebangsaan, Kesukuan, Politik Kepartaian atau Kedudukan Sosial ” Kelasifikasi di rumah sakit bukankah merupakan pembedaan terhadap kedudukan sosial ? Oh .. mungkin kelas yang saya tempati adalah khusus kelas orang miskin (semacam jamkesmas atau jamkesda). Sedih juga saya mendengarnya.

Undang Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Rumah Sakit, tidak membedakan lagi kelasifikasi rumah sakit. Semua kelasnya sama. Penulis pernah mengunjungi Rumah Sakit University Kebangsaan Malaysia, HUKM. Di sana hanya dikenal Wad. Setiap wad terdiri atas 6 tempat tidur. Pelayanan sama, semua dilayani oleh dokter umum dan spesialist yang sama. Wah .. enak ya kalau UU Rumah Sakit bisa segera diberlakukan di Indonesia. Biaya pelayanan kesehatan menjadi terjangkau. Lalu bagaimana dengan pasien dari golongan kaya atau pejabat misalnya ? Rumah Sakit membentuk unit bisnis tersendiri yang dikelola dengan manajemen tersendiri. Unit bisnis ini masih dalam satu are dengan rumah sakit induk, sehingga dokter ahli tidak perlu keliling kota untuk visite di rumah sakit lain. Wah .. enak ya .. pagi pagi pasien sudah disapa dokternya. Bersambung ...

Minggu, 03 Januari 2010

TFC BONE BOLANGO SEGERA MILIKI GEDUNG SENDIRI

Dalam waktu dekat Dinas Kesehatan Kabupaten Bone Bolango akan segera mengoperasikan gedung TFC (Panti Pemulihan Gizi) sendiri yang dibangun di Kompleks Puskesmas Tilong Kabila. Gedung yang dibangun dengan dana Hibah DHS 2 tersebut telah selesai pembangunannya dan akan segera dimanfaatkan. Seperti diketahui TFC Bone Bolango merupakan Unit Pelaksana Tehnis Dinas Kesehatan yang statusnya setara dengan eselon IV/a.

Dengan status sebagai UPT maka pengelolaannya lebih mandiri oleh karena mempunyai struktur pengelolaan yang terpisah dan mempunyai anggaaran tersendiri pula. Tahun ini TFC akan dilengkapi dengan mobil operasional sendiri.

Dengan akan beroperasinya gedung baru, maka penanganan balita gizi buruk akan lebih efektif. Dengan dukungan kenderaan operasional dan dana yang memadai maka diharapkan balita yang teridentifikasi menderita gizi buruk akan langsung dijemput untuk dirawat. Penjemputan dan perawatan selama di TFC digratiskan dan akan dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah daerah melalui dana Jamkesda.

Sebagaimana diketahui tahun ini pemerintah daerah penganggarkan dalam APBD sejumlah 2,5 Milyar rupiah dana untuk program Jamkesda yang MOU-nya telah ditandatangani antara pemerintah daerah dan PT Askes.

MOU JAMKESDA BONE BOLANGO 2010 DITANDA TANGANI

Pemerintah Kabupaten Bone Bolango dan PT. Askes, Sabtu 2 Januari 2010 melaksanakan Penandatangan MOU Jamkesda Bone Bolango 2010 . Penandatanganan dilakukan oleh Kepala Dinas Kesehatan, Dr. Rusli A. Katili, MARS, atas nama Pemerintah Kabupaten Bone Bolango dan Direktur PT. Askes Cabang Gorontalo, Dr. Burhanuddi Umar, disaksikan oleh Bupati Bone Bolango Drs. Ismet Mile, MM, Direktur RS Toto, Drg, Dedi Cono, Mkes dan Direktur RS Tombulilato, Dr. Reni Ibrahim.

Dengan ditandatanganinya MOU tersebut maka Jamkesda Bone Bolango 2010 resmi dilaksanakan, dan merupakan kelanjutan dari program yang sama tahun 2009. Hanya saja untuk tahun 2010 ada penambahan jumlah peserta dari 42.500 peserta menjadi 52.500 atau ketambahan 10.000. Penambahan ini merupakan langkah untuk menuju Kepesertaan Semesta dalam penjaminan kesehatan yang dicanangkan oleh Menteri Kesehatan.

Direktur PT. Askes dalam sambutannya menyampaikan bahwa Kabupaten Bone Bolango merupakan kabupaten yang terbesar dalam kepesertaan Jamkesda di Propinsi Gorontalo, setelah Gorut dan Pohuwato.

Bupati Bone Bolango dalam sambutannya menyampaikan bahwa pemerintah daerah akan terus memperhatikan kepentingan masyarakat terutama dalam bidang kesehatan. Banyak hal yang telah dilakukan. Disamping perluasan akses pelayanan kesehatan dengan penambahan infrastruktur seperti Puskesmas yang saat ini telah mencapai 19 buah, penambahan tenaga kesehatan, kenderaan operasional, pemerintah juga akan terus meningkatkan anggaran kesehatan dengan peningkatan biaya operasional Puskesmas dan rumah sakit. Tahun 2010 pemerintah daerah akan segera membangun Puskesmas Pinogu dan Puskesmas Ulantha di kompleks perkantoran pemerintah daerah serta penambahan tenaga kesehatan. Khusus untuk tenaga kesehatan yang bekerja di daerah Pinogu akan diberikan tunjangan keterpencilan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Tahun 2010 pemerintah daerah juga akan segera meresmikan beroperasinya Terapeutic Feeding Centre (Panti Pemulihan Gizi) yang berlokasi di Kecamatan Tilongkabila.

Dengan semua ini maka derajat kesehatan masyarakat secara signifikan akan meningkat.

Penandatangan MOU dilanjutkan dengan penyerahah secara simbolis Dana operasional Desa Siaga, Insentif PPKBD dan Sub PPKBD yang dilanjutkan dengan kegiatan senam bersama yang dihadiri oleh Pejabat Eselon 2 dan 3 pemkab Bone Bolango, seluruh kader kesehatan se Kabupaten Bone Bolango, Kepala Puskesmas undangan lainnya.