Selasa, 03 April 2012

Anjing, Tongkat, dan Sufi

Pada suatu hari seseoarang yang berpakaian sufi berjalan-jalan melintasi kota. Tiba-tiba ia melihat seekor anjing di jalan. Anjing tersebut bukannya menjauh, justru mendekat dan hampir menjilati pakaian sang sufi. Demi melihat hal najis akan mengotori pakaiannya, sang sufi segera mengeluarkan tongkat dan memukuli anjing itu hingga sang anjing menjauh.
Sambil mendengking dan melolong kesakitan, anjing tadi berlari ke arah Abu Said al-Kharraz, sang guru tertinggi di kota tersebut. Anjing tersebut menjatuhkan diri di dekat kaki Abu Said al-Kharraz sambil memohon keadilan karena dipukuli dengan membabi buta oleh sang sufi.
Abu Said segera mempertemukan anjing dan sang sufi. Lalu, Abu Said berkata kepada sang sufi, “Saudara sufi yang baik, mengapa engkau memperlakukan binatang ini dengan cara kasar? Lihatlah akibat perbuatanmu yang seenaknya tadi. Anjing ini terluka hebat.”
Sang sufi menjawab, “Wahai, Abu Said guruku tercinta. Pukulanku dengan tongkat tadi sama sekali bukan salahku. Malah, itu salahnya. Saya tidak memukulnya tanpa alasan. Saya memukul anjing ini karena ia mengotori jubah sufi ini dengan liurnya.”
Anjing tetap saja mengeluh atas perlakuan kejam sang sufi.
Abu Said kemudian berbicara pada anjing itu, “Dari pada menunggu ganti rugi di akhirat, lebih baik sekarang memintalah sesuatu yang sesuai dengan ganti rugi sakitmu tadi.”
Anjing tadi berkata, “Wahai, guru yang agung, bukan tanpa alasan saya mendekati sang sufi. Ketika saya melihat orang ini berpakaian sufi, saya berpikir bahwa ia tidak akan menyakiti saya. Bahkan, saya mengira ia akan melindungi saya sesuai sabda Nabi Saw, ‘sungguh, ada pahala atas semua tindakan baik kepada binatang.’ “
“Seandainya saya melihat orang ini memakai pakaian yang biasa, bukan para sufi yang mestinya mencintai sesama makhluk Allah tanpa kecuali, pasti saya tidak akan mendekatinya; saya biarkan ia berlalu seperti kebanyakan orang. Kesalahan utama saya terletak pada anggapan bahwa pakaian sufi itu menandakan keselamatan. Jadi, apabila Guru yang Agung ingin menghukumnya, rampaslah pakaian sufi tadi. Campakan dia dari pakaian kaum terpilih yang mencari kebenaran.”
Demi mendengar ucapan anjing tadi, sang sufi yang khawatir pakainnya terkena air liur anjing hanya bias tertunduk malu. Ternyata, anjing tersebut sudah berada dalam tahap melakukan tarekat (jalan), bahkan mungkin lebih tinggi daripada ia yang sangat peduli pada embel-embel pakaian sufi tanpa menyadari bahwa di balik pakaian yang suci, tersimpan makna terdalam agar manusia setidaknya sesuci pakaian yang dikenakannya, atau bahkan lebih suci dari pakaian yang dikenakannya.
Hikmah Kisah “Anjing, Tongkat, dan Sufi”
Umat beragama sering merasa hanya karena mereka termasuk dalam golongan pemeluk agama (dalam kisah ini dilambangkan memakai pakaian sufi), maka mereka akan selamat dari api neraka. Padahal, belum tentu demikian. Tidak ada jaminan umat beragama akan masuk surga. Selama dalam ibadah mereka masih banyak hal yang berkait dengan kekafiran, atas dasar apa Allah akan memasukkan mereka ke surga padahal surga hanya diperuntukkan bagi mereka yang mencintai Allah tanpa halangan hal-hal lain? Sabda Nabi Muhammad Saw, “Barangsiapa yang memiliki kebanggaan diri setitik saja tidak akan masuk surga,” dan, “Kebanggaan akan membuat manusia berada dalam kehinaan.”
Jika dikaitkan dengan masalah Akhir Zaman, betapa mengerikannya yang akan diderita umat Islam yang tidak sadar mereka tengah menggiring diri ke dalam kesalahan besar. Misalnya, hanya karena sudah memiliki Islam sebagai agama paling sempurna, apakah kita yakin bahwa Al-Mahdi, utusan Allah berikutnya, akan menyelamatkan kita dari fitnah terbesar Dajal?
Selama ini kita membayangkan Dajal sebagai seorang kafir tulen; siapapun orang Islam yang melihatnya, meskipun tidak bisa baca-tulis, pasti mengetahui bahwa Dajal adalah kafir. Barangkali tafsiran ini disebabkan oleh hadits Nabi yang berbunyi, “Dan di antara dua matanya (di dahi Dajal), tertulis ‘Kafir” (HR Bukhari). Adakah jaminan bahwa kita yang mengaku muslim ini benar-benar muslim sejati? Bukankah (seperti yang dijelaskan dalam kisah-kisah sebelumnya) selama kita masih memiliki keakuan, kita belum menjadi muslim sejati?
Layaknya jika kita memahami bahwa Dajal adalah seorang pemfitnah ulung. Dajal membuat sesuatu yang hitam-putih menjadi “abu-abu”, Dajal membuat yang haq menjadi yang batil karena sejak Allah SWT menciptakan Nabi Adam as sampai hari kiamat nanti, tidak ada satu ujian pun yang lebih dahsyat daripada Dajal. Bisa jadi Dajal akan menyamarkan diri sebagai AL-Mahdi, atau berpenampilan seperti layaknya umat beragama biasa (seperti si “sufi” yang memakai pakaian sufi dan mengaku sebagai sufi hanya karena pakaiannya semata), mengaku membawa kebenaran hakiki sehingga semua muslim (atau umat beragama) mempercayainya.
Bila kita terbiasa menipu diri dengan mengaku muslim hanya karena rajin beribadah, rajin beramal, tanpa sedikitpun melakukan koreksi diri, bukankah tidak mungkin kita akan tertipu pula oleh Dajal? Lalu, seandainya Al-Mahdi tidak datang dari Arab atau tidak tampil seperti kebanyakan umat beragama (seperti anjing dalam kisah ini) apakah kita tidak akan menampiknya hanya karena keadaannya tidak meyakinkan?
Dikutip dari : Cerita Sufi