Jumat, 22 Januari 2010

Asimetri Informasi Dalam Pelayanan Kesehatan (bagian ke-2)


Kejadian lain … ketika anda mau membeli sekilo gula di toko, anda pasti sudah tahu harganya Rp. 12.000. Atau anda bisa membaca harganya dalam label yang ditempel pada barang tersebut. Dapat dibayangkan jika penjual menyampaikan ke anda bahwa harga gula Rp. 13.000 ? Hanya ada dua kemungkinan, anda akan marah atau menawarnya.



Tetapi ketika anda mau menebus obat yang diresepkan dokter di suatu apotik, yang oleh petugas (setelah dihitung) harganya Rp. 150.000 (misalnya). Pernahkan anda menawarnya ? Pasti tidak. Karena anda pasti juga tidak tahu obat apa saja yang diberikan dan berapa jumlahnya apalagi harganya ? Saya juga tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi kalau anda menawarnya.

Karena ingin sembuh secepatnya berapapun yang disebutkan pasti akan dibeli, tetapi bagaimana kalau uangnya tidak cukup? Kita semua tahu dan bahkan anda yang membaca tulisan saya ini pernah melakukannya, yaitu dengan menawar jumlah obatnya : “ Mbak boleh ambil setengahnya?” Petugaspun dengan senang hati akan memberikannya. Tetapi tahukah anda hal ini membahayakan, jika yang diambil setengah adalah golongan antibiotic. Antibiotik biasanya harus diminum selama seminggu terus menerus, jika tidak maka kumannya akan menjadi lebih kebal dan ganas.

Dapat dibayangkan jika penyakit yang diderita adalah penyakit menular. Tidak hanya membahayakan dirinya sendiri tetapi orang lain (eksternality) . Itulah sebabnya Obat-obat untuk penyakit menular tidak dilepas kepada mekanisme pasar. Obat-obat dikendalikan dan ditanggung oleh pemerintah. Lalu berapa sebetulnya harga obat yang dijual di apotik ? Hanya pihak pengusaha yang tahu.

Globalisasi menyebabkan berubahnya konsep perumahsakitan dari institusi yang tidak lagi sekedar mengemban misi social tetapi sudah menjadi motor penggerak ekonomi sector real dibidang jasa. Ini menjadikan rumah sakit menjadi industri jasa yang menggiurkan. Banyak pengusaha masuk dalam bisnis rumah sakit. Bahkan banyak rumah sakit swasta yang sahamnya diperdagangkan di bursa saham dalam maupun luar negeri. Akibatnya maksimalisasi keuntungan menjadi wajib bagi direksi kalau tidak ingin dipecat oleh owner-nya. Pemeriksaan dengan alat canggih mungkin saja tidak lagi atas dasar ndikasi medis, tetapi mengejar break event point alat tersebut (supply induced demand).

Seorang keluarga saya pernah menceritakan bahwa hanya untuk keluhan batuk dia diperiksa dengan berbagai macam alat canggih semisal USG atau yang lainnya, di rumah sakit swasta di kota besar. Karena tidak sembuh ia pulang ke Gorontalo. Saya kemudian membawa ke rumah sakit dan meminta merontgen paru-parunya (waktu itu hanya bayar Rp. 40.000). Ternyata terdapat cairan oleh karena infeksi.

Dia kemudian diobati di Puskesmas, karena memang obatnya ada di Puskesmas dan gratis lagi karena di tanggung oleh pemerintah. Masuknya bisnis rumah sakit ke pasar bebas membahayakan kalau masyarakat tidak dijamin dengan asuransi kesehatan, terlebih bagi yang miskin. Konsep rumah sakit BLU sebetulnya merupakan semiprivatisasi rumah sakit yang bisa menjadikan masyarakat kesulitan mengakses pelayanan kesehatan, (Tentang ciri pasar pelayanan kesehatan akan kami sajikan pada tulisan berikut).

Membahas kejadian-kejadian akibat asimetri informasi di dalam pelayanan kesehatan akibat asimetri informasi mungkin akan menjadi tulisan yang tidak berkesudahan. Kadang memilukan tapi juga menggelikan. Lalu siapa yang salah ? Pelayan kesehatan atau masyarakat. Mungkin dua-duanya ? (bersambung)

oleh : rusli a. katili

Tidak ada komentar: