Rabu, 20 Januari 2010

Asimetri Informasi Dalam Pelayanan Kesehatan


Pernahkan anda membayangkan seorang dokter berkata begini? : “ Bu sabar ya … penyakit ibu sudah kronis, jadi tidak akan sembuh lagi” . Sang ibu menjawab : “ jadi saya tidak perlu dirawat di rumah sakit dokter “. Sang dokter berlalu begitu saja. Mungkin anda tidak percaya bahwa dialog seperti pernah terjadi dalam pelayanan kesehatan. “ Ah … masak iya? “ .

Sebuah anekdot lain yang saya kutip di internet begini, seorang ibu menjagai anaknya yang sudah koma beberapa hari. Dengan cemas dia bertanya bertanya kepada dokter yang merawatnya: “ Bagaimana anak saya ?”. Dokter menjawab: “ ibu anak ibu sudah tidak bisa saya selamatkan, dan sekarang dibawa pulang saja, karena sudah meninggal “. Sang anak karena merasa belum meninggal dengan suara lemah lirih menjawab : “ Dokter saya belum mati dokter “. Sang ibu yang bodoh dan berasal dari desa, dan tahu bahwa dokter itu serba tahu segala-galanya (emang iya?) menghardik anak : “ Huss kamu diam saja dokter lebih tahu dari kamu”.

Cerita diatas adalah ilustrasi dari kejadian-kejadian akibat asimetri informasi. Asimetri informasi dalam pelayanan kesehatan adalah disparitas informasi dan pengetahuan yang lebar antara pasien dan dokter. Umumnya, pasien tidak paham dengan dunia medis. Dan dokter lebih tahu segalanya tentang medis. Disparitas ini dapat menimbulkan moral hazzart dalam pelayanan kesehatan. Karena segala upaya penyembuhan, baik tindakan medis maupun pemberian obat, diserahkan sepenuhnya kepada dokter. Pasien pun mungkin tidak mengerti mengapa ada kelas pelayanan yang berbeda di rumah sakit? Mengapa ada kelas III, II, I, lalu VIP bahkan VVIP?

Lalu apa beda layanan kelas tersebut? Seorang teman saya pernah dirawat di satu rumah sakit, selama dirawat dia tidak pernah di periksa dokter ahli. Dia lalu bertanya kepada petugas, jawab petugas bahwa dokter ahli hanya visite di kelas VIP ! Saya sontak kaget juga karena, bukankah sumpah dokter bunyinya begini ” Dalam menunaikan kewajiban terhadap penderita, saya berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak terpengaruh oleh pertimbangan Keagamaan, Kebangsaan, Kesukuan, Politik Kepartaian atau Kedudukan Sosial ” Kelasifikasi di rumah sakit bukankah merupakan pembedaan terhadap kedudukan sosial ? Oh .. mungkin kelas yang saya tempati adalah khusus kelas orang miskin (semacam jamkesmas atau jamkesda). Sedih juga saya mendengarnya.

Undang Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Rumah Sakit, tidak membedakan lagi kelasifikasi rumah sakit. Semua kelasnya sama. Penulis pernah mengunjungi Rumah Sakit University Kebangsaan Malaysia, HUKM. Di sana hanya dikenal Wad. Setiap wad terdiri atas 6 tempat tidur. Pelayanan sama, semua dilayani oleh dokter umum dan spesialist yang sama. Wah .. enak ya kalau UU Rumah Sakit bisa segera diberlakukan di Indonesia. Biaya pelayanan kesehatan menjadi terjangkau. Lalu bagaimana dengan pasien dari golongan kaya atau pejabat misalnya ? Rumah Sakit membentuk unit bisnis tersendiri yang dikelola dengan manajemen tersendiri. Unit bisnis ini masih dalam satu are dengan rumah sakit induk, sehingga dokter ahli tidak perlu keliling kota untuk visite di rumah sakit lain. Wah .. enak ya .. pagi pagi pasien sudah disapa dokternya. Bersambung ...

Tidak ada komentar: