Jumat, 28 Maret 2008

Paradigma Penanganan HIV/AIDS di Gorontalo Harus Dirubah !!


Ada yang aneh dalam penanganan HIV/AIDS di Propinsi Gorontalo. Dengan dalih hak azazi manusia, maka pihak-pihak yang terlibat didalamnya terutama yang memiliki data cenderung menyembunyikan data penderita yang mereka ketahui. Bahkan yang lebih ironis kepada aparat kesehatan yang notabene adalah pekerja public health pun data tersebut tidak diberikan. Apa yang terjadi ? Terpaksa kita mencari data sendiri-sendiri !

Dalam sosialisasi penanggulangan HIV/AIDS yang dilakukan baru-baru ini, seorang Kepala Dinas Kesehatan pun melakukan protes karena tidak diberikan data. “ Bagaimana mungkin kita bisa mencegah orang sehat agar tidak menjadi sakit jika kita tidak tahu berapa besar masalah penyakit tersebut di wilayah kita ? “ semburnya dalam sosialisasi yang dihadiri oleh ketua KPA pusat dan KPA Gorontalo

Penanganan Terkesan Sebatas 'Proyek'

Upaya untuk menangani kasus HIV/AIDS selama ini memang terus dilakukan. Namun demikian harus diakui bahwa berbagai penanganan tersebut ternyata belum juga menampakkan hasil yang menggembirakan.

Dua kesalahan yang membuat program penanggulangan HIV/AIDS kurang menghasilkan adalah karena:

Pertama, program penanganan HIV/AIDS masih diletakkan dalam kerangka proyek dan tidak berorientasi kepada prinsip-prinsip " public health approach " , sehingga beberapa kegiatan dan program yang dikonsepsikan untuk mengatasi HIV/AIDS tidak mencapai sasaran yang diinginkan. Logika proyek adalah bagaimana meraih keuntungan dari kegiatan yang dilakukan.

Bila ini dibiarkan maka bukan tidak mungkin kalau masalah HIV/AIDS akan terus ada dan mungkin akan dirawat agar bisa mengucurkan dana.

Kenyataan ini tentu menjadi ironi, yakni di satu sisi HIV/AIDS merupakan ancaman nyata bagi kehidupan kita, sementara pada sisi lain penanganan terhadap masalah tersebut masih sebatas formalitas bahkan lebih tragis lagi masih dianggap sebagai proyek untuk mencari dana.

Kedua, secara faktual harus dicatat bahwa ketidakberhasilan program penanganan HIV/AIDS ini bisa jadi karena pelibatan remaja dalam upaya tersebut relatif kecil. Kita kerap meletakkan remaja sebagai objek yang bermasalah dan jarang melibatkannya dalam mengatasi masalah mereka sendiri. Cara berpikir semacam itu sudah sepatutnya direvisi. Remaja juga harus diajak ikut serta untuk terlibat dalam mengatasi persoalan yang mengancam generasinya. Pelibatan remaja diharapkan akan lebih memudahkan untuk masuk ke dunia mereka dan tahu keinginan mereka.

Peran LSM tentu saja sangat diharapkan untuk mendekatan social dalam hal pendampingan agar para penderita meresa lebih siap menerima keadaannya, tetapi keterbatasan jaringan LSM yang ada menyebabkan focus menanganan hanya berorientasi pada penderita. Padahal masalah yang dihadapi adalah bagaimana melakukan investigasi dan memutuskan mata rantai penularan agar agar yang sehat tidak terjangkiti oleh mereka baik yang sudah terdeteksi maupun mereka yang belum terdeteksi tetapi menjadi sumber penularan ? (www.aidsindonesia.org.id)

Ini memerlukan perhatian dari semua pihak sebab masing-masing akan berkontribusi pada bidangnya masing-masing. Jajaran kesehatan melakukan upaya pencegahan dalan lingkup tugas pokok dan fungsinya yaitu : penyuluhan, sosialisasi pencegahan penularan melalui penggunaan alat-alat kesehatan yang “ single used only “saat memberikan pelayanan kesehatan, screening darah saat melakukan kegiatan transfusi oleh PMI/UTD tidak bisa hanya mengandalkan kecanggihan alat screening yang dimiliki, sebab seorang penderita HIV/AIDS dikenal “ windows periode “ dimana saat itu tidak terdeteksi melalui screening tetapi penderita sudah menularkan. Dalam keadaan ini informasi dari pihak lain harus dibutuhkan untuk menentukan yang bersangkutan adalah orang-orang yang beresiko tinggi. Pncarian tentang mata rantai penularan penting untuk kita bisa memutuskannya.

Misalnya, dimana sumber penularannya, siapa saja yang sudah berhubungan dengannya, kalau dia sakit kemana tampat berobatnya (perlu penelusuran terhadap medical recordnya di semua instansi pelayanan kesehatan, apakah yang bersangkutan aktif di kegiatan-kegiatan sosial apa saja, bagaimana isterinya, anak-anaknya, saat dilakukan khitanan bagi anak-anaknya dikhitan dimana, pokoknya banyaklah).Itulah sebabnya dalam HIV/AIDS dikenal dengan istilah "ice mount phenomenom" atau fenomena gunung es. Yang kita temukan hanya satu tetapi yanng belum ditemukan banyak tersembunyi di "dasar laut".

Pihak Departemen Agama melalui pendekatan keagamaan, sudah saatnya pada dai kita diberkan pengetahuan yang cukup tentang bahaya HIV/AIDS. Pihak Departemen Pendidikan melalui pendekatan di sekolah. Sudah saatnya pendidikan kesehatan reproduksi remaja harus dimasukkan kedalam kurikulum pendidikan kita, jika tidak anak seklah kita akan mencari tahu sendiri tentang masalah seks dari sumber-sumber yang tidak bertanggung jawab.

Pemerintah daerah pun perannya diperlukan dalam membuat berbagai regulasi penanganan HIV.AIDS di daerahnya disamping regulasi yang sudah ada. Dimana-mana jabatan ketua KPA banyak yang dipegang oleh para pejabat di daerah, mulai dari wakil Gubernur, wakil Bupati. Ini sangat menguntungkan untuk mendapatkan dukungan politik (political will).

Tetapi semua ini tidak ada artinya kalau masing-masing komponen tersebu jalan sendiri-sendiri apalagi tidak dibekali data. Sehingga menanganan HIV/AIDS selama ini terkesan berorientasi pada proyek yang sifatnya sektoral saja.

Ibarat pemain sepak bola, seharusnya masih dilakukan sekali umpan ke pemain yang sudah ada di depan gawang, tetapi karena ada iming-iming bonus yang besar bagi pemain yang memasukkan goal , maka walaupun posisinya kurang menguntungkan bola tersebut di shoot dari belakang, akhirnya : yahh tidak masuk-masuk.

Sumbang saran : rusli katili {pemerhati kesehatan masyarakat

Tidak ada komentar: