Sabtu, 31 Januari 2015

PRINSIP GOOD CORPORATE GOVERNANCE (habis)

Berdasarkan Pedoman Pelaksanaan Good Corporate Governance yang dikeluarkan Komite Nasional Kebijakan Governance tahun 2006 bahwa setiap perusahaan harus memastikan asas GCG diterapkan pada setiap aspek bisnis dan di semua jajaran perusahaan. Asas GCG yaitu transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi serta kewajaran dan kesetaraan diperlukan untuk mencapai kesinambungan usaha (sustainability) perusahaan dengan memperhatikan pemangku kepentingan (stakeholders). 4.1. Transparansi (Transparency) Prinsip Dasar Untuk menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur dan pemangku kepentingan lainnya. Pedoman Pokok Pelaksanaan a.Perusahaan harus menyediakan informasi secara tepat waktu, memadai, jelas,akurat dan dapat diperbandingkan serta mudah diakses oleh pemangku kepentingan sesuai dengan haknya. b.Informasi yang harus diungkapkan meliputi, tetapi tidak terbatas pada, visi, misi, sasaran usaha dan strategi perusahaan, kondisi keuangan, susunan dan kompensasi pengurus, pemegang saham pengendali, kepemilikan saham oleh anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris beserta anggota keluarganya dalam perusahaan dan perusahaan lainnya, sistem manajemen risiko, sistem pengawasan dan pengendalian internal, sistem dan pelaksanaan GCG serta tingkat kepatuhannya, dan kejadian penting yang dapat mempengaruhi kondisi perusahaan. c.Prinsip keterbukaan yang dianut oleh perusahaan tidak mengurangi kewajiban untuk memenuhi ketentuan kerahasiaan perusahaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, rahasia jabatan, dan hak-hak pribadi. d.Kebijakan perusahaan harus tertulis dan secara proporsional dikomunikasikan kepada pemangku kepentingan. 4.2. Akuntabilitas (Accountability) Prinsip Dasar Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan. Pedoman Pokok Pelaksanaan a.Perusahaan harus menetapkan rincian tugas dan tanggung jawab masing-masing organ perusahaan dan semua karyawan secara jelas dan selaras dengan visi, misi, nilai-nilai perusahaan (corporate values), dan strategi perusahaan. b.Perusahaan harus meyakini bahwa semua organ perusahaan dan semua karyawan mempunyai kemampuan sesuai dengan tugas, tanggung jawab, dan perannya dalam pelaksanaan GCG. c.Perusahaan harus memastikan adanya sistem pengendalian internal yang efektif dalam pengelolaan perusahaan. d.Perusahaan harus memiliki ukuran kinerja untuk semua jajaran perusahaan yang konsisten dengan sasaran usaha perusahaan, serta memiliki sistem penghargaan dan sanksi (reward and punishment system). e.Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, setiap organ perusahaan dan semua karyawan harus berpegang pada etika bisnis dan pedoman perilaku (code of conduct) yang telah disepakati. 4.3. Responsibilitas (Responsibility) Prinsip Dasar Perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen. Pedoman Pokok Pelaksanaan a.Organ perusahaan harus berpegang pada prinsip kehati-hatian dan memastikan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, anggaran dasar dan peraturan perusahaan (by-laws). b.Perusahaan harus melaksanakan tanggung jawab sosial dengan antara lain peduli terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama di sekitar perusahaan dengan membuat perencanaan dan pelaksanaan yang memadai. 4.4Independensi (Independency) Prinsip Dasar Untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG, perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain. Pedoman Pokok Pelaksanaan a.Masing-masing organ perusahaan harus menghindari terjadinya dominasi oleh pihak manapun, tidak terpengaruh oleh kepentingan tertentu, bebas dari benturan kepentingan (conflict of interest) dan dari segala pengaruh atau tekanan, sehingga pengambilan keputusan dapat dilakukan secara obyektif. b.Masing-masing organ perusahaan harus melaksanakan fungsi dan tugasnya sesuai dengan anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan, tidak saling mendominasi dan atau melempar tanggung jawab antara satu dengan yang lain. 4.5. Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness) Prinsip Dasar Dalam melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan. Pedoman Pokok Pelaksanaan a.Perusahaan harus memberikan kesempatan kepada pemangku kepentingan untuk memberikan masukan dan menyampaikan pendapat bagi kepentingan perusahaan serta membuka akses terhadap informasi sesuai dengan prinsip transparansi dalam lingkup kedudukan masing-masing. b.Perusahaan harus memberikan perlakuan yang setara dan wajar kepada pemangku kepentingan sesuai dengan manfaat dan kontribusi yang diberikan kepada perusahaan. c.Perusahaan harus memberikan kesempatan yang sama dalam penerimaan karyawan, berkarir dan melaksanakan tugasnya secara profesional tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, gender, dan kondisi fisik. Dikutip dari KNKG 2006)

Senin, 26 Januari 2015

Good Corporate Governance adalah Ciri NPM (4)

Kemunculan Good Corporate Governance karena berbagai skandal perusahaan di seluruh dunia termasuk Enron, WorldCom, dan Royal Ahold Marconi telah mengguncang kepercayaan dari pemegang saham (Mamun et al, 2012). Hal ini disebabkan terjadinya pemisahan antara kepemilikan (principal) dan manajemen perusahaan (agency). Pemisahan ini didasarkan pada agency theory dimana manajemen cenderung akan meningkatkan keuntungan pribadinya daripada tujuan perusahaan dan keuntungan pesaham. Secara umum, teori agensi adalah terjadinya pemisahan antara fungsi kebijakan (regulator) dengan fungsi pelayanan publik dalam struktur organisasi pemerintah. Fungsi pertama dilakukan oleh kantor pusat kebijakan sedangkan yang kedua adalah kantor-kantor yang melaksanakan tugas pelayanan. Menurut teori dimaksud, idealnya Menteri/Pimpinan Lembaga memberi mandat dalam sebuah bentuk kontrak kinerja kepada kepala eksekutif badan pelayanan umum dalam melaksanakan satu program atau beberapa program sejenis yang akan dikelola secara professional. Sementara good corporate governance adalah tata kelola perusahaan yang baik yang menjamin terpenuhinya hak-hak stake holder dan share holder melalui peningkatan kinerja perusahaan melalui prinsip-prinsip disagregasi, otonomi/semi otonomi, control dan akuntabilitas, agensi, operasional bussines like. Di Indonesia sebagaimana juga di negara-negara Eropa, penerapan konsep agensifikasi dilakukan dengan kebijakan penerapan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PPKBLU). Hal ini berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara. Selanjutnya untuk penjabarannya Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 32 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. Pengertian BLU diatur dalam Pasal 1 angka 23 UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yaitu “Instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas”. Pengertian ini kemudian diadopsi kembali dalam peraturan pelaksanaannya yaitu dalam Pasal 1 angka (1) PP Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. BLU adalah suatu badan pemerintah yang tidak bertujuan mencari laba, meningkatkan kualitas pelayanan publik, dan memberikan otonomi atau fleksibilitas. Selanjutnya pasal 1 ayat angka (2) pola pengelolaan keuangan badan layanan umum adalah pola pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Penerapan agensifikasi memerlukan perubahan minset dari seluruh karyawannya agar memiliki pola pikir yang selalu dapat beradaptasi dengan perubahan, berani mengambil resiko dan mampu meningkatkan inovasi namun tetap dapat mengedepankan prinsip efisiensi dan efektifitas. (Riyanto A, 2013). Oleh karena itu dibutuhkan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) dalam mengelola institusi pelayanan publik termasuk rumah sakit. Pengelolaan rumah sakit dengan PPKBLU yang menerapkan prinsip pengelolaan yang business like, dimana rumah sakit pemerintah dikelola layaknya sebuah lembaga bisnis. Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor 01/MBU/2011 Tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang baik (Good Corporate Governance) disebutkan bahwa Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance), yang selanjutnya disebut GCG adalah prinsip-prinsip yang mendasari suatu proses dan mekanisme pengelolaan perusahaan berlandaskan peraturan perundang-undangan dan etika berusaha. Selanjutnya dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Negara BUMN tersebut disebutkan Pasal 3 prinsip-prinsip GCG yang dimaksud dalam Peraturan ini, meliputi: 1. Transparansi (transparency), yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengungkapkan informasi material dan relevan mengenai perusahaan; 2. Akuntabilitas (accountability), yaitu kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban organ sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif; 3. Pertanggungjawaban (responsibility), yaitu kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat; 4. Kemandirian (independency), yaitu keadaan di mana perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat; 5. Kewajaran (fairness), yaitu keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak-hak pemangku kepentingan (stakeholders) yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan (bersambung ...) Disarikan dari berbagai sumber.

Selasa, 06 Januari 2015

SEJARAH NEW PUBLIC MANAGEMENT DAN AGENCY (3)

Menurut Lukman M, dalam Badan Layanan Umum dari Birokrasi menuju Korporasi (2013), bahwa dalam literatur ilmu administrasi kontemporer, paradigma administrasi publik secara garis besar dapat dibagi ke dalam 3 (tiga) kelompok (Denhardt & Denhardt, 2007), yakni Old Public Administration, New Pablic Administration dan New Public Service. Meskipun begitu, menurut Xun Wu dan Jingwey He (2009), ada beberapa cendekiawan yang mengemukakan beberapa alternatif paradigma baru dalam administrasi public selain dari paradigma diatas yakni Governance (Bingham, 2005) dan Public Value sebagaimana pertama kali diperkenalkan oleh Moore ( 1995) yang mendapat dukungan dari Alford (2002) dan Smith (2004). A.New Public Management Dari ketiga paradigma tersebut maka paradigna New Public Management (NPM) yang menjadi landasan teoritis lahirnya Badan Layanan Umum melalui peng-agenan atau agensifikasi. Paradigma ini merupakan tantangan sekaligus kritikan terhadap Old Public Administration yang menekankan pada birokrasi tradisional (Lukman, 2013). New Public Management identik dengan konsep yang popular seperti managerialisme (Guthrie & Parker, 1999, Parker & Gould 1999), reinventing government (Osborne & Gaebler, 1993), accountingnization (Power & Laughin, a992), breaking through bureaucracy (Barzelay, 1992) dan Market-based adminsitrastion (Lan & Rosenbloon, 1992). Secara singkat bahwa “NPM” menekankan bagaimana instansi public memperlakukan warga masyarakat atau public sebagai pelanggan (costumer). Pimpinan organisasi public harus menemukan cara-cara baru dalam mencapai hasil atau dengan meng”ala-swastakan” fungsi-fungsi dan pekerjaan yang sebelumnya dikerjakan oleh pemerintahan. Pimpinan organisasi public seharusnya mengurangi pekerjaan yang harus mereka lakukan (steering) dan sebisa mungkin melalui kontrak ataupun bentuk atau pengaturan yang lain dan bukan dengan melakukan semua pekerjaan (rowing). New Public Sevice (NPS) Paradigma pelayanan public baru (NPS) muncul ditengah masyarakat setelah Janet V. Denhardt dan Robert D. Denhardt mengeluarkan buku popular yang berjudul “The New Public Services : Serving Not Steering” pada tahun 2003. Mereka mengkritik konsep NPM – steering rather than rowing –yang dianggap telah melupakan siapa pemilik kapal (who owns the boat). Menurut mereka administrator publik seharusnya fokus pada pelayanan dan pemberdayaan masyarakat dan warga kelas menengah harusnya berada dibarisan terdepan. Penekanan adminsitrasi seharusnya tidak diletakkan pada steering atau rowing saja, melainkan pembangunan institusi public yang ditandai dengan integritas dan responsiveness. Menurut Denhardt & Denhardt (2007) dalam Lukman (2013), bahwa ada 7 (tujuh) prinsip dasar new public services: Pertama, melayani warga negara bukan pelanggan, old public administration menganggap warga negara sebagai klient, yakni warga negaralah yang membutuhkan pelayanan (organisasi publik), sementara NPM menekankan warga Negara sebagai customer. Penekanan konsumen pada NPM membawa arti bahwa penyedia layanan public harus mengedepankan kepentingan-kepentingan konsumen . Sebaliknya pada NPS melihat public sebagai citizen yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama, yang berarti public juga harus tunduk pada peraturan yang ditentukan oleh organisasi publik, pun begitu organisasi publik haruslah memenuhi hak-hak publik dan membangun kepercayaan dan kolaborasi diantara warga Negara. Kedua, memenuhi kepentingan publik. Administrator publik haruslah berkontribusi pada pembangunan ide-ide kolektif kepentingan publik dan berusaha memfasilitasi kepentingan-kepentingan public. Ketiga, kewarganegaraan diatas kewirausahaan. Administrator publik harus mengutamakan kepentingan publik agar memberikan kontribusi yang lebih berarti daripada sekedar mewirausahakan administrator publik. Keempat, berfikir strategis dan bertindak demokratis. Kebijakan dan program yang memenuhi keinginan masyarakat bisa dicapai secara efektif melalui usaha yang kolektif dan proses kolaboratif. Kelima, menyadari bahwa akuntabilitas bukanlah sesuatu yang sederhana. Administrator public seharusnya tidak hanya mementingkan kepentingan pasar, melainkan juga harus tunduk pada konstitusi hukum, norma politik, standar profesional dam kepentingan warga negara. Keenam, melayani dari pada mengarahkan. Administrator publik haruslah bisa melayani dengan didasari kepada kepemimpinan yang didasari nilai dalam membantu warga negara, mengaktualisasikan, dan memenuhi kepentingan mereka daripada hanya mencoba mengontrol atau mengarahkan. Ketujuh, menghargai manusia bukan produktifitas. Organisasi publik hanya bisa sukses jika beroperasi secara kolaboratif dan menghargai semua umat manusia. Kemunculan sebuah kerangka teori ilmu pengetahuan pada umumnya tidak terlepas dari bagaimana situasi ekonomi, politik, dan sosial yang dialami suatu wilayah pada masa dan waktu tertentu. Begitu pula halnya dengan kelahiran new public management. Akhir dasawarsa 1970-an sampai 1980-an, sesuatu yang membawa pengaruh yang signifikan terhadap adminstrasi public adalah adanya pergeseran ideologi dan konseptual yang dialami oleh negara-negara maju dalam manajemen pemerintahan/publik kearah yang lebih berorientasi corporate/komersial. Sementara perekonomian dunia juga secara perlahan mulai menunjukan saling keterkaitan (interdependency) diantara satu dengan yang lain.. Negara-negara sosialis seperti China mulai membuka perdagangan dengan dunia lain (globalisasi) dengan memulai kebijakan yang disebut “Chinas Open Economy”. Peranan swasta didorong semaksimal mungkin dan membatasi peranan sektor publik. Pergerakan ini kemudian akhirnya mendorong istilah yang disebut dengan neoliberalism yang menekankan kepada liberalisasi ekonomi, perdagangan dan pasar yang terbuka. (Lukman, 2013). ............. bersambung (disarikan dari berbagai literatur)

Sabtu, 03 Januari 2015

AGENSIFIKASI DI RUMAH SAKIT (2)

Konsep New Public Management (NPM) melalui agensifikasi adalah bentuk reformasi sektor pelayanan publik yang mentransformasi lembaga birokrasi dari lembaga yang dikelola secara konvensional menjadi lembaga modern yang dikelola lebih responsif dalam memberikan pelayanan publik. Konsep ini dikembangkan oleh Chrisopher Hood diera 1990-an. Dengan agensifikasi institusi pelayanan publik harus mampu meningkatkan kinerja untuk memperbaiki kualitas pelayanan kepada masyarakat, melalui prinsip-prinsip disagregasi, otonomi/semi otonomi, control dan akuntabilitas, agensi, operasional bussines like, Penerapan agensifikasi memerlukan perubahan minset dari seluruh karyawannya agar memiliki pola pikir yang selalu dapat beradaptasi dengan perubahan, berani mengambil resiko dan mampu meningkatkan inovasi namun tetap dapat mengedepankan prinsip efisiensi dan efektifitas. (Riyanto A, 2013). Di Indonesia sebagaimana juga di Negara-negara Eropa penerapan konsep agensifikasi dilakukan dalam bentuk Badan Layanan Umum (BLU). Pengertian BLU diatur dalam Pasal 1 angka 23 UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yaitu “Instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas”. Pengertian ini kemudian diadopsi kembali dalam peraturan pelaksanaannya yaitu dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. Badan Layanan Umum adalah suatu badan usaha pemerintah yang tidak bertujuan mencari laba, meningkatkan kualitas pelayanan publik, dan memberikan otonomi atau fleksibilitas. Badan Layanan Umum dibentuk sebagai pengejawantahan teori agensifikasi. Secara umum, teori agensifikasi adalah adanya pemisahan antara fungsi kebijakan (regulator) dengan fungsi pelayanan publik dalam struktur organisasi pemerintah. Fungsi pertama dilakukan oleh kantor pusat kebijakan sedangkan yang kedua adalah kantor-kantor yang melaksanakan tugas pelayanan. Menurut teori dimaksud, idealnya Menteri/Pimpinan Lembaga memberi mandat dalam sebuah bentuk kontrak kinerja kepada kepala eksekutif badan pelayanan umum dalam melaksanakan satu program atau beberapa program sejenis yang akan dikelola secara professional. Sejak lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, maka beberapa instansi pelayanan publik di Indonesia-pun berubah menjadi BLU seperti Rumah Sakit, RRI, beberapa Perguruan Tinggi Negeri. Beberapa rumah sakit yang telah menerapkan badan layanan umum telah menunjukkan peningkatan kinerja yang berarti. Wijayaningrum (2012), dalam penelitiannya di Rumah Sakit Sardjito Yogyakarta menemukan peningkatan kinerja keuangan rumah sakit sejak berubah menjadi badan layanan umum. Trianasari dan M S Idrus (2012), dalam penelitiannya di Rumah Sakit Syaiful Anwar menemukan beberapa masalah antara lain keefektifan, keefisienan dan fleksibilitas yang masih terkendala, alur birokrasi/administrasi yang lama belum tuntas teratasi, dimana mayoritas pelanggan rumah sakit adalah golongan menengah ke bawah, keramahan belum diterapkan secara menyeluruh; evaluasi strategi dilakukan oleh bagian lain, bukan oleh bagian yang sama dengan yang melakukan perencanaan strategi; sarana dan prasarana serta kuantitas tenaga masih kurang memadai. Namun dengan segala keterbatasan dan tantangan yang harus dihadapi secara garis besar RSSA cukup siap dan dapat melaksanakan BLUD. Kinerja RSSA secara umum (keseluruhan) dari sebelum BLUD ke BLUD meningkat, menunjukkan trend yang baik; berarti pihak RSSA telah berusaha memperbaiki kinerjanya sesuai dengan yang telah diamanatkan sebagai BLUD penuh serta telah melakukan berbagai upaya untuk mencapai efisiensi dan efektivitas. Putra JJ dan L Farida (2014), dalam penelitiannya di Rumah Sakit Rokan Hulu, menemukan faktor yang mempengaruhi pengelolaan pola badan layanan umum adalah yaitu sikap integritas, kuantitas dan kualifikasi Sumber Daya Manusia. Meidyawati (2012), menemukan peningkatan kinerja pertumbuhan dan pendapatan karena kemandirian pengelolaan Badan Layanan Umum di Rumah Sakit Sroke Bukittinggi. Kemudahan dalam proses pengadaan obat-obatan, bahan habis pakai medis yang berdampak pada peningkatan layanan kepada masyarakat. Peningkatan kinerja rumah sakit badan layanan umum belum serta merta meningkatkan kepuasan pelanggannya. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh CRC-ICW 2010, bahwa 70 persen responden mengeluhkan pelayanan rumah sakit. Hampir semua jenis pelayanan rumah sakit dikeluhkan masyarakat terutama masyarakat miskin peserta jaminan kesehatan sosial seperti Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Keluhan terhadap pelayanan seperti pelayanan administrasi, perawat, dokter, sarana dan prasarana, uang muka, obat, biaya dan layanan rumah sakit lain. Pengurusan administrasi paling bayak dikeluhkan masyarakat miskin yang mengakses 19 rumah sakit di Jabodetabek. Responden yang mengeluhkan pelayanan administrasi rumah sakit mencapai 47,3 persen dari total responden. Untuk pelayanan dokter (18,2 persen), seperti penanganan pasien yang lambat, tidak tanggap, cuek, tidak memberikan laporan perkembangan penyakit, dokter datang terlambat. Keluhan pengurusan administrasi (47,3 persen), keluhan adanya uang muka (18,7 persen). Keluhan adanya penolakan dari rumah sakit (10 persen), dan keluhan tentang fasilitas dan sarana rumah sakit (13,6 persen). Selain keluhan terhadap pelayanan, pasien miskin mengakui mengeluarkan sejumlah uang untuk memperoleh kartu dan pelayanan di rumah sakit. Sebanyak 8,7 persen menyatakan ada pungutan dalam mendapatkan kartu. (Citizen Report Cards ‘CRC’ ICW 2010). Survey yang dipublikasikan oleh CRC-ICW tersebut menjadi pertanyaan bagaimana penerapan NPM di Indonesia? (bersambung ....) Disarikan dari berbagai referensi.

AGENSIFIKASI DI RUMAH SAKIT (1)

Pelayanan publik di negara kita masih sering diidentikkan dengan ketidakpastian baik dalam hal biaya, waktu dan prosedur. Masyakarat sebagai warga pengguna pelayanan seringkali mengeluhkan buruknya pelayanan para birokrat di unit-unit penyelenggara pelayanan. Para pengguna layanan jarang sekali diperlakukan sebagai warga negara yang memiliki kedaulatan atas pemerintah dan birokrasinya atau sebagai pelanggan yang dapat menentukan nasib penyelenggara layanan (Dwiyanto, 2010: 68). Lebih lanjut dikatakan bahwa tidak adanya standar pelayanan yang jelas membuat praktik pelayanan menjadi sepenuhnya sangat tergantung pada kebaikan hati dan aparat birokrasi pelayanan. Tidak adanya standar pelayanan membuat pelayanan publik menjadi penuh dengan ketidakpastian. Adanya biaya tambahan (pungutan liar) yang ditarik oleh petugas penyelenggara pelayanan seringkali mewarnai dalam beberapa kasus pelayanan, (Atik Septi W, dkk, 2012). Demikian pula halnya pada pelayanan kesehatan di rumah sakit milik pemerintah. Di era persaingan global, sejak dibukanya kran bagi swasta tahun 1998 untuk dapat mengelola rumah sakit di Indonesia melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 159b/MENKES/ PER/II/1988, tuntutan atas kualitas pelayanan publik termasuk rumah sakit milik pemerintah semakin kuat. Disisi lain, perkembangan lingkungan eksternal rumah sakit ditandai dengan semakin berkembangnya ilmu dan tehnologi kedokteran, alat kesehatan yang canggih dan obat-obatan yang menyebabkan biaya pelayanan kesehatan semakin mahal, sementara subsidi bagi rumah sakit pemerintah dirasakan mulai berkurang. Pengelolaan keuangan rumah sakit sebagai unit pelaksana tehnis daerah dirasakan sangat birokratis dan memerlukan proses yang panjang, dimana pendapatan rumah sakit harus disetor lebih dahulu ke kas daerah. Jika rumah sakit memerlukan untuk kebutuhan pelayanan maka harus meminta ke pemerintah daerah melalui mekanisme pengelolaan keuangan daerah yang berbelit-belit. Hal ini dirasakan menjadi penyebab buruknya kualitas pelayanan rumah sakit yang ditandai antara lain dengan lamanya waktu pelayanan (respon time), ketidaktersediaan obat yang cukup, ketidakramahan petugas, lingkungan yang kotor dan lain sebagainya. Pemikiran tentang perubahan pola pengelolaan pelayanan publik pemerintah dari birokrasi ke korporasi terus berkembang, seiring dengan perkembangan konsep baru dalam pelayanan publik yang dimulai di Eropa tahun 1982 melalui konsep New Public Management (NPM), dengan konsep agensifikasi (pengagenan). Agensifikasi adalah bentuk reformasi pelayanan publik yang bertujuan untuk mewujudkan good governance. Agensifikasi harus didukung dengan reformasi birokrasi yang dapat mentransformasi lembaga birokrasi dari lembaga yang konvensional menjadi lembaga yang modern yang lebih responsif dalam memberikan pelayanan publik baik barang maupun jasa dengan mendukung pencapaian efeisiensi dan efektifitas. Dengan konsep ini maka rumah sakit pemerintah sebagai pelayanan publik dibidang jasa pelayanan kesehatan mulai mendapatkan otonomi atau semi otonomi, melalui pemangkasan birokrasi terutama dalam pengelolaan keuangan dan sumber daya manusia, sebagai ciri konsep pengagenan dalam NPM. Di Indonesia konsep NPM di praktekkan melalui pemberian otonomi bagi rumah sakit pemerintah dalam bentuk Badan Layanan Umum (BLU). Dengan BLU rumah sakit pemerintah yang sebelumnya dikelola dengan aturan birokrasi yang ketat mengalami perubahan kearah pengelolaan model korporasi, layaknya lembaga bisnis tanpa memisahkan status kepemilikan. Ketentuan tentang penganggaran dalam badan layanan umum tertuang dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Selanjutnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara membuka koridor baru bagi penerapan basis kinerja di lingkungan pemerintah. Dengan Pasal 68 dan Pasal 69 Undang-Undang tersebut, instansi pemerintah yang tugas pokok dan fungsinya memberi pelayanan kepada masyarakat dapat menerapkan pola pengelolaan keuangan yang fleksibel dengan mengutamakan produktivitas, efisiensi, dan efektivitas. Prinsip-prinsip pokok yang tertuang dalam kedua undang-undang tersebut menjadi dasar instansi pemerintah untuk menerapkan pengelolaan keuangan BLU. Badan Layanan Umum adalah instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. BLU diharapkan dapat menjadi langkah awal dalam pembaharuan manajemen keuangan sektor publik, demi meningkatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Konsep badan layanan umum juga diterapkan dalam bidang pendidikan nasional dimana telah terjadi perubahan arah kebijakan pengembangan perguruan tinggi negeri yang bertumpu pada 5 (lima) landasan yaitu: kemandirian (otonomy), akuntabilitas (accountability), jaminan kualitas (quality assurance), pengembangan ilmu pengetahuan (science development) dan pelayanan social (sosial service). Pengelolaan keuangan BLU baik rumah sakit maupun perguruan tinggi negeri dan lembaga lainnya selanjutnya diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. Mengoperasikan lembaga bisnis atau semi bisnis seperti BLU atau BLUD harus dapat memenuhi dan merespon tuntutan konsumen (pasien), sehingga memerlukan inovasi, kecepatan dalam pengambilan keputusan dan pelayanan. Berbagai prinsip ekonomi dan bisnis telah masuk dalam manajemen rumah sakit, sehingga memerlukan sumberdaya manusia (SDM) yang kompetitif dan profesional melalui rekrutmen, training dan development, placement yang tepat. Setidaknya ada lima hal yang berubah pada rumah sakit yang sebelumnya berbentuk unit pelaksana tehnis menjadi badan layanan umum atau badan layanan umum daerah, yaitu : 1. BLU dimungkinkan memperoleh pendapatan yang diperoleh oleh dari biaya yang dibebankan kepada konsumennya. Pendapatan BLU ini merupakan Penerimaan Bukan Pajak/PNBP sedangkan pendapatan BLUD merupakan lain-lain Pendapatan Asli Daerah/PAD yang sah bagi suatu daerah. Dalam birokrasi pemerintah ada begitu banyak organisasi yang bertindak bukan sebagai penyedia barang dan jasa misalnya organisasi pemerintah yang membuat regulasi, penegakan hukum/peradilan, pertahanan dan sebagainya, sehingga organisasi ini tidak akan menerima pendapatan langsung dari masyarakat atas layanan yang diberikan. 2. BLU harus menjalankan praktek bisnis yang sehat tanpa mengutamakan pencarian keuntungan. Ini karakteristik yang sangat spesial sekali karena instansi pemerintah diperkenankan untuk menerapkan praktek bisnis seperti dalam yang umum dilakukan oleh dunia bisnis/swasta. Akan tetapi walaupun diselenggarakan sebagaimana institusi bisnis, BLU tidak diperkenankan mencari keuntungan (not-for-profit). 3. BLU dijalankan dengan prinsip efisien dan produktivitas. Karakteristik ini jauh berbeda dari instansi pemerintah biasa yang dalam penyelenggaraan layanannya mengedepankan kepada penyerapan anggaran yang sangat tinggi, terlepas kegiatan tersebut mencapai sasaran dengan tepat atau tidak. Pada BLU penyerapan anggaran bukanlah target karena surplus/kelebihan anggaran dapat digunakan kembali pada tahun berikutnya untuk peningkatan kualitas layanannya. 4. Adanya fleksibilitas dan otonomi dalam menjalankan operasional BLU, yakni: fleksibilitas dalam hal pengelolaan keuangan, fleksibilitas dalam pengelolaan sumber daya manusia dan fleksibilitas dalam hal pengelolaan dan pengadaan aset/barang. 5. BLU dikecualikan dari ketentuan pengelolaan keuangan negara pada umumnya. Ketentuan ini merupakan semangat otonomi yang diberikan kepada BLU untuk "bisa melanggar" ketentuan dalam keuangan negara. Contohnya adalah BLU atau BLUD diperkenankan untuk menggunakan secara langsung penerimaannya (PNBP bagi BLU Pusat atau lain-lain PAD yang sah bagi BLUD). Disarikan dari berbagai referensi.

Sabtu, 08 Juni 2013

Kohor Ijab Kabul dan Fenomena Kematian Ibu di Bone Bolango

Sebelum tahun 2005 jumlah Ibu sangat tinggi di Kabupaten Bone Bolango sangat tinggi yaitu mencapai 26 kematian setiap tahunnya, penyebabnya adalah komplikasi kehamilan dan persalinan. Hal ini ditambah dengan minimnya infrastruktur baik sarana prasarana, SDM peralatan kesehatan disisi supply dan ketidakmampuan masyarakat mengakses pelayanan kesehatan. Oleh karena itu dinas Kesehatan melakukan strategi pembangunan kesehatan dengan memfokuskan pada strategi perluasan akses pelayanan kesehatan. Bentuk kegiatan yang dilakukan adalah : 1. Menambah sarana puskesmas , poskesdes, dan sarana transportasi rujukan berupa mobil puskesmas keliling diseluruh kecamatan pemekaran, hingga mencapai 20 Puskesmas, 87 Poskesdes dan 19 Puskesmas Keliling 2. Penempatkan bidan didesa di seluruh desa, hingga skarang sudah seluruh desa mempunyai bidan desa 3. Menyiapkan dana jaminan kesehatan daerah kepada masyarakat yang belum memiliki jaminan kesehatan. Dengan tiga strategi tersebut kematian ibu di Bone Bolango mengalami penurunan yang cukup signifikans, dimana tahun 2006 hanya terjadi 3 Kematin ibu, tahun 2007 6 kematian, 2008 terjadi 9 kematian, tahun 2010 4 kematian, tahun 2011 3 kematian, kematian di tahun 2009 naik lagi menjadi 9 kematian ibu. Kematian ibu sesuai SPM di hitung per 100.000 kelahiran. Di Bone Bolango jumlah kelahiran ibu rata setiap tahun mencapai 3000 kelahiran hidup. Sehingga tahun 2011 angka kematian Ibu di Bone Bolango hanya 100/100.000 Kelahiran hidup, jauh dari angka kematian ibu nasional (bandingkan dengan angka nasional yang masih 228 per 100.000 KH). Tahun 2012 dengan 9 kematian per 300 KH berarti angka kematian mencapai 300/100.000 KH. Bandingkan dengan tahun 2005 yang mencapai 26 kematian atau 866/100.000 Kelahiran Hidup. Dari aspek ini maka kematian Ibu di Bone Bolango sudah bias dikendalikan. Ada hal yang menarik dari kematian ibu di 3 tahun terakhir ini, yaitu kematian tidak lagi terjadi di desa tetapi berpindah ke rumah sakit. Artinya kesiap siagaan bidan dan transportasi di desa siaga sudah menampakkan hasil. Disamping kemampuan masyarakat untuk mengakses pelayanan rujukan. Hal ini karena hambatan biaya sudah tidak masalah lagi. Universal Health Coverage melalui program Jaminan Kesehatan Daerah telah menjamin seluruh masyarakat untuk pembiayaan kesehatannya jika sakit. Melalui program ini masyarakat yang sakit akan dibiayai oleh pemerintah, mulai dari puskesmas dan jaringannya hingga pelayanan rujukan di rumah sakit, bahkan hingga rumah sakit di Makassar dan Manado. Sementara tahun 2009 dari 9 kematian ibu, hanya 3 yang meninggal karena penyebab langsung persalinan yaitu perdarahan post partum dan eklampsia, antaranya 2 ibu meninggal di pinogu (suatu kecamatann yang hanya bias ditempuh dengan berjalan kaki (hingga 12 jam). Untuk kasus kematian ibu di Pinogu sebetulnya sudah diupayakan upaya rujukan tetapi kendala geografis yang begitu jauh tanpa sarana tranportasi. Sementara itu 6 kematian ibu disebabkan penyakit penyerta yang diperberat oleh kehamilannya, yaitu, penyakit Gula, hipertensi, penyakit tiroid, asma bronkhiale, TBC dan Malaria. Adanya penyakit penyerta yang diperberat oleh kehamilan dan persalinan mengilhami dinas kesehatan untuk menarik kebelakang pelaksanaan kohor ibu. Upaya yang akan dilakukan 2013 adalah melakukan pengamatan terhadap perkembangan ibu yang biasanya dimulai sejak terdeteksinya kehamilan, akan dimulai sejak terjadinya ijab kabul. Hal ini dimaksudkan untuk mendeteksi apakah ibu tersebut menderita penyakit yang akan diperberat oleh kehamilan apabila dia hamik nanti. Sehingga para bidan akan memotivasi dan menemani ibu tersebut untuk berobat ke dokter untuk mengobati penyakit yang dideritanya. Dengan demikian saat memasuki kehamilan penyakit yang dideritanya sudah sembuh dan ibu mengalami kehamilan dan persalinan dengan kondisi yang sehat. Walaupun variabel yang menentukan kematian ibu di Bone Bolango cukup banyak, beberapa telah bisa diatasi, tetapi masih banyak variable penentu, misalnya perilaku masyarakat, hambatan geografis dan keterbasan lainnya. Namun hal ini akan diatasi secara bertahap tentu saja dengan melibatkan tidak hanya sector kesehatan tetapi semua stakeholder yang ada. (RUSLI)

Selasa, 03 April 2012

Anjing, Tongkat, dan Sufi

Pada suatu hari seseoarang yang berpakaian sufi berjalan-jalan melintasi kota. Tiba-tiba ia melihat seekor anjing di jalan. Anjing tersebut bukannya menjauh, justru mendekat dan hampir menjilati pakaian sang sufi. Demi melihat hal najis akan mengotori pakaiannya, sang sufi segera mengeluarkan tongkat dan memukuli anjing itu hingga sang anjing menjauh.
Sambil mendengking dan melolong kesakitan, anjing tadi berlari ke arah Abu Said al-Kharraz, sang guru tertinggi di kota tersebut. Anjing tersebut menjatuhkan diri di dekat kaki Abu Said al-Kharraz sambil memohon keadilan karena dipukuli dengan membabi buta oleh sang sufi.
Abu Said segera mempertemukan anjing dan sang sufi. Lalu, Abu Said berkata kepada sang sufi, “Saudara sufi yang baik, mengapa engkau memperlakukan binatang ini dengan cara kasar? Lihatlah akibat perbuatanmu yang seenaknya tadi. Anjing ini terluka hebat.”
Sang sufi menjawab, “Wahai, Abu Said guruku tercinta. Pukulanku dengan tongkat tadi sama sekali bukan salahku. Malah, itu salahnya. Saya tidak memukulnya tanpa alasan. Saya memukul anjing ini karena ia mengotori jubah sufi ini dengan liurnya.”
Anjing tetap saja mengeluh atas perlakuan kejam sang sufi.
Abu Said kemudian berbicara pada anjing itu, “Dari pada menunggu ganti rugi di akhirat, lebih baik sekarang memintalah sesuatu yang sesuai dengan ganti rugi sakitmu tadi.”
Anjing tadi berkata, “Wahai, guru yang agung, bukan tanpa alasan saya mendekati sang sufi. Ketika saya melihat orang ini berpakaian sufi, saya berpikir bahwa ia tidak akan menyakiti saya. Bahkan, saya mengira ia akan melindungi saya sesuai sabda Nabi Saw, ‘sungguh, ada pahala atas semua tindakan baik kepada binatang.’ “
“Seandainya saya melihat orang ini memakai pakaian yang biasa, bukan para sufi yang mestinya mencintai sesama makhluk Allah tanpa kecuali, pasti saya tidak akan mendekatinya; saya biarkan ia berlalu seperti kebanyakan orang. Kesalahan utama saya terletak pada anggapan bahwa pakaian sufi itu menandakan keselamatan. Jadi, apabila Guru yang Agung ingin menghukumnya, rampaslah pakaian sufi tadi. Campakan dia dari pakaian kaum terpilih yang mencari kebenaran.”
Demi mendengar ucapan anjing tadi, sang sufi yang khawatir pakainnya terkena air liur anjing hanya bias tertunduk malu. Ternyata, anjing tersebut sudah berada dalam tahap melakukan tarekat (jalan), bahkan mungkin lebih tinggi daripada ia yang sangat peduli pada embel-embel pakaian sufi tanpa menyadari bahwa di balik pakaian yang suci, tersimpan makna terdalam agar manusia setidaknya sesuci pakaian yang dikenakannya, atau bahkan lebih suci dari pakaian yang dikenakannya.
Hikmah Kisah “Anjing, Tongkat, dan Sufi”
Umat beragama sering merasa hanya karena mereka termasuk dalam golongan pemeluk agama (dalam kisah ini dilambangkan memakai pakaian sufi), maka mereka akan selamat dari api neraka. Padahal, belum tentu demikian. Tidak ada jaminan umat beragama akan masuk surga. Selama dalam ibadah mereka masih banyak hal yang berkait dengan kekafiran, atas dasar apa Allah akan memasukkan mereka ke surga padahal surga hanya diperuntukkan bagi mereka yang mencintai Allah tanpa halangan hal-hal lain? Sabda Nabi Muhammad Saw, “Barangsiapa yang memiliki kebanggaan diri setitik saja tidak akan masuk surga,” dan, “Kebanggaan akan membuat manusia berada dalam kehinaan.”
Jika dikaitkan dengan masalah Akhir Zaman, betapa mengerikannya yang akan diderita umat Islam yang tidak sadar mereka tengah menggiring diri ke dalam kesalahan besar. Misalnya, hanya karena sudah memiliki Islam sebagai agama paling sempurna, apakah kita yakin bahwa Al-Mahdi, utusan Allah berikutnya, akan menyelamatkan kita dari fitnah terbesar Dajal?
Selama ini kita membayangkan Dajal sebagai seorang kafir tulen; siapapun orang Islam yang melihatnya, meskipun tidak bisa baca-tulis, pasti mengetahui bahwa Dajal adalah kafir. Barangkali tafsiran ini disebabkan oleh hadits Nabi yang berbunyi, “Dan di antara dua matanya (di dahi Dajal), tertulis ‘Kafir” (HR Bukhari). Adakah jaminan bahwa kita yang mengaku muslim ini benar-benar muslim sejati? Bukankah (seperti yang dijelaskan dalam kisah-kisah sebelumnya) selama kita masih memiliki keakuan, kita belum menjadi muslim sejati?
Layaknya jika kita memahami bahwa Dajal adalah seorang pemfitnah ulung. Dajal membuat sesuatu yang hitam-putih menjadi “abu-abu”, Dajal membuat yang haq menjadi yang batil karena sejak Allah SWT menciptakan Nabi Adam as sampai hari kiamat nanti, tidak ada satu ujian pun yang lebih dahsyat daripada Dajal. Bisa jadi Dajal akan menyamarkan diri sebagai AL-Mahdi, atau berpenampilan seperti layaknya umat beragama biasa (seperti si “sufi” yang memakai pakaian sufi dan mengaku sebagai sufi hanya karena pakaiannya semata), mengaku membawa kebenaran hakiki sehingga semua muslim (atau umat beragama) mempercayainya.
Bila kita terbiasa menipu diri dengan mengaku muslim hanya karena rajin beribadah, rajin beramal, tanpa sedikitpun melakukan koreksi diri, bukankah tidak mungkin kita akan tertipu pula oleh Dajal? Lalu, seandainya Al-Mahdi tidak datang dari Arab atau tidak tampil seperti kebanyakan umat beragama (seperti anjing dalam kisah ini) apakah kita tidak akan menampiknya hanya karena keadaannya tidak meyakinkan?
Dikutip dari : Cerita Sufi