Sabtu, 03 Januari 2015

AGENSIFIKASI DI RUMAH SAKIT (2)

Konsep New Public Management (NPM) melalui agensifikasi adalah bentuk reformasi sektor pelayanan publik yang mentransformasi lembaga birokrasi dari lembaga yang dikelola secara konvensional menjadi lembaga modern yang dikelola lebih responsif dalam memberikan pelayanan publik. Konsep ini dikembangkan oleh Chrisopher Hood diera 1990-an. Dengan agensifikasi institusi pelayanan publik harus mampu meningkatkan kinerja untuk memperbaiki kualitas pelayanan kepada masyarakat, melalui prinsip-prinsip disagregasi, otonomi/semi otonomi, control dan akuntabilitas, agensi, operasional bussines like, Penerapan agensifikasi memerlukan perubahan minset dari seluruh karyawannya agar memiliki pola pikir yang selalu dapat beradaptasi dengan perubahan, berani mengambil resiko dan mampu meningkatkan inovasi namun tetap dapat mengedepankan prinsip efisiensi dan efektifitas. (Riyanto A, 2013). Di Indonesia sebagaimana juga di Negara-negara Eropa penerapan konsep agensifikasi dilakukan dalam bentuk Badan Layanan Umum (BLU). Pengertian BLU diatur dalam Pasal 1 angka 23 UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yaitu “Instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas”. Pengertian ini kemudian diadopsi kembali dalam peraturan pelaksanaannya yaitu dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. Badan Layanan Umum adalah suatu badan usaha pemerintah yang tidak bertujuan mencari laba, meningkatkan kualitas pelayanan publik, dan memberikan otonomi atau fleksibilitas. Badan Layanan Umum dibentuk sebagai pengejawantahan teori agensifikasi. Secara umum, teori agensifikasi adalah adanya pemisahan antara fungsi kebijakan (regulator) dengan fungsi pelayanan publik dalam struktur organisasi pemerintah. Fungsi pertama dilakukan oleh kantor pusat kebijakan sedangkan yang kedua adalah kantor-kantor yang melaksanakan tugas pelayanan. Menurut teori dimaksud, idealnya Menteri/Pimpinan Lembaga memberi mandat dalam sebuah bentuk kontrak kinerja kepada kepala eksekutif badan pelayanan umum dalam melaksanakan satu program atau beberapa program sejenis yang akan dikelola secara professional. Sejak lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, maka beberapa instansi pelayanan publik di Indonesia-pun berubah menjadi BLU seperti Rumah Sakit, RRI, beberapa Perguruan Tinggi Negeri. Beberapa rumah sakit yang telah menerapkan badan layanan umum telah menunjukkan peningkatan kinerja yang berarti. Wijayaningrum (2012), dalam penelitiannya di Rumah Sakit Sardjito Yogyakarta menemukan peningkatan kinerja keuangan rumah sakit sejak berubah menjadi badan layanan umum. Trianasari dan M S Idrus (2012), dalam penelitiannya di Rumah Sakit Syaiful Anwar menemukan beberapa masalah antara lain keefektifan, keefisienan dan fleksibilitas yang masih terkendala, alur birokrasi/administrasi yang lama belum tuntas teratasi, dimana mayoritas pelanggan rumah sakit adalah golongan menengah ke bawah, keramahan belum diterapkan secara menyeluruh; evaluasi strategi dilakukan oleh bagian lain, bukan oleh bagian yang sama dengan yang melakukan perencanaan strategi; sarana dan prasarana serta kuantitas tenaga masih kurang memadai. Namun dengan segala keterbatasan dan tantangan yang harus dihadapi secara garis besar RSSA cukup siap dan dapat melaksanakan BLUD. Kinerja RSSA secara umum (keseluruhan) dari sebelum BLUD ke BLUD meningkat, menunjukkan trend yang baik; berarti pihak RSSA telah berusaha memperbaiki kinerjanya sesuai dengan yang telah diamanatkan sebagai BLUD penuh serta telah melakukan berbagai upaya untuk mencapai efisiensi dan efektivitas. Putra JJ dan L Farida (2014), dalam penelitiannya di Rumah Sakit Rokan Hulu, menemukan faktor yang mempengaruhi pengelolaan pola badan layanan umum adalah yaitu sikap integritas, kuantitas dan kualifikasi Sumber Daya Manusia. Meidyawati (2012), menemukan peningkatan kinerja pertumbuhan dan pendapatan karena kemandirian pengelolaan Badan Layanan Umum di Rumah Sakit Sroke Bukittinggi. Kemudahan dalam proses pengadaan obat-obatan, bahan habis pakai medis yang berdampak pada peningkatan layanan kepada masyarakat. Peningkatan kinerja rumah sakit badan layanan umum belum serta merta meningkatkan kepuasan pelanggannya. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh CRC-ICW 2010, bahwa 70 persen responden mengeluhkan pelayanan rumah sakit. Hampir semua jenis pelayanan rumah sakit dikeluhkan masyarakat terutama masyarakat miskin peserta jaminan kesehatan sosial seperti Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Keluhan terhadap pelayanan seperti pelayanan administrasi, perawat, dokter, sarana dan prasarana, uang muka, obat, biaya dan layanan rumah sakit lain. Pengurusan administrasi paling bayak dikeluhkan masyarakat miskin yang mengakses 19 rumah sakit di Jabodetabek. Responden yang mengeluhkan pelayanan administrasi rumah sakit mencapai 47,3 persen dari total responden. Untuk pelayanan dokter (18,2 persen), seperti penanganan pasien yang lambat, tidak tanggap, cuek, tidak memberikan laporan perkembangan penyakit, dokter datang terlambat. Keluhan pengurusan administrasi (47,3 persen), keluhan adanya uang muka (18,7 persen). Keluhan adanya penolakan dari rumah sakit (10 persen), dan keluhan tentang fasilitas dan sarana rumah sakit (13,6 persen). Selain keluhan terhadap pelayanan, pasien miskin mengakui mengeluarkan sejumlah uang untuk memperoleh kartu dan pelayanan di rumah sakit. Sebanyak 8,7 persen menyatakan ada pungutan dalam mendapatkan kartu. (Citizen Report Cards ‘CRC’ ICW 2010). Survey yang dipublikasikan oleh CRC-ICW tersebut menjadi pertanyaan bagaimana penerapan NPM di Indonesia? (bersambung ....) Disarikan dari berbagai referensi.

Tidak ada komentar: