Sabtu, 03 Januari 2015

AGENSIFIKASI DI RUMAH SAKIT (1)

Pelayanan publik di negara kita masih sering diidentikkan dengan ketidakpastian baik dalam hal biaya, waktu dan prosedur. Masyakarat sebagai warga pengguna pelayanan seringkali mengeluhkan buruknya pelayanan para birokrat di unit-unit penyelenggara pelayanan. Para pengguna layanan jarang sekali diperlakukan sebagai warga negara yang memiliki kedaulatan atas pemerintah dan birokrasinya atau sebagai pelanggan yang dapat menentukan nasib penyelenggara layanan (Dwiyanto, 2010: 68). Lebih lanjut dikatakan bahwa tidak adanya standar pelayanan yang jelas membuat praktik pelayanan menjadi sepenuhnya sangat tergantung pada kebaikan hati dan aparat birokrasi pelayanan. Tidak adanya standar pelayanan membuat pelayanan publik menjadi penuh dengan ketidakpastian. Adanya biaya tambahan (pungutan liar) yang ditarik oleh petugas penyelenggara pelayanan seringkali mewarnai dalam beberapa kasus pelayanan, (Atik Septi W, dkk, 2012). Demikian pula halnya pada pelayanan kesehatan di rumah sakit milik pemerintah. Di era persaingan global, sejak dibukanya kran bagi swasta tahun 1998 untuk dapat mengelola rumah sakit di Indonesia melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 159b/MENKES/ PER/II/1988, tuntutan atas kualitas pelayanan publik termasuk rumah sakit milik pemerintah semakin kuat. Disisi lain, perkembangan lingkungan eksternal rumah sakit ditandai dengan semakin berkembangnya ilmu dan tehnologi kedokteran, alat kesehatan yang canggih dan obat-obatan yang menyebabkan biaya pelayanan kesehatan semakin mahal, sementara subsidi bagi rumah sakit pemerintah dirasakan mulai berkurang. Pengelolaan keuangan rumah sakit sebagai unit pelaksana tehnis daerah dirasakan sangat birokratis dan memerlukan proses yang panjang, dimana pendapatan rumah sakit harus disetor lebih dahulu ke kas daerah. Jika rumah sakit memerlukan untuk kebutuhan pelayanan maka harus meminta ke pemerintah daerah melalui mekanisme pengelolaan keuangan daerah yang berbelit-belit. Hal ini dirasakan menjadi penyebab buruknya kualitas pelayanan rumah sakit yang ditandai antara lain dengan lamanya waktu pelayanan (respon time), ketidaktersediaan obat yang cukup, ketidakramahan petugas, lingkungan yang kotor dan lain sebagainya. Pemikiran tentang perubahan pola pengelolaan pelayanan publik pemerintah dari birokrasi ke korporasi terus berkembang, seiring dengan perkembangan konsep baru dalam pelayanan publik yang dimulai di Eropa tahun 1982 melalui konsep New Public Management (NPM), dengan konsep agensifikasi (pengagenan). Agensifikasi adalah bentuk reformasi pelayanan publik yang bertujuan untuk mewujudkan good governance. Agensifikasi harus didukung dengan reformasi birokrasi yang dapat mentransformasi lembaga birokrasi dari lembaga yang konvensional menjadi lembaga yang modern yang lebih responsif dalam memberikan pelayanan publik baik barang maupun jasa dengan mendukung pencapaian efeisiensi dan efektifitas. Dengan konsep ini maka rumah sakit pemerintah sebagai pelayanan publik dibidang jasa pelayanan kesehatan mulai mendapatkan otonomi atau semi otonomi, melalui pemangkasan birokrasi terutama dalam pengelolaan keuangan dan sumber daya manusia, sebagai ciri konsep pengagenan dalam NPM. Di Indonesia konsep NPM di praktekkan melalui pemberian otonomi bagi rumah sakit pemerintah dalam bentuk Badan Layanan Umum (BLU). Dengan BLU rumah sakit pemerintah yang sebelumnya dikelola dengan aturan birokrasi yang ketat mengalami perubahan kearah pengelolaan model korporasi, layaknya lembaga bisnis tanpa memisahkan status kepemilikan. Ketentuan tentang penganggaran dalam badan layanan umum tertuang dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Selanjutnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara membuka koridor baru bagi penerapan basis kinerja di lingkungan pemerintah. Dengan Pasal 68 dan Pasal 69 Undang-Undang tersebut, instansi pemerintah yang tugas pokok dan fungsinya memberi pelayanan kepada masyarakat dapat menerapkan pola pengelolaan keuangan yang fleksibel dengan mengutamakan produktivitas, efisiensi, dan efektivitas. Prinsip-prinsip pokok yang tertuang dalam kedua undang-undang tersebut menjadi dasar instansi pemerintah untuk menerapkan pengelolaan keuangan BLU. Badan Layanan Umum adalah instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. BLU diharapkan dapat menjadi langkah awal dalam pembaharuan manajemen keuangan sektor publik, demi meningkatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Konsep badan layanan umum juga diterapkan dalam bidang pendidikan nasional dimana telah terjadi perubahan arah kebijakan pengembangan perguruan tinggi negeri yang bertumpu pada 5 (lima) landasan yaitu: kemandirian (otonomy), akuntabilitas (accountability), jaminan kualitas (quality assurance), pengembangan ilmu pengetahuan (science development) dan pelayanan social (sosial service). Pengelolaan keuangan BLU baik rumah sakit maupun perguruan tinggi negeri dan lembaga lainnya selanjutnya diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. Mengoperasikan lembaga bisnis atau semi bisnis seperti BLU atau BLUD harus dapat memenuhi dan merespon tuntutan konsumen (pasien), sehingga memerlukan inovasi, kecepatan dalam pengambilan keputusan dan pelayanan. Berbagai prinsip ekonomi dan bisnis telah masuk dalam manajemen rumah sakit, sehingga memerlukan sumberdaya manusia (SDM) yang kompetitif dan profesional melalui rekrutmen, training dan development, placement yang tepat. Setidaknya ada lima hal yang berubah pada rumah sakit yang sebelumnya berbentuk unit pelaksana tehnis menjadi badan layanan umum atau badan layanan umum daerah, yaitu : 1. BLU dimungkinkan memperoleh pendapatan yang diperoleh oleh dari biaya yang dibebankan kepada konsumennya. Pendapatan BLU ini merupakan Penerimaan Bukan Pajak/PNBP sedangkan pendapatan BLUD merupakan lain-lain Pendapatan Asli Daerah/PAD yang sah bagi suatu daerah. Dalam birokrasi pemerintah ada begitu banyak organisasi yang bertindak bukan sebagai penyedia barang dan jasa misalnya organisasi pemerintah yang membuat regulasi, penegakan hukum/peradilan, pertahanan dan sebagainya, sehingga organisasi ini tidak akan menerima pendapatan langsung dari masyarakat atas layanan yang diberikan. 2. BLU harus menjalankan praktek bisnis yang sehat tanpa mengutamakan pencarian keuntungan. Ini karakteristik yang sangat spesial sekali karena instansi pemerintah diperkenankan untuk menerapkan praktek bisnis seperti dalam yang umum dilakukan oleh dunia bisnis/swasta. Akan tetapi walaupun diselenggarakan sebagaimana institusi bisnis, BLU tidak diperkenankan mencari keuntungan (not-for-profit). 3. BLU dijalankan dengan prinsip efisien dan produktivitas. Karakteristik ini jauh berbeda dari instansi pemerintah biasa yang dalam penyelenggaraan layanannya mengedepankan kepada penyerapan anggaran yang sangat tinggi, terlepas kegiatan tersebut mencapai sasaran dengan tepat atau tidak. Pada BLU penyerapan anggaran bukanlah target karena surplus/kelebihan anggaran dapat digunakan kembali pada tahun berikutnya untuk peningkatan kualitas layanannya. 4. Adanya fleksibilitas dan otonomi dalam menjalankan operasional BLU, yakni: fleksibilitas dalam hal pengelolaan keuangan, fleksibilitas dalam pengelolaan sumber daya manusia dan fleksibilitas dalam hal pengelolaan dan pengadaan aset/barang. 5. BLU dikecualikan dari ketentuan pengelolaan keuangan negara pada umumnya. Ketentuan ini merupakan semangat otonomi yang diberikan kepada BLU untuk "bisa melanggar" ketentuan dalam keuangan negara. Contohnya adalah BLU atau BLUD diperkenankan untuk menggunakan secara langsung penerimaannya (PNBP bagi BLU Pusat atau lain-lain PAD yang sah bagi BLUD). Disarikan dari berbagai referensi.

Tidak ada komentar: