Minggu, 19 Oktober 2008

Awas ! Kapitalisme di Rumah Sakit !!!


Menteri Kesehatan pernah berkata: “Status rumah sakit dan manajemen obat harus pro-rakyat. Saya ingin rumah sakit yang tidak kapitalis lagi. Saya sekarang mengeluarkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perumahsakitan yang belum pernah ada. Obat murah, yang selama 60 tahun tidak terjamah dan malah selalu makin mahal, kini bisa diturunkan"
Kapitalisme adalah suatu paham yang meyakini bahwa pemilik modal bisa melakukan usahanya untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Sebagaimana kecenderunagn diberbagai negara, Indonesiapun rumah sakit mulai bergerak ke arah sistem manajemen berdasarkan konsep usaha yang mengarah pada mekanisme pasar dengan prinsip efisiensi. Jika perilaku berbau kapitalisme ini sudah menjalar dalam pelayanan rumah sakit maka bisa dibayangkan bahwa pasien akan menjadi sumber revenue rumah sakit untuk mengejar “cost recovery” bahkan untuk meraih keuntungan yang sebesar-sebesarnya (profit). Fungsi social rumah sakit perlahan akan terkikis habis, biaya pelayanan mahal karena dihitung berdasarkan unit cost, munculnya perilaku “suplly induced demand” dimana pemeriksaan dengan peralatan canggih tanpa indikasi medis yang seharusnya. Pasien nyeri kepala bisa saja dilakukan pemeriksaan CT Scan atau pemeriksaan canggih lainnya. Hal ini akibat “customer ignorance”. Obat diberikan tanpa berdasar formularium, kalaupun ada formularium dibuat berdasarkan pesan pihak-pihak tertentu atau agar obat rumah sakit laku saja. Orang masuk rumah sakit harus bayar “ deposit” dulu, sehingga pelayanan selanjutnya tergantung sisa deposit. Jika habis ? Yah harus segera keluar dengan paksa pulang.
Simak kejadian berikut. 16 tahun silam, bankir senior pendiri suatu bank ternama, mengajak 12 orang dokter senior di Jakarta untuk berkongsi. Daripada para dokter itu praktik di rumah sakit lain, bujuknya, lebih baik mereka memiliki rumah sakit sendiri. Para dokter itu setuju. Mereka berharap bisa mendirikan rumah sakit yang benar-benar bisa memberikan kualitas pelayanan nomor satu, menyamai standar pelayanan rumah sakit di Singapura. Mereka yakin, dengan kualitas layanan yang prima, rumah sakit ini tak melulu akan bersifat sosial, tapi juga dapat mendatangkan keuntungan yang besar.
Maka disepakatilah mendirikan sebuah perusahan terbatas, PT, yang akan mengelola rumah sakit tersebut dengan pembagian saham kepemilikan 50% untuk sang bankir tadi dan 50% untuk para 12 dokter tersebut. Dengan modal Rp. 21,5 Milyar, dimana Rp. 3 Milyar berupa modal disetor dan sisanya berupa pinjaman. Untuk para dokter yag tidak punya uang sang banker berbaik hati memberikan pinjaman.
Maka rumah sakit dengan kapasitas hampir 300 TT tersebut kemudian diresmikan oleh Menteri Kesehatan waktu itu. Rumah sakit tersebut menjadi sangat popular , selalu dipenuhi oleh pasien, bahkan sering terjadi penolakan pasien karena tidak mampu menampungnya. Oleh karena 50% sahamnya dimiliki oleh para dokter maka, mereka bahu membahu memberikan pelayanan yang terbaik/prima. Para dokter dan suster bekerja keras bahkan sampai-sampai harus membuat tiga shift jaga untuk para dokter agar semua pasien dapat terlayani. Hal ini bisa dilakukan oleh karena dengan saham yang masih 50% mereka dapat mengendalikan manajemen rumah sakit.
Membludaknya pasien membuat rumah sakit tersebut menjadi semacam mesin pencetak uang. Laporan keuangan selalu baik, bahkan kemudian untuk mengembangkan fasilitas, baik gedung, peralatan kedokteran yang lebih modern rumah sakit tersebut berani melakukan penawan sahamnya di bursa efek Jakarta. Keuntungan yang diperoleh dari reproduksi modal melalui penjualan saham digunakan untuk pengembangan modal. Apa yang terjadi diluar dugaan , 55 juta lembar saham yang ditawarkan senilai Rp.500 (waktu itu) terjual habis, dibeli oleh perusahaan kuat lainnya yang memang telah memiliki rumah sakit besar yang terus merugi. Belinyapun bisa dipastikan menggunakan dana pinjaman di bank. Akibatnya saham para dokter yang tadinya 50% menciut. Begitulah akhirnya saham rumah sakit ini dibeli terus oleh publik, hingga saat ini saham para dokter tinggal 1 % saja. Dan status kepemilikanpun beralih ketangan pesaham mayoritas. Praktis para dokter tidak punya kekuasaan lagi dalam mengatur kebijakan di rumah sakit.
Saham rumah sakit terus diperjualbelikan dibursa saham. Dana yang terkumpul sebagian untuk mengembangkan sarana dan sebagian untuk menutupi hutang rumah sakit satunya yang terus merugi. Mergerpun dilakukan untuk menghalalkan upaya ini.
Para dokter makin tersingkir. Para pegawai tetap yang sudah terlatih dan mengabdi di rumah sakit ini sejak pertama kali dibuka dibujuk untuk keluar dengan imbalan pesangon yang tingg. Maka sekitar 350 pegawai mengundurkan diri. Mereka digantikan tenaga-tenaga baru dengan pengalaman nol yang mau dipekerjakan secara kontrak, diupah murah, dan tidak mendapat jaminan kesehatan .
Ketika muncul kesempatan baik, para dokterpun menjual saham mereka, dan kembali ke keadaan semula yaitu berpraktek di rumah sakit milik orang lain.
Cerita diatas adalah nyata. Hal ini mengingatkan kita kepada pernyataan Menteri Kesehatan yang menolak privatitasi rumah sakit. Sebab tawaran privatisasi itu berbau kapitalisme, misalnya rumah sakit pemerintah yang akan dijadikan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sampai tawaran saham investor dari luar negeri agar menjual rumah sakit pemerintah.
“Ada cukong dari luar negeri yang ingin beli RSCM dan Fatmawati. Katanya tenang, nanti Ibu saya kasih saham. Waktu itu gede banget. Untung saya tidak tertarik dengan saham. Saya lebih suka tertarik Tuhan. Kalau saham dari Tuhan itu tidak akan terjungkal,” kata Ibu Menteri
(Disarikan dari berbagai tulisan)

Tidak ada komentar: