Jumat, 31 Oktober 2008

Menjual Empati di Rumah Sakit


Ketika kita menaiki tangga pesawat udara, seorang pramugari telah berdiri menyambut kita di pintu pesawat sambil tersenyum menyalami kita, disampingnya berdiri sang pilot yang gagah dengan senyum seakan memberikan keyakinan kepada kita bahwa dia siap menerbangkan pesawat ini selamat sampai tujuan. Jika kita memasuki sebuah hotel seorang office boy akan membukakan pintu sambil berucap menyampaikan ucapan salam, dengan senyum penuh rasa gembira membukakan pintu mobil, menanyakan barang bawaan, membantu mengangkatnya ke dalam hotel, sementara resepsionist menunggu dan menyalami kita sambil menanyakan “ada yang bisa dibantu?”. Hal seperti ini dapat pula kita dengar apabila kita menelpon ke suatu kantor swasta terkemuka. Resepsionist akan menjawab telepon kita dengan kata ” Selamat pagi, dengan kantor PT. ...... ada bisa saya bantu ? ”
Jika diamati sebetulnya senyum, salam dan sapa adalah hal kecil tetapi terkadang sulit dilakukan namun berdampak besar terhadap kita yang mengalaminya. Kita pasti akan terkesan dan merasa terhibur dan tenang memanfaatkan fasilitas yang kita butuhkan.
Apa yang dilakukan oleh pramugari, pelayan hotel, penerima telepon diatas adalah contoh kecil dari empati yang ditunjukkan kepada pelanggan. Empati dalam kasus ini mungkin saja hanyalah bagian dari prosedur standar yang harus dilakukan kepada pelanggan tanpa adanya nilai rasa yang sesungguhnya, sekedar menjalankan tugas. Mereka melayani pelanggan yang sehat. Penumpang pesawat yang ingin bepergian, atau ke hotel karena membutuhkan suatu pelayanan yang bukan karena keterpaksaan. Pengunjung hotel kebanyakan adalah orang-orang yang ingin melengkapi kegembiraan dengan berbagai aneka fasilitas di hotel, atau mungkin orang yang bosan tidur dirumah dan ingin mencari suasana yang lain, atau seorang yang sedang berwisata dan mencari tempat untuk beristirahat dan tidur. Tetapi kepada merekapun empati merupakan suatu kewajiban karena jika tidak mereka pasti akan lari dan tidak akan kembali lagi. Ingat “pelanggan adalah raja, dia bukan tergantung kepada kita, tetapi kita yang bergantung kepada mereka”. Bagaimana empati di rumah sakit ?
Tidak bisa dipungkiri bahwa rumah sakit adalah institusi yang unik dan kompleks. Unik, karena mayoritas yang membutuhkannya adalah orang-orang yang terpaksa harus datang, tidak karena diundang, atau tertarik akan promosi tetapi karena sakit (berobat) atau agar tidak sakit (medical check up). Mereka datang dengan tingkat emosional yang bervariasi, mulai dari was-was sampai stres dan panik. Mereka membawa kebutuhan (need) mendesak untuk sembuh, keinginan (want) untuk ditolong oleh dokter ahli dengan peralatan yang memadai dan membawa harapan (ekspektasi) untuk dilayani cepat. Mereka adalah orang-orang yang karena menderita sesuatu penyakit atau bermasalah dengan tubuhnya dan dengan terpaksa membutuhkan pertolongan. Kedatangan mereka bukanlah suatu hal yang diinginkan, tetapi karena keterpaksan, karena menderita sakit yang berat, karena infeksi, nyeri kepala, nyeri batu ginjal, usus buntu, atau mungkin luka atau patah tulang terbuka karena kecelakaan lalu lintas. Dalam kondisi seperti ini mereka tidak hanya butuh pelayanan medis tetapi juga butuh kepedulian.
Terkadang kita menemui atau mengalami hal-hal yang tidak mengenakkan di rumah sakit, misalnya : keluarga pasien mencari sendiri kereta dorong atau kursi roda bahkan mengangkat sendiri pasiennya ke UGD, menunggu pemeriksaan terlalu lama karena dokter masih dihubungi (on call), anamnesis terlalu lama karena perawat atau dokter jaga lebih mementingkan status pasien dari pada memberikan tindakan sementara (emergency respon time I lama), sementara pasien kesakitan butuh pertolongan segera, atau ketika pasien di bangsal kesakitan, di ruang jaga petugas asyik menonton TV sambil ngobrol atau tertawa cekikikan, petugas ramah atau malah membentak atau memarahi pasien, Lalu apakah empati itu ? Menurut pengertian yang sudah lazim digunakan, empati adalah kemampuan kita dalam menyelami perasaan pasien tanpa harus tenggelam di dalamnya. Empati adalah kemampuan kita dalam mendengarkan perasaan pasien tanpa harus larut. Empati adalah kemampuan kita dalam merespon keinginan pasien bahkan yang tak terucap sekalipun. Kemampuan ini dipandang sebagai kunci menaikkan intensitas dan kedalaman hubungan kita dengan pasien (connecting with).
Diera persaingan sekarang ini, maka empati menjadi sangat penting. Pasien saat ini mempunyai banyak pilihan akan pelayanan kesehatan, baik rumah sakit swasta atau sesama rumah sakit pemerintah yang mulai memberikan pelayanan berkualitas (quality services). Disaat seperti ini maka empati menjadi satu hal yang mahal dan dicari. Tentu saja mereka akan memilih rumah sakit yang petugasnya peduli dengan penderitaan mereka. Walaupun empati hanya sekedar melaksanakan prosedur tetap pelayanan di rumah sakit.
Empati juga adalah cepat menangkap isi perasaan dan pikiran pasien (understanding others). Memberikan pelayanan yang dibutuhkan. Memberi, bukan mengambil (service orientation), apalagi memanipulasi. Memberikan masukan-masukan positif atau membangun pasien agar memiliki kembali semangat untuk kesembuhan (developing others), bahkan juga memahami aturan main yang tertulis (SOP) atau yang tidak tertulis (norma) dalam hubungan kita dengan pasien.
Belajar menaikkan kemampuan kita dalam ber-empati ini merupakan kunci hubungan. Menurut Peter Drucker, kunci kelancaran komunikasi adalah belajar menangkap apa yang tak terucap (unspoken). Dalam konteks bisnis (bussiness of selling), Alf Cattle malah mengatakan: “relationship is product”, ini berarti bahwa empati adalah produk. Sebagai suatu produk maka sepatutnya dikemas sebaik-baiknya agar dapat dijual. Patut diperhatikan bahwa secanggih apapun peralatan kedokteran yang dimiliki oleh rumah sakit, relationship pasien dan petugas sebagai kunci tetap diutamakan. Pasien tetap butuh informasi, perhatian dan kepedulian dari petugas untuk kesembuhan penyakitnya.
Hal ini tampak dalam pelayanan yang cepat, petugas yang ramah penuh senyum dan berusaha menenangkan pasien. Sehingga pasien merasa yakin bahwa ia akan sembuh. Persis sebagaimana sabda Rasulullah saw, "Jalinan kasih sayang antara kaum muslimin ibarat satu tubuh. Bila ada satu anggota tubuh sakit maka anggota tubuh lainnya akan merasakan hal yang sama." (HR. Bukhari dan Muslim).
(disarikan dari beberapa artikel dan pengalaman)

Tidak ada komentar: